Ketika Alumni Sekolah Perempuan Menulis

PEREMPUAN MENULIS – Aktivitas kelas menulis diikuti oleh lima alumni Sekolah Perempuan yang berlangsung di Dodoha Jalan Yosi Tentena, 31 Juli 2025

FESTIVAL Mosintuwu 2025 diam-diam menyelipkan satu acara penting. Tak tercantum dalam daftar agenda, tak pula diumumkan lewat pengeras suara. Tiba-tiba saja, lima orang tampak meriung di sebuah meja kayu jati mungil. Mereka bukan orang asing bagi satu sama lain, sudah saling mengenal sejak belasan tahun silam. Mereka adalah para alumni Sekolah Perempuan.

Di tengah keriuhan festival, mereka khusyuk dengan pulpen dan kertas folio masing-masing. Duduk mengitari meja kecil, mereka tetap fokus menulis. Sesekali berhenti untuk bercengkerama saat kesulitan menemukan padanan kata yang pas.

Ketika hendak difoto, mereka spontan membenahi posisi duduk. Ibu Rus Tomini pun nyeletuk. Ia tak ingin difoto dalam pose kaku. “Saya berdiri sambil pegang kertas ini, supaya seperti Ibu Lian sedang menjelaskan ke orang banyak,” ujarnya, disambut gelak tawa lainnya.

Suasana siang itu memang terasa hangat. Kadang serius, kadang penuh canda. Setengah hari waktu yang disediakan berlalu tanpa satu pun tulisan selesai.

“Saya belum selesai. Masih minta waktu,” ujar Ibu Velmariri Bambari. “Yang lain juga belum,” tambahnya sambil menyisipkan emot senyum di obrolan WhatsApp.

Velma menulis tentang kisah pribadinya bersama Institut Mosintuwu, yang ia ikuti sejak 2014 melalui Sekolah Perempuan, dengan Lian Gogali sebagai pengajarnya. Ia adalah alumni angkatan ketiga. Dari Sekolah Perempuan, Velma memperoleh banyak pengetahuan, terutama tentang hak-hak perempuan.

Berbekal pendidikan kritis di sekolah alternatif ini, Velma kini menjadi pembela hak-hak perempuan di desanya, Gintu dan Lembah Bada. Ia berdiri di garis depan melawan hegemoni hukum adat yang kerap merugikan perempuan.

Beberapa pelaku kekerasan seksual berhasil ia bawa ke proses hukum hingga dijatuhi hukuman. Kisah perjuangannya kemudian mendapat ulasan oleh BBC Indonesia. Tampil dalam program Kick Andy Show – Metro TV, hingga pada 2025 meraih Hoegeng Award dari Kepolisian RI.

Sementara itu, Ibu Martince akrab disapa Mama Tince, adalah penyintas kerusuhan Poso Mei 2000. Ia sempat menyimpan luka dan dendam terhadap pihak yang merenggut ketenangan hidup di Bukit Bambu, Poso. Namun, sebagai alumni angkatan pertama Sekolah Perempuan, ia akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri dan kini menjadi juru damai di komunitasnya.

Mama Tince, ibu dua anak, kini aktif di Institut Mosintuwu. Ia kerap hadir dalam berbagai forum untuk membagikan praktik baik para alumni Sekolah Perempuan di desa masing-masing. Ia bahkan menjadi pembicara utama di berbagai acara di Palu dan Jakarta, dan sempat memperluas pengalamannya hingga ke Australia.

Saat ditanya apa yang sedang ia tulis, Mama Tince menjawab sambil tersenyum lebar senyum khasnya. “Eh, sini dulu ngana. Saya mo tulis tentang saya di Bukit Bambu sampai hari ini.”

Giliran Ibu Rustomini ditanya tentang tulisannya. Dengan cekikikan, alumni angkatan ketiga ini malah mengangkat kertas yang baru berisi satu paragraf. “Foto dulu saya seperti Ibu Lian!” katanya. Ia lalu berdiri, berpose seperti pembicara profesional. Setelah dua kali jepretan, ia duduk kembali, menatap layar ponsel. “Oke, sip.” Rekan-rekannya tertawa melihat tingkah kocaknya.

SERIUS – Perempuan menulis tentang dunia mereka, untuk dicatat dan didengar

Di sisi lain, Ibu Ni Nenga Susilawati dan Ibu Irma duduk tenang. Sesekali mereka mengangkat wajah, menyapu ruangan Dodoha yang riuh dengan lalu-lalang orang. Tangan mereka menggenggam pulpen erat, mata terpaku pada kertas putih.

Mereka tampak ingin menulis tentang dunia mereka. Tapi kata-kata belum juga datang. Kalimat demi kalimat terasa jauh, padahal cerita-cerita itu sudah lama hidup dalam ingatan mereka.

Sekolah Perempuan Mosintuwu

Ketua Institut Mosintuwu, Lian Gogali, menjelaskan bahwa Sekolah Perempuan Mosintuwu adalah sekolah alternatif untuk perempuan akar rumput yang dijalankan selama satu tahun. Para pesertanya berasal dari berbagai desa, agama, dan latar belakang etnis.

Menurut Lian, Sekolah Perempuan merupakan bagian dari program sistematis Institut Mosintuwu untuk mengorganisasi masyarakat—agar mampu mentransformasi struktur budaya dan sosial-politik mereka menuju masyarakat yang lebih adil secara sosial, adil gender, dan demokratis.

Sekolah ini tidak hanya menjadi ruang belajar, tetapi juga berkembang sebagai gerakan sosial. Konteks masyarakat lokal menjadi fondasi utama dari bentuk dan pola pendidikan yang dikembangkan Mosintuwu.

Lian Gogali menyampaikan bahwa menulis bagi perempuan, khususnya mereka yang lama tidak didengar atau bahkan dikecilkan suaranya, bukanlah sekadar aktivitas literasi. Itu adalah cara perempuan mendefinisikan ulang dirinya sendiri dengan kata-katanya sendiri.

“Bagi banyak perempuan di akar rumput, menulis termasuk proses memulihkan ingatan, luka dan harga diri. Ketika mereka menulis dunia mereka, mereka sedang mengatakan, ‘Saya ada. Saya tahu. Dan saya mampu,’’ ujar Lian.

Lian berpendapat, proses menulis itu bukan soal teknik semata, melainkan tindakan politik yang sunyi dan kuat. Tulisan-tulisan perempuan bisa menjadi benih perubahan di tengah komunitas,  bukan karena kerasnya suara, tetapi karena jujurnya pengalaman. ***

Penulis & foto: yardin hasan

Tinggalkan Balasan