Lingkungan

Permukaan Tanah Turun, Warga Desa Taipa, Pamona Barat Diminta Tidak Lengah

TINJAU - Weliones Gintu (65) mantan Kepala Desa Meko membenarkan penurunan tanah di wilayahnya. Penurunan permukaan tanah itu menurutnya sudah berlangsung sejak lama

POSO – Desa Taipa Kecamatan Pamona Barat salah satu wilayah di sekitar Danau Poso, kini terus mengalami pengikisan tanah.  Pada 2017, desa yang bisa ditempuh 70 menit dari Kota Tentena,  daratannya ambrol sekitar 10 are.

Weliones Gintu (65) mantan Kepala Desa Meko membenarkan penurunan tanah di wilayahnya. Penurunan permukaan tanah itu menurutnya sudah berlangsung sejak lama.

Namun kekhawatiran itu makin meningkat, karena saat ini permukaan air danau yang tidak pernah surut sejak dua tahun terakhir ini.  Pengikisan tanah oleh air yang tidak pernah surut menurut dia membuat gerusan yang akan membuat permukaan tanah makin cepat.

Walaupun Balai Besar  Wilayah Sungai Sulawesi, sudah membuat bronjong penahan air tetap saja kekhawatiran  itu ada.  Pengamat kebencanaan Universitas Tadulako, Abdullah MT saat melakukan perjalanan Ekspedisi Danau Poso dua tahun silam, pernah mengingatkan warga tidak membangun rumah di pinggir-pinggir danau karena ancamannya yang nyata.

‘’Waktu itu sy bilang ke warga … kalo ada rezeki … ini rmh yg dekat2 dgn tepi danau tdk usah diperbaiki … tp rezeki tsb sebaikx digunakan utk beli tanah yg agak jauh dari tepi danau lalu bikin rmh baru di tanah tsb,’’  tulis Abdullah dalam pesan balasannya, Senin 12 September 2022.

Penyebab turunnya permukaan tanah jelas Dosen FMIPA Universtas Tadulako  itu, karena formasi batuannya merupakan lapisan sedimen yang porositasnya tergolong tinggi.

Jika ada gempa dengan magnitude mencapai 6  dengan epicentrum yang relatif dekat dengan permukiman di wilayah itu maka bisa terjadi seperti di Tompe dan Lompio. Desa Lompio dan Tompe mengalami penurunan tanah yang ekstrim saat diguncang gempa dengan magnitude 7,4 pada 28 September 2018 lalu.

Selain itu katanya dengan gempa sekuat itu akan berpotensi menimbulkan guncangan tsunami.  13 September lalu, rombongan wartawan yang menyambangi desa yang dihuni 160 kepala keluarga itu, warga terlihat tidak peduli dengan permukaan air yang sudah menyentuh boronjong penahan abrasi.   Weliones Gintu sendiri mengaku terus mengamati pergerakan air di sekitar wilayah rawan itu. ***

 

Penulis: Amanda
Foto-foto Amanda

Artikel terkait:
Wayamasapi,  mosango dan monyilo, tradisi budaya yang terancam hilang

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: