Uang Woyo, Transaksi Unik di Lapak Festival Mosintuwu

TRANSAKSI - Arlin Ngkulolo, kasir di Bank Woyo melayani konsumen selama festival berlangsung

FESTIVAL Mosintuwu 2025 yang mengambil tema tentang Geopark Poso ikut memberi ruang bagi kehidupan ekonomi rakyat kecil untuk tumbuh. Sejak awal, panitia merancang agar festival ini menjadi ladang rezeki  bukan sekadar tontonan.

Para pelaku usaha kecil, utamanya perempuan dari desa-desa sekitar, diundang untuk membuka lapak di arena festival. Tapi partisipasi mereka bukan hanya tempelan. Panitia memastikan mereka yang terlibat, pulang membawa lebih dari sekadar pengalaman melainkan keuntungan yang nyata.

Salah satu cara yang dilakukan adalah menerbitkan uang woyo, mata uang khusus yang hanya berlaku selama festival berlangsung. Uang ini tidak bisa digunakan di luar area festival, memastikan agar perputaran ekonomi tetap berpihak pada pelaku UMKM lokal. Uanh woyo hadir dalam bentuk pecahan Rp5 ribu, Rp10 ribu, Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.

Setiap orang yang terlibat dalam festival  dari panitia, relawan, hingga anak-anak sekolah yang datang lomba  mendapat jatah uang woyo untuk berbelanja. Panitia dan relawan menerima Rp100 ribu per hari untuk kebutuhan makan tiga kali sehari. Sementara pelajar dibekali Rp25 ribu untuk jajan di pasar festival. Beberapa orang tampak heran melihat alat tukar unik. Sepotong material dari bambu berkelir hitam tertulis Rp20 ribu dan Rp5 ribu.

Usai karnaval seratusan anak SD yang menghambur menuju pasar festival menukarnya dengan makanan dan minuman. Beberapa di antaranya enggan menukar woyo dan memilih bertransaksi dengan uang kertas. ‘’Ini untuk koleksi,’’ ujar bocah asal Sulewana polos.

Transaksi hari pertama itu membawa untung besar bagi ibu-ibu pelapak. Ibu Zainab yang ditemui di pasar festival di Jalan Yosi, Jumat 1 Agustus 2025, memperlihatkan woyo yang nyaris di tas belanja yang nyaris meluber.

Selama festival wajah para pelapak terlihat penuh semangat. Di pasar festival para ibu berjibaku menyiapkan makanan rumahan untuk pengunjung. Di stan yang lain perajin memamerkan kaos sablon dan cukil. Lalu pengunjung lainnya menikmati aroma kopi hangat Terminal Kopi Behoa, yang didatangkan dari Desa Bariri, Lore Tengah – Poso.

BELANJA – Pengunjung menggunakan uang woyo sebagai alat tukar yang sah selama festival berlangsung

Salah satu lapak yang mencuri perhatian berdiri di bawah gazebo sederhana milik Ibu Zainab dan kawan-kawannya dari Desa Lape. Enam perempuan, semuanya alumni Sekolah Perempuan  berbagi tugas tanpa hiruk pikuk. Ada yang memasak nasi, meracik rempah, menjerang air, menggoreng kudapan, hingga mencuci piring. Semuanya dikerjakan dengan serentak seperti sudah terbiasa saling mengisi.

“Setiap hari makanan selalu habis,” ujar Ibu Zainab pada hari kedua festival, Selasa 1 Agustus 2025. Ia tak muluk-muluk menghitung untung. Tapi senyum kecilnya cukup menjelaskan bahwa hasilnya tak mengecewakan. “Hari kedua kami sudah dua kali menukar uang woyo, sekitar Rp6 juta. sebagiannya, untuk belanja bahan,” katanya.

Di hari terakhir, Ibu Zaenab dan kawan-kawannya tak belanja lagi. “Cukup habiskan stok. Setelah dibagi rata hasilnya, kami pulang malam ini,” lanjutnya.

Di sisi lain pasar, Ibu Fani dari Tentena sibuk dengan lapaknya yang menjual makanan khas Pamona. Ia sudah dua kali menukar uang woyo senilai lebih dari Rp2 juta. “Hari ini jualannya agak sepi karena saya ikut lomba masak, jadi warung baru buka siang,” ujarnya sambil tertawa kecil. Tapi ia tetap puas dengan perolehan yang didapatkannya.

Kristin seorang ibu muda, yang membuka warung nasi goreng, mengaku mengantongi sekitar Rp2 juta. Sementara Hardi, pemuda yang membuka stan sablon kaos, berhasil menjual 20 potong kaos dengan harga antara Rp30 ribu hingga Rp200 ribu per buah. Stan kaos cukil pun tak kalah ramai, dengan sekitar 15 potong kaos terjual.

Sementara itu, aroma kopi dari Terminal Kopi Behoa tak pernah absen mengisi udara. Selama festival, mereka menjual hingga 150 cup kopi dan sejumlah kemasan kopi bubuk, menjadi oase bagi penikmat kafein di tengah keramaian.

Agar sistem ini berjalan lancar, panitia menyiapkan dana reclaim uang woyo. “Sedikitnya kami siapkan Rp20 juta,” ujar Arlin Ngkulolo, salah satu kasir di Bank Woyo. Menurutnya, sistem ini sengaja dirancang agar uang festival tetap berputar di tangan pelaku UMKM yang sudah dikurasi.

“Supaya transaksi tidak lari ke luar, tetapi kembali kepada warga yang membuka usaha di dalam arena festival,” pungkasnya. ***

Penulis: yardin h
Foto-foto – basrul idrus

 

Tinggalkan Balasan