Benteng Kandela di Desa Tindoli, Jantung Pertahanan di Tengah Belantara

KOKOH – Peserta jelajah Geopark duduk di sela batuan saat meninjau Benteng Kandela, Selasa 20 Mei 2025

DI tengah belantara Desa Tindoli Kabupaten Poso yang lebat dan nyaris tak tersentuh, berdiri Benteng Kandela, sunyi, tua dan teguh. Vegetasi merambat di sekelilingnya.  Seolah ingin menyembunyikan sejarah yang disimpan rapat. Sejarah yang hanya ditemukan dalam tutur warga setempat, tidak pernah ditemukan dalam buku sejarah mainstream.

Benteng batu itu adalah susunan batuan metamorf berusia 140 juta tahun. Berdiri bahkan jauh sebelum republik digagas dalam mimpi. Asmara Bintindjaya tokoh masyarakat DesaTindoli, pada pertemuan dengan Peserta Jelajah Geopark Poso, Selasa 20 Mei 2025, di Tindoli menjelaskan Benteng Kandela bukan sekadar sisa arsitektur lama. Kandela adalah saksi bisu dan sekaligus perlawanan yang tak pernah tunduk.

Benteng ini berdiri di atas bukit dengan pemandangan bentang alam Danau Poso di kejauhan. Ditempuh tak sampai sejam dari Desa Tindoli, pengunjung akan disuguhi pemandangan yang tidak lazim bagi sebuah bangunan bersejarah.

Jangan membayangkan lokasi benteng ini seperti situs bersejarah yang terpelihara dengan gelontoran dana dari negara. Pengunjung disuguhi semak belukar. Bau humus menyergap dari segala arah.

Benteng Kandela berdiri dalam sunyi yang meresap. Dinding-dinding tuanya dirambati tumbuhan liar, akar dan menjulur menyusup di antara celah batuan, seolah alam hendak menelan kembali sejarahnya.

Pohon-pohon hutan menaunginya seolah menciptakan kanopi gelap yang menahan cahaya. Gemericik air terdenegar di bagian dasar batu. ‘’Itu adalah sumber air bersih bagi warga Tindoli,’’ ungkap Tinus Lidaya yang mengantar rombongan, pagi Selasa 21 Mei 2025.

Tengkorak Berserakan.

Malam sebelum penjelajahan dimulai, Asmara Bintindjaya mengingatkan seluruh anggota tim Geopark, sebanyak 25 orang untuk tidak mengambil apa pun dari kawasan Benteng Kandela. Termasuk satu hal penting, tidak menginjak tulang belulang yang berserakan di tanah.

“Jangan ambil barang. Jangan injak tulang-tulang di tanah,” ulang Tinus Lidaya, tokoh masyarakat setempat, sesaat sebelum para peserta melangkah masuk ke dalam kawasan hutan yang menyimpan jejak sejarah dan arwah masa lalu itu.

Di sela-sela bangunan, peti kayu tua berserakan, sebagian lapuk, sebagian terbuka dengan tengkorak manusia mengintip dari dalamnya. Bau tanah basah bercampur dengan aroma kayu lapuk dan kesenyapan hutan, memunculkan suasana mistik yang kental. Kandela bukan sekadar benteng—ia terasa seperti penjaga dunia arwah yang belum usai menyampaikan pesannya pada masa kini

MENJELASKAN – Riska Puspita Geolog asal Universitas Tadulako, menerangkan batuan metamorf yang terbentuk sejak periode kapur sekira 140 juta tahun yang lalu, kepada peserta jelajah Geopark

Perlawanan Suku To Buyu dengan Belanda

Bintindjaya kembali menjelaskan, di atas bangunan batu Benteng Kandela terdapat tanah datar yang menghadap langsung ke Danau Poso. Menurutnya, posisi ini menjadikan Kandela sangat ideal sebagai benteng pertahanan. Struktur batunya menjulang hingga sekitar sepuluh meter, dan di puncaknya terbentang ruang terbuka yang cukup lapang—tempat para pejuang bertahan menghadapi serangan.

Di sanalah Suku To Buyu, salah satu anak suku Pamona yang mendiami gugusan gunung di sekitar Desa Tindoli, pernah berjibaku melawan Belanda. Perang itu diperkirakan terjadi sekitar tiga dekade setelah masuknya Injil ke wilayah Poso. Mengandalkan amunisi tradisional yang disebut dum dum, Suku To Buyu bertahan sekuat tenaga. Namun mereka akhirnya takluk. Tiga prajurit mereka gugur, Lute, Lapadji, dan Ondja.

Eksotisme Air Terjun Kandela

Desa Tindoli tidak hanya menyimpan warisan sejarah perlawanan, tetapi juga kekayaan geologi yang luar biasa. Lanskapnya dipenuhi batuan metamorf dari periode Kapur, terbentuk sekitar 140 juta tahun lalu.

Di tengah bentang alam kuno itu mengalir Air Terjun Kandela—atau Wera Kandela dalam sebutan lokal—yang menjadi salah satu keajaiban alami desa.

Air terjun ini terbentuk dari pertemuan dua sungai, Tabalimbotu dan Lelo’u, dan dapat dijangkau dengan berjalan kaki sekitar 20 menit dari pusat desa. Selain keindahannya, Wera Kandela juga dikenal lewat legenda yang hidup di tengah masyarakat.

INDAH – Peserta jelajah Geopark berdiri di depan air terjun Kandela di Desa Tindoli, Selasa 20 Mei 2025

Menurut Tinus Lidaya, tokoh adat Tindoli, warga percaya jika suara air terdengar seperti tabuhan gong, maka itu pertanda akan ada yang wafat. Meskipun kini bunyi itu tak lagi terdengar, kisahnya tetap diwariskan sebagai bagian dari identitas budaya yang melekat erat pada lanskap desa.

Kandela, Nada Rindu dari Desa Tindoli

Kandela rambamu meawa kojo
Mau lawamo mpalai
Beda kukalingani ta’amu

Begitulah bait pembuka dari lagu “Kandela”, sebuah lagu daerah yang merayakan keindahan dan kerinduan pada Desa Tindoli, permata kecil di Kecamatan Pamona Tenggara. Dalam sesi jelajah terakhir ke desa ini, dua pemuda, Feldinan dan Refans menyanyikannya dengan suara tenor dan alto yang berpadu harmonis, seolah alam desa ikut bersenandung bersama mereka.

Lagu ini tak sekadar lantunan nada. Ia adalah ungkapan rindu yang tak pernah pudar. Tindoli, atau Kandela dalam sebutan lokal, digambarkan sebagai tempat yang penuh pesona, lanskap alam yang memikat, keramahan warganya, dan kekayaan rasa dalam kulinernya. Semua itu membekas dalam ingatan warganya—bahkan setelah mereka pergi jauh, Tindoli tetap hidup dalam hati.

“Lagu ini diciptakan sebagai pengingat. Supaya anak-anak Tindoli yang merantau tidak lupa pada kampungnya,” ujar Dewi Pomounda (28)  setelah penampilan keduanya objek wisata Batu Buaya, Desa Tindoli.

TINDOLI DALAM NADA – Feldinan dan Refans menyanyikan lagi berjudul Kandela, berisi pemujaan alam indah Desa Tindoli alias Kandela

Dewi menambahkan, “Kami sering nyanyi lagu ini waktu rindu rumah. Liriknya sederhana, tapi dalam. Seperti bicara langsung dari hati.”

Kandela bukan hanya sebuah tempat, tapi juga melodi yang pulang ke telinga, mengundang siapa saja untuk kembali. Karena ada rumah yang tak tergantikan, dan nada-nada yang abadi dalam kenangan.

Perjalanan Kedua

Perjalanan Jelajah Geopark yang berlangsung pada 19–21 Mei ini merupakan etape kedua dari rangkaian eksplorasi Geopark Poso. Sebelumnya, tim telah menelusuri wilayah Poso Pesisir, mengunjungi desa-desa seperti Pantangolembah, Tangkura, Malitu, dan Mapane.

Dalam perjalanan kali ini, rute mengarah ke Desa Tindoli, Kecamatan Pamona Timur, dilanjutkan ke Desa Taipa di Pamona Barat. Sedikitnya 25 orang ambil bagian—terdiri dari penulis, konten kreator, seniman, pelukis, serta para ahli geologi dan arkeologi.

Kehadiran para ilmuwan ini tak hanya menambah bobot keilmuan perjalanan, tapi juga memberi kedalaman narasi yang disampaikan kepada publik—agar konten yang lahir tak sekadar indah, tetapi juga bermakna dan mendidik.

Pada setiap dialog dengan warga desa, Pemimpin Tim Jelajah Geopark, Lian Gogali, selalu menggarisbawahi bahwa Geopark Poso harus menjadi bagian integral dari pembangunan berkelanjutan. Menurut Ketua Institut Mosintuwu ini, konsep taman bumi tidak cukup hanya mengandalkan keindahan alam semata.

GRUP MELAGU – Ichonk dan Iksan, keduanya personel Grup Melagu membawakan lagu bertema alam dan budaya di depan warga Desa Tindoli, Selasa 20 Mei 2025

Ada tiga pilar utama yang wajib dijaga dan dihidupi bersama. Pertama adalah warisan geologi, keunikan batuan, fosil, lanskap, dan struktur alam yang mencerminkan proses bumi yang penting.

Kedua, warisan budaya, tradisi, sejarah dan kearifan lokal yang hidup berdampingan dengan alam sekitar. Dan ketiga, warisan biologi. Keanekaragaman hayati yang tumbuh dan hidup di dalam kawasan geopark, yang perlu dijaga kelestariannya.

“Ketiga elemen ini harus dikelola secara berkelanjutan, bukan hanya untuk pendidikan dan penelitian, tapi juga untuk mengembangkan pariwisata dan ekonomi lokal,” ujar Lian.

Tak hanya berdiskusi, para peserta juga larut dalam kekaguman terhadap lanskap dan atmosfer alam yang masih perawan. “Di sini saya merasa seperti sedang membaca buku alam yang terbuka. Setiap batu, pohon, dan lekuk tanahnya punya cerita,” ujar Yusril (25), seorang peserta muda yang selalu sigap dengan kamera livestreaming-nya.

Sementara itu, Raya seorang pencerita dongeng, mengaku perjalanan ini memberinya perspektif baru. “Selama ini saya hanya melihat Poso permukaannya saja. Tapi berada langsung di tempat-tempat seperti Tindoli dan Taipa, rasanya berbeda. Ada kedalaman yang tak bisa ditangkap kamera,” katanya.

Petualangan tim Jelajah Geopark masih akan berlanjut. Masih ada dua perjalanan tersisa. Menyusuri Desa Wera dan menapaki Lembah Bada—dua kawasan yang menyimpan kisah bumi yang tak kalah menakjubkan. ***

Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: yardin, Yusril

 

Tinggalkan Balasan