Ancaman Penggusuran Hantui Puluhan Warga LIK Trans Bumi Roviega Tondo

Anggota Satgas KPA, Joko Wiiyono bersama warga LIK Tondio, Senin 13 Oktober 2025

PULUHAN warga di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Roviga, Kelurahan Tondo, Kota Palu, saat ini dalam keresahan setelah menerima ancaman penggusuran oleh perusahaan pengembang properti. Mereka terancam kehilangan tempat tinggal dan lokasi usaha yang telah ditempati secara turun temurun selama lebih dari 30 tahun.

Keresahan akut ini diungkapkan warga kepada Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) yang mendatangi lokasi tersebut pada Senin (13/10/2025). Salah satu warga, Chasminah (69), seorang janda dengan enam anak dan beberapa cucu, tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya.

“Saya mau ke mana? Saya tidak mungkin pulang ke Jawa. Tidak ada lagi apa-apa di sana,” tutur Chasminah, yang berasal dari Tanjung Priok, Jakarta.

Ia menceritakan, suaminya merupakan salah satu peserta transmigrasi industri swakarsa yang tiba di Palu pada tahun 1993. Suaminya terlebih dahulu ke Palu untuk memastikan situasi. Beberapa bulan kemudian mereka sekeluarga pindah secara total, meninggalkan harta dan sanak saudara di Jakarta demi harapan baru di Sulawesi Tengah.

Suami Chasminah adalah perajin pembuatan knalpot mobil di LIK Bumi Roviega. Beberapa tahun kemudian sang suami wafat dan kini Chasminah bertahan hidup bersama anak bungsunya. Setahin terakhir hidupnya dihantui kekhawatiran mendengar rencana penggusuran tersebut. ‘’betul kami ini mau digusur,’’ tanyanya pelan.

Kegelisahan serupa juga dirasakan Mohamad Anwar. Ia adalah generasi kedua transmigran asal Jawa Tengah. Ayahnya, Nur Saim (asal Semarang), telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Anwar mengaku khawatir  tempat tinggalnya akan diambil alih oleh developer. ‘’Sudah ada satu rumah yang digusur. Tapi di kompleks ini kami masih bertahan,’’ katanya.

Kisah Chasminah dan Anwar mewakili suara puluhan warga Trans LIK yang kini berharap-harap cemas. Mereka meyakini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) adalah sandaran terakhir untuk menghadapi perusahaan pengembang. “Harapan kami terakhir adalah Pemerintah. Kami tidak punya kekuatan untuk melawan perusahaan,” tegas warga.

Tentang LIK Roviega Tondo

Ancaman penggusuran yang kini menghantui puluhan transmigran di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Roviga, Kelurahan Tondo Palu, merupakan puncak dari sejarah panjang sebuah program rintisan (pilot project) yang digagas oleh Pemprov Sulteng. Proyek ini digagas semasa Kepemimpinan Abdu Azis Lamadjido pada tiga dekade lalu,  namun berjalan jauh dari harapan.

LIK Tondo dirancang sebagai Transmigrasi Industri Swakarsa, sebuah model pengembangan non pertanian yang spesifik untuk sektor jasa dan industri kecil. Program yang dicanangkan sejak awal tahun anggaran 1990/1991,  ini adalah upaya ambisius menjadikan Palu sebagai lokasi proyek percontohan (pilot project) LIK-Trans di Sulawesi. Pelaksanaannya saat itu dipercayakan kepada pihak swasta, yakni PT Lembah Palu Nagaya, anak perusahaan PT Tanah Makmur.

Ada Jaminan Fasilitasdan Kegagalan Jaminan Modal

Program LIK-Trans Palu menarik minat puluhan pengusaha kecil dan tenaga terampil dari Jawa Tengah, Yogyakarta dan DKI Jakarta. Mereka diwajibkan memiliki modal, peralatan dan keterampilan. Sebagai imbalan, peserta mendapat fasilitas lengkap, meliputi, Workshop dan rumah tinggal, Jatah hidup selama enam bulan, kaminan legalitas berupa H.O. (Hinderordonnantie), IMB, izin usaha hingga sertifikat tanah serta fasilitas listrik dan air bersih.

Pada penempatan awal 1990 hingga 1992, LIK Palu berhasil menampung total 180 KK. Terdiri dari 25 KK Pengusaha Industri dan 155 KK Tenaga Jasa Industri. Namun, sejak awal perkembangannya tidak mulus. Data menunjukkan terjadi penurunan jumlah penghuni yang signifikan karena berbagai sebab, termasuk kembali ke daerah asal hingga meninggal dunia.

Kegagalan utama program ini terletak pada aspek hukum dan pengelolaan. Developer PT Lembah Palu Nagaya, ternyata terhambat masalah prosedural, khususnya terkait penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) yang tak kunjung terbit.

Hambatan birokrasi ini berdampak kurang baik karena Developer tidak dapat melaksanakan Kredit Pemilikan Workshop (KPW) melalui KPR BTN, padahal skema kredit ini adalah jaminan pengembalian modal investasi mereka.

Akibatnya, biaya pembangunan dan operasional LIK Palu harus ditanggung oleh perusahaan induk PT. Tanah Makmur Mas Semarang. Ini menyebabkan kerugian besar bagi developer. Investasi yang diharapkan kembali melalui skema KPW tidak pernah terwujud.

Kondisi tersebut diperburuk karena sebagian besar transmigran yang di awal penempatan diharapkan mandiri setelah lima tahun pembayaran angsuran kepemilikan bangunan selama lima tahun lebih terhambat.

Pada tahun 1997, PT Lembah Palu Nagaya berupaya menyelesaikan tunggakan melalui perjanjian kesepakatan. Dari total 45 unit usaha yang tersisa, delapan unit ditarik oleh developer.

Menjelang tahun 1997, jumlah pengusaha di LIK Tondo Palu kembali merosot tajam menjadi 45 pengusaha, dari yang sempat mencapai puncaknya (sekitar 60 pengusaha) pada tahun 1994.

Kini, puluhan tahun setelah program tersebut secara teknis gagal diurus. Transmigran yang tetap bertahan di LIK Roviega Tondo justru menghadapi ancaman penggusuran oleh perusahaan pengembang, menyuarakan krisis agraria yang berakar dari kegagalan pilot project industri pemerintah di masa lalu.

Satgas PKA Bakal  Panggil Semua Pihak Terkait 

Menanggapi keresahan yang mendalam dari puluhan warga transmigran di LIK Roviga Tondo, Ketua Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA) Provinsi Sulawesi Tengah, Eva Bande, memastikan bahwa pihaknya akan segera mengambil langkah konkret.

“Kami telah mendengar langsung dan mencatat seluruh aspirasi serta sejarah pahit yang dialami warga LIK Roviga,” ujar Eva Bande. “Ini adalah konflik agraria yang berlapis, berakar dari kegagalan program pilot project Transmigrasi Swakarsa Industri puluhan tahun lalu.”

Eva menegaskan, Satgas PKA tidak akan membiarkan warga berjuang sendirian melawan perusahaan. Pihaknya akan segera memproses data dan dokumen yang dikumpulkan di lapangan untuk dibawa ke meja rapat.

“Sebagai tindak lanjut, kami akan segera melayangkan surat pemanggilan kepada pihak-pihak terkait. Mulai dari developer,  unsur-unsur pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan penerbitan izin pada periode awal,” tegasnya.

Pemanggilan tersebut bertujuan untuk melakukan klarifikasi secara menyeluruh terkait status Hak Guna Bangunan (HGB) dan tunggakan angsuran yang menjadi pangkal masalah.

“Kami berkomitmen untuk menyelesaikan konflik LIK Tondo secara berkeadilan dan mencari solusi terbaik bagi hak-hak warga transmigran yang telah menempati dan menghidupi kawasan ini selama lebih dari tiga puluh tahun,” tutup Eva, menjanjikan langkah cepat dari Pemerintah Provinsi. ***

Penulis  Yardin Hasan

Tinggalkan Balasan