Bencana 2018

Jejak Tsunami di Warung Kopi (Bagian 2)

BANGKIT - Warkop tsunami menandai bangkitnya ekonomi penyinta

WARKOP Tsunami punya cara sendiri untuk menggaet pengunjung. Awalnya dengan menyediakan kopi gratis selama tiga hari. Strategi ini berhasil mendatangkan pengunjung. Warkop Tsunami makin dikenal setelah salah seorang pengunjung mengunggahnya ke media sosial.

“Saya lihat ada kafe yang baru dibuka ini dari twitter. Diposting oleh jurnalis asing. Trus ajak teman ke sini. Dia bilang Indonesia hebat banget dalam situasi begini bisa buat yang kayak gini. Semangatnya gak turun,” kata Lintang, pengunjung asal Kota Jakarta.

Pujian juga dilontarkan Arif Setiawan. Pemuda asal Kota Makassar ini bahkan tak ragu memberi empat jempol atas upaya dari Ahmad dan Iwan. Sebagai relawan yang bertugas pada sejak bencana gempa 7,4 magitude dan tsunami melanda Sulawesi Tengah, Arif tahu betul situasi kawasan Pantai Talise.

“Saya kan hampir setiap hari ke sini. Sampai minggu ketiga kawasan ini seperti kota mati. Kalau malam tidak ada yang berani kesini. Tidak ada juga yang berani berjualan. Lihat sekarang sudah mulai ramai. Jadi saya kasi jempol idenya. Mereka bisa segera move on dari bencana,” puji Arif.

Sejak kehadiran Warkop Tsunami, Arif mengaku tak pernah absen berkunjung. Ia pula yang memperkenalkan warkop ini kepada kawan-kawannya sesama relawan. Menyeruput kopi di tepi pantai sembari memandangi Teluk Palu dan gemintang di langit membuat Arif betah berlama-lama. Terkadang ia sampai lupa waktu dan baru beranjak pulang setelah warkop tutup pada pukul 12.00 WITA.

GELIAT EKONOMI
Ramainya pengunjung Warkop Tsunami membuat isteri Betet, Ella Ambo (43), kelabakan menyediakan pesanan. Demi memanjakan pengunjung, Ella tak ragu mempekerjakan tiga orang anak muda yang tak lain adalah sesama penyintas bencana.

“Sekarang yang bantu-bantu ada tiga orang. Mereka saya upah Rp.50.000 per hari. Semuanya anak-anak muda dari sekitar sini. Dan mereka senang bisa bekerja lagi. Selama ini kan tidak bisa apa-apa. Hanya menunggu bantuan saja,” ujar Ella.

Menu yang disediakan Warkop Tsunami memang tak banyak. Selain kopi, hanya ada mie rebus dan jajanan. Namun semuanya dijual dengan harga terjangkau. Secangkir kopi hanya seharga Rp.10.000, demikian pula dengan harga seporsi mie rebus.

Dalam sehari, Ella mengaku warkop memperoleh pendapatan hingga Rp.900.000. Jumlah itu akan meningkat dua kali lipat saat akhir pekan. Seperti Betet dan Iwan, Ella juga mengaku tak masalah bila suatu hari kelak pemilik lahan tak lagi mengijinkan mereka membuka Warkop Tsunami di lahan itu. Sebab semangat pendirian warkop ini sudah tercapai, yakni, menghidupkan kembali kawasan Pantai Talise dan mengembalikan kemuliaan warga Kota Palu.

Seperti untaian kata bijak yang tertera dalam salah satu poster di Warkop Tsunami: “Orang-orang optimis akan mendapat kemuliaan di tempat yang penuh ujian. Begitupun sebaliknya dengan orang-orang yang pesimis. Bangkitlah jika itu suatu keharusan”. (selesai)

Penulis: Zainal A. Ishaq
Editor: Ika Ningtyas

artikel ini adalah republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi  AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: