Politik

Saat Politisi Masih Gemar Studi Banding

LAPORAN PANSUS - Ketua Pansus Budi Luhur Larengi meminta perpanjangan masa kerja pansus karena tugas-tugasnya belum selesai, Rabu 19 Agustus 2020 (f-amanda)

PANDEMI Covid-19 menghadirkan perubahan sosial yang ekstrem. Tak hanya mengubah cara berhubungan kepada sesama, cara menyembah kepada Tuhan pun mengalami pergeseran yang radikal. Shalat berjamaah selalu mewajibkan shaf-shaf rapat tak bercela. ”Kesempurnaan shaf adalah kesempurnaan shalat”. Begitu biasa sang imam menyeru saat shalat jamaah dimulai. Namun di era pandemi shaf shalat bahkan diantarai hingga semeter. Pendek kata, nyaris tidak ada sendi-sendi kehidupan yang lolos dari dampak virus ganas ini.

Dalam skala negara, mulai dari Istana Negara tempat Presiden Jokowi berkantor, gubernur, bupati hingga camat dan kepala desa, menggunakan media daring untuk pelayanan publik. Lagi-lagi ini karena pandemi covid-19.

Beruntunglah, saat bangsa terus dihantui horor virus, era digital hadir menawarkan kemewahan yang tak hanya memanjakan tapi juga memudahkan. Pandemi membuat masyarakat akrab dengan perangkat telekomunikasi
seperti, google classroom, zoom, jitsi, google meet, dan perangkat komunikasi lainnya.

Pada hari hari ini koordinasi dalam skala kenegaraan pun selalu menggunakan salah satu dari piranti telekomunikasi tersebut. Presiden Jokowi mengoordinasi kementerian melalui rapat-rapat daring. Gubernur Longki Djanggola pun sama. Mengontrol dinamika Sulteng yang dihuni tiga jutaan jiwa lebih dengan aparatnya pun melalui media daring. Hasilnya, efektif – efisien.

Namun kemewahan digital yang bisa dinikmati dengan biaya murah ini, tak berlaku buat politisi di DPRD Sulteng. Khususnya dalam beberapa hal. Lebih spesifik lagi dalam hal studi banding. Studi banding salah satu kegiatan dewan yang sejak dulu selalu dikritik. Karena lebih kuat nuansa jalan-jalannya daripada faedah yang berkorelasi dengan kehidupan rakyat banyak. Namun makin kencang kritik, intensitas studi banding pun makin tinggi.

Staf pengajar Universitas Tadulako Slamet Riyadi Cante, termasuk akademisi yang keras mengeritik kegiatan studi banding dewan sejak dulu. Terlebih di era covid-19 ini dimana pergerakan orang dari dan keluar daerah, mestinya dibatasi. Para politisi justru ramai-ramai mengagendakan ”jalan-jalan” studi banding keluar daerah.

Slamet mengatakan, jika kunjungan dinas sekadar untuk mendapatkan pengalaman dari daerah lain, dalam hal penanganan bencana, mestinya bisa disiasati dengan pertemuan virtual. Di kampus tempatnya mengajar, Universitas Tadulako bahkan telah lama melakukan pertemuan atau berbagi informasi secara online. Hasilnya pun efektif.

Di pemerintahan lanjut Slamet, baik Presiden maupun gubernur di Indonesia bahkan sering melakukan rapat virtual dengan kementerian atau bupati dan wali kota. Hasilnya pun efektif. Menurut dia, studi banding Pansus Padagimo di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan bertemu Gubernur NTB, Zoelkiflimansyah dan DPRD setempat, sebenarnya bisa disiasati lewat diskusi daring. Perangkatnyatersedia secara gratis. Tapi anggota dewan kata dia, tetap memilih studi banding saat ancaman covid-19 belum memperlihatkan tanda-tanda mereda.

Slamet kembali bilang, kenapa ia menyarankan diskusi daring ketimbang studi banding. Pertama, ancaman virus covid-19 yang masih mengintai, jangan sampai menimbulkan kluster baru dari perjalanan studi banding itu.

Kedua, jangan sampai muncul anggapan publik, bahwa studi banding itu dimaknai sekadar jalan-jalan untuk mendapatkan uang dengan cara legal. Tentu, tak semua studi banding harus virtual. Ada beberapa isu yang membutuhkan kehadiran anggota dewan secara fisik. Namun dalam konteks Pansus Padagimo yang ke NTB itu, ia menilai cukup saja dengan pertemuan virtual.

Hidayat Pakamundi politisi Partai Demokrat yang ikut dalam studi banding ke NTB, tak sepenuhnya sepakat dengan statemen Slamet. Saat di NTB, DPRD tak hanya tatap muka dengan Gubernur Zoelkiflimansyah dan DPRD Provinsi NTB, BNPB dan gugus tugas pelaksana rehab rekon bencana di sana . Ia dan kawan-kawannya, meninjau kawasan rumah yang sudah dibangun.

Sekretaris Pansus Padagimo, Wiwik Jumiatul Rofi’ah, menjelaskan kunjungan tersebut membuahkan hasil yang bisa diterapkan di Sulawesi Tengah, khususnya di tiga daerah yang tertimpa gempa. Pansus tertarik pada pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah di sana. Penyintas di NTB sekalipun dihantam bencana alam dan nonalam, namun kehidupan ekonomi mereka tetap baik. Itu semua berkat kebijakan pemerintah yang tidak hanya memberikan dana stimulan untuk merangsang ekonomi kecil, tetapi pemerintah juga menyiapkan pasarnya.

Misalnya, Pemprov NTB melarang produksi masker dari luar NTB. Sebagai gantinya, UMKM di sana memproduksi masker secara rumahan, pembersih tangan (handsanitizer) kemudian produksinya dijual ke masyarakat. Hasilnya, ekonomi kecil bergairah karena transaksi di masyarakat berjalan. Kegiatan kuliner di masyarakat pun berjalan baik. Makanan olahan yang diproduksi UMKM sangat banyak dan dijual ke masyarakat NTB sendiri. Kuncinya beber Wiwik ada pada kebijakan protektif pemerintah, yang tidak sembarang memberikan izin edar beberapa komoditi dimana masyarakat NTB bisa menjadi produsennya. ”Ini yang tidak ada di kita,” tutupnya.

PARIPURNA – Peserta rapat paripurna menyimak penyampaian laporan Pansus yang sudah berjalan enam bulan pada rapat paripurna, Rabu 19 Agustu 2020. (f-amanda)

Ketua Pansus Budi Luhur Larengi, menjelaskan secara secara umum pelaksanaan rehab rekon di NTB sudah berjalan baik. Progresnya 80 persen. Penanganan rehab rekon di daerah itu, berjalan lancar. Bukan karena skala bencananya lebih kecil dibanding Sulawesi Tengah. Di NTB tidak ada relokasi warga. Pun tidak ada hunian tetap (huntap). Warga hanya dibuatkan rumah di tanah mereka sendiri. Praktis tidak ada klaim keperdataan seperti kasus di Palu yang hingga hari ini – kasusnya masih bergulir.

Namun di mata aktivis Sulteng Bergerak, Freddiyanto Onora, langkah studi banding Pansus Padagimo ke Nusa Tenggara Barat tidak terlalu mendesak dan bisa ditunda. Jika yang pelajari soal manajemen kebencanaan atau tukar-tukar pengalaman penanganan bencana maka cukuplah itu dengan pertemuan virtual.

Kalau kepentingannya untuk melihat regulasi pun tidak terlalu penting. Pasalnya, regulasi kebencanaan yang sudah ada, mulai undang-undang, peraturan lintas menteri hinggga Perda dan pergub, sudah cukup memadai untuk menjadi pedoman. ”Hingga langkah-langkah teknisnya diatur rigid dalam aturan aturan itu,” katanya.

Selanjutnya Freddiyanto bilang, karakter gempa dan karakter masyarakat pun berbeda di setiap daerah. Karena itu tidak sepenuhnya apa yang terjadi di NTB cocok untuk diterapkan Sulteng. Jika melihat bencananya, kejadiannya pun sudah lewat. Yang bisa dikomunikasikan adalah soal pengetahuan atau mitigasi kebencanaan yang sebenarnya bisa dilakukan tanpa studi banding. Cukup bertemu secara virtul dengan pihak terkait dan diikuti oleh seluruh anggota Pansus.


TATAP MUKA – Pansus Padagimo bertemu dengan Gubernur NTB Zoelkiflimansyah di ruang kerja Gubernur NTB. f-humas dprd sulteng)

Ketua Divisi Advokasi dan Kampanye Sulteng bergerak ini menambahkan, penggunaan uang negara untuk studi banding, tidak salah. Namun pertanyaannya adalah apa urgensi dari studi banding itu, jika yang ingin diketahui dalam perjalanan studi banding bisa disiasati dengan cara lain. Studi banding menurutnya soal pilihan saja. Tetapi urgensinya itu yang harus ditanyakan pada anggota Pansus. ”Kenapa harus ada studi banding. Kenapa tidak daring saja. Ini harus klir dijelaskan ke masyarakat,” gugatnya.

Penulis: Amanda

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: