Seni Budaya

Kota Rame, Kini Tak Lagi Ramai

MELAYANI KONSUMEN - Nince melayani konsumen yang menanyakan kaset maestro Hasan Bahasyuan di tokonya, Kamis 18 Mei 2023

EKSIS sejak tahun 80-an, Kota Rame tak sekadar toko kaset yang melayani dahaga pencinta lagu berbasis pita magnetik. Toko yang terletak di Jalan Hasanudin ini adalah saksi sejarah yang merekam perjalanan budaya kaum homo pluralis di kota tercinta ini. Homo pluralis sebagai pemilik cipta, rasa, karsa dan karya memang dimanjakan dengan toko kaset yang memajang aneka lagu beragam genre. Slow rock, jazz, balada, dangdut, pop cengeng (meminjam istilah Harmoko), pop progresif hingga lagu daerah terpajang rapi di rak kaca toko-toko kaset kala itu.

Dekade 80 dan 90-an, saat compact cassette merajai industri rekaman di tanah air – bahkan dunia, Toko Kota Rame bersama beberapa toko kaset lainnya, seperti Studio 1 di Pertokoan Hasanudin, Studio 2 di Jalan Gajah Mada, Studio 3 di Jalan Monginsidi – menjadi rujukan pencinta musik berburu lagu terbaru.

Lagu Kirana, Dewa 19 (1997), Masterpiece – Atlantic Star (1991) atau Now And Forever – Richard Marx (1994), Terserah Boy – Atiek CB (1989), Selembut Mega – Jimmie Manopo (1980) hingga Kota Santri-Nasida Ria (1982) dan kaset murottalnya Muammar ZA (1986) dengan mudah bisa dicomot rak toko. Cukup dengan Rp12.500 hingga Rp15.000 untuk lagu Indonesia dan Rp23 ribu untuk lagu barat, kaset berisi lagu dari artis favorit seketika langsung berpindah tangan.

Ada pula kaset berisi lagu kompilasi pilihan yang direkam oleh pihak studio di atas kaset bervolume C-60 dan C-90- (ini sebenarnya pembajakan). Harganya di kisaran Rp25.000 hingga Rp30.000 per buah. Tak banyak orang yang melakukan cara ini. Tapi untuk menyiasati harga lagu barat yang oleh sebagian orang kemahalan, merekam ulang lagu favorit dari artis berbeda menjadi alternatif yang ”masuk akal”. Selain itu, pencinta lagu ingin dalam satu kaset berisi lagu pilihannya. Maka kloplah.

TELATEN – Nince menjelaskan secara rinci kepada penulis tentang keberadaan Toko Kota Rame dulu dan kini, Kamis 18 Mei 2023

Ketika album Pandawa Lima (1997) Dewa 19, dengan hitnya, Kirana, Aku Di Sini Untukmu, Satu Sisi, dan Kamulah Satu-Satunya dirilis, sontak toko kaset penuh dengan kerumunan anak putih abu-abu hingga orang dewasa. Padahal lagu-lagu ini sudah ”hancur-hancuran” diputar di radio tanpa jeda. Atau saat Kantata Takwa merilis mahakaraya Kesaksian (1990) – lagu ikonik yang menjadi theme song kaum muda progresif, diborong habis di toko-toko kaset, momen-momen itulah industri kaset berada di puncak kejayaannya. Baik secara bisnis maupun sebagai milestone peradaban musik moderen.

Tapi kaset yang dikenal tahun 1963 di Eropa dan tahun 1964 di Amerika dan pernah merajai industri rekaman musik dunia dalam rentang waktu yang panjang – harus tunduk pada hukum alam. Seperti halnya kehidupan. Roda tidak statis. Roda selalu berputar. Masa kejayaan kaset telah selesai. Lanskap musik telah berubah. Kini, industri musik hadir dengan wajah berbeda. Perubahan yang kemudian memaksa industri kaset pita menepi di pinggir sejarah. Hingga akhirnya pelan dan pasti hilang dari titik edarnya. Bersamaan dengan itu hilang pula dari pandangan dan memori generasi yang datang belakangan.

Tapi jejak masa lalu tak selamanya harus pupus. Ia selalu hadir dengan bagaimana caranya bertahan hidup menyesuaikan dengan teknologi yang melibas eksistensinya. Di Kota Rame, semua itu masih ada. Tempatnya yang menyempil di antara gedung baru di Jalan Hasanudin dengan papan toko berkelir biru terang, menghadirkan ingatan yang nyaris pudar dan terlipat di pinggiran pikiran orang-orang yang pernah terkoneksi dengan toko kecil penuh kenangan ini.

Kota Rame. Walau tak seramai dulu, ia bak fatwa rindu yang hadir menyapa masa lalu. Berada di dalamnya, memandangi jejeran kaset dengan cover artis era 70, 80, 90 hingga pertengahan 2000-an, pengunjung terbawa masa silam, saat kejayaan tape sedang di titik tenar. Memandangi jejeran kaset yang nyaris menyentuh langit-langit, sejenak ingin menepi dari kebisingan flatform musik digital yang menyerbu dari berbagai arah.

Kota Rame terus memelihara kenangan banyak orang akan nada lagu yang mengalun indah melalui pita magnetiknya. Termasuk pada orang-orang yang mempunyai apresiasi tinggi pada musik atau audiophile. Orang-orang ini mengutamakan kualitas suara rekaman. Mereka-mereka inilah pelanggan sejati. Sayang, ceruk mereka tak banyak. Bahkan makin mengecil.

Di antara yang sedikit itu, ada Adiman (52). Ia pria asal Balanipa, Polman- Sulbar, datang ke Toko Kota Rame mencari kaset Rhoma Irama. Pengunjung sehari sebelumnya ada Jamrin Abubakar. Ia seorang jurnalis dan penulis sejarah yang tekun. Datang sore itu untuk melengkapi lagu karya Hasan Bahasyuan koleksinya. Walau format lagu dari dua komposer ini berserak di beragam platform digital, tetap saja keduanya mengaku lebih sreg berburu kasetnya. Memegang kaset, mendengar suara berisik saat tempat kaset mengatup di tape recorder menurut Adiman adalah sensasi yang tak bisa dirasakan diera musik digital kini. ”Pokoknya asyiklah,” katanya tersenyum.

Nince, ibu paruh baya yang saban hari berdiri di jejeran rak berisi kaset tampak mondar mandir di balik tabir kaca pembatas. Ia tampak tekun menunggu pembeli yang tak setiap hari datang. Sesekali ia mendongak keatas, memastikan kaset tetap berada pada posisinya dengan rapi. Nince menggantikan suaminya, Ko David yang mangkat setahun lalu. Ia melayani kami rombongan Komunitas Historia untuk bincang-bincang di sela melakukan napak tilas ke titik-titik bersejarah Kota Palu, memeringati Hari Kearsipan, Kamis 18 Mei 2023 lalu.

TETAP EKSIS – Kota Rame yang tak lagi ramai tetap menanti kedatangan pencinta lagu berbasis kaset.

Para pemburu kaset yang datang ke tokonya adalah para kolektor. Mereka tidak ingin kehilangan lagu dari penyanyi favorit mereka. Tapi juga tidak mau mengoleksi lagu berformat digital. ”Mereka maunya tetap kaset. Pelanggan saya rata-rata kolektor lagu yang fanatik kaset,” kata Nince sambil mengumbar senyum renyahnya. Tidak saban hari ada yang datang membeli. Tapi dalam sepekan, selalu ada yang datang. Entah penduduk di Kota Palu maupun dari luar. Harga kaset di tokonya bervariasi. Kaset berisi lagu Indonesia dijual seharga Rp50 ribu per buah. Sedangkan kaset barat harganya di atas itu. Saat ini koleksi lagu barat banyak yang tidak tersedia di tokonya. ”Kalau stok kosong, saya pesan lagi ke agen. Kadang dapat kadang juga tidak,” katanya terkekeh. Bermacam genre lagu bisa didapat di sini. Mulai qasidah, gambus, musik etnik, pop, jazz, rock hingga lagu-lagu barat.

Sebagai toko yang mungkin satu-satunya masih menjual kaset di Kota Palu, Nince mengaku sering kedatangan kolega suaminya. Selain berburu kaset, mereka datang untuk mengenang sejarah toko itu. Bercerita banyak hal tentang kaset termasuk kenangan tentang suaminya semasa hidup. Maka jadilah Toko Kota Rame tak semata transaksi beli putus antara penjual dan pembeli. Tapi juga menjadi mata rantai pengingat kisah tentang gejolak hasrat anak muda masa itu yang hatinya tercabik oleh artis idola. Dan itu, bisa diobati dengan cukup mendengar alunan suara melalui pita kaset.

Kota Rame memang tak ramai lagi. Ia tak seramai kota yang makin berisik dengan musik digital. Tapi dalam kesunyiannya, ia akan tetap bersemayam di benak orang-orang yang raga dan jiwanya pernah terkoneksi di sana.

Penulis     : Amanda
Foto-Foto : Amanda

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: