KAWASAN Rumah adat Souraja di Kampung Lere gegap gempita. Malam merayap perlahan dengan lampu warna-warni menggantikan cuaca terik sedari siang, menghadirkan sensasi berbeda. Stand kuliner tradisional tampak dipenuhi pengunjung. Tulisan minimalis Folklore Fusion Fest, tertata sederhana di atas taman kecil. Orang-orang tampak berebut berfoto di sana.
Di bawah rumah adat Souraja, stand Historia sedang menyelenggarakan nonton bareng. Sebuah film lawas, Mutiara dalam Lumpur, besutan Asrul Sani. Film ini menurut Herianto dari Historia Sulteng, syutingnya dilakukan Souraja, di rumah Raja Djanggola. Film ini dibintangi WD Moehtar dan Sofhia WD. Berkat perannya itu, Sofhia WD diganjar Piala Citra pada FFI 1973.
Malam kedua gelaran Folklore Fusion Fest 2025 – Arts & Exhibition ini memilih halaman Souraja sebagai kanvas. Sebuah keputusan yang bijak sekaligus menggugah. Sebab di sinilah, di ruang terbuka tempat para raja dan bangsawan Kaili biasa menjamu tamu atau menggelar upacara adat.
Penanggungjawab event Mohamad Zufikar bilang, menggelar panggung seni di pelataran Souraja sebagai upaya nyata untuk menghadirkan Kebudayaan untuk Hidup Berkelanjutan, yang menjadi tema sentral hajatan ini. ‘’Pada dinding-dinding kayu rumah Souraja yang memancarkan sejarah, festival ini seolah memohon izin kepada para leluhur, membiarkan semangat storytelling rakyat jelata bersanding dengan seni kontemporer,’’ demikian kira-kira panitia menjadikan halaman Souraja sebagai venue utama.
Sejak awal ungkap Zulfikar, semangat festival ini merupakan ruang hidup untuk tumbuh bersama, bukan sebatas gelaran basa basi. Begitu pria yang akrab disapa Zul, menjelaskan landasan filosofis kegiatan ini.

“Penyelenggaraan Folklore Fusion Fest, didasarkan pada prinsip penghargaan terhadap keberagaman sosial dan budaya yang inklusif,” sambung Zul dengan intonasi yang tegas namun penuh harap. “Kami percaya, budaya adalah fondasi. Tanpa fondasi yang kuat, modernitas hanyalah ilusi. Souraja ini membuktikan bahwa kita bisa modern tanpa melupakan akar.”
Apa yang disebut Zul sebagai ruang perjumpaan benar-benar terwujud malam itu. Kehadiran ratusan pasang mata bukan sekadar apresiasi. Tetapi bentuk kepedulian bersama yang diharapkan mampu menumbuhkan alih pengetahuan lintas generasi.
Membaca Jiwa Raja di Beranda Souraja
Sebelum panggung utama berdebam dan tirai pertunjukan dibuka, di beranda Souraja yang dialas papan dari kayu besi alias ulin (eusideroxylon zwageri) Herianto membuka diskusi. Sekelompok anak muda, mayoritas generasi Z, duduk melingkar di lantai kayu. Tak ada yang main gawai mereka mendengarkan dengan seksama.
Dengan gaya bertutur yang ringan, sejarah masa lampau serasa seperti mengunyah popcorn diselingi minuman toping boba. Herianto menerangkan detail filosofis rumah bangsawan Suku Kaili ini dengan runut mudah dicerna. Mulai dari tangga di sebelah kanan, warna cat, hingga ukiran bermotif flora yang menyimbolkan kesuburan dan kemuliaan.
“Bagi orang Kaili, rumah ini bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah semesta Kaili,” jelas Herianto, seraya menunjuk tiga ke pintu utama yang menyimpan simbol – simbol tertentu. “Lihat ini ruangan depan, Ini adalah ruang tamu. Di sinilah raja menjamu para pembesar dan tokoh adat. Cara mereka duduk, cara mereka berbicara semuanya punya makna. Menunjukkan betapa beradabnya orang tua terdahulu menyambut tamu. ‘’Jika pembicaraannya agak spesifik dan sensitif, maka dibicarakan di dalam ruangan,’’ katanya.
Peserta kemudian diajak masuk lebih dalam ke jantung Souraja. Saat masuk pemandangan tersaji oleh ruang tengah yang tampak lapang. Terdapat tiga setel kursi tamu. Kursi yang tidak bisa dibilang datang dari abad lampau, tapi juga jauh dari kesan kekinian. Sebelah kanan masuk kamar utama tempat tidur raja, sebuah ranjang dari besi sebesar ibu jari sebagai penyanggah kelambu nyaris menyentuh plafon. Tirai tipis tembus pandang sebagai penutup, memberi kesan anggun sekaligus memancarkan suasana sakral.
Dari kamar sang raja ada ruang akses sebagai connecting door ke kamar dengan ukuran yang nyaris sama. Tak ada deskripsi fungsi ruangan ini. Entah kamar atau tempat menyimpan barang antik sang raja. Lalu ada ruang kecil diselimuti kain kuning keemasan. ‘’Itu apa,’’ tanya peserta penasaran. ‘’Itu ruang sakral tempat prosesi tertentu. Di zamannya tak semua orang bisa mengakses itu,’’ balas Anto dengan mimik serius.

FOTO – Herianto menjelaskan identitas di foto yang tergantung di beranda Rumah Adat Souraja, Sabtu, 18 Oktober 2023
Karpet tebal dan halus meredam langkah di atas lantai papa kayu besi. Di sekelilingnya, galeri foto para Raja Palu yang pudar dimakan usia terpajang rapi di dinding. Seolah mengajak setiap mata untuk hanyut dalam kilas balik kejayaan tempo dulu.
Lalu ada ruang belakang yang terkunci rapat. Tempat makan dan ruang para putri. Interaksi langsung dengan ruang historis ini di tengah gemuruh festival, menjadi jembatan konkret antara hikayat sejarah dan kenyataan.
Gelegar di Panggung Utama
Setelah energi sejarah diserap, panggung utama di halaman kembali memanggil. Suara host memekak telinga. Malam kedua tersebut menyuguhkan kolase pertunjukan yang memukau. Pembukaannya terasa penuh energi. Penampilan dari Polelea Tari Art Performing & Contemporery Dance, asal Kabupaten Sigi. Sederet prestasi yang pernah ditoreh grup ini, di panggung lokal dan nasional , membuatnya mendapat aplaus panjang pengunjung.
Setelah energi gerak yang memukau, suasana dibawa ke kedalaman emosional oleh Dili Suwarno lewat pentas seni teater. Di panggung Souraja, kisah-kisah rakyat diangkat kembali. Sorotan lampu pada wajah Dili Suwarno yang sedang menyampaikan monolog tentang sejarah, menciptakan gema yang kuat bagi pendengarnya.
Di tengah pertunjukannya , Dili sempat berbagi kisahnya dengan penonton. “Sejak SD, kami dididik dengan membaca buku-buku sejarah Kaili. Itu tertanam kuat. Lalu saya belajar teater. Dan panggung ini menjadi tempat satu-satunya di mana saya bisa mengekspresikan segala kegelisahan, kerinduan dan harapan terhadap tanah leluhur kita,” penonton memberi aplaus panjang pernyataan yang sangat subtansif itu.
Lalu, giliran Teater Kampoeng Cermin mengambil alih panggung. Mereka membawa kembali keaslian pertunjukan tradisional. Puncak malam ditutup oleh dentuman dan melodi dari To’Banawa, bersama dua gadis belia memainkan harmoni nada yang memanjakan telinga. To’Banawa menyajikan narasi akustik, mengambil elemen-elemen musik tradisional Sulawesi Tengah dan menggubahnya dengan sentuhan nuansa kontemporer.
Antusiasme tidak hanya datang dari para penampil. Dari barisan penonton, terlihat wajah-wajah yang memancarkan rasa kegembiraan. Pengakuan itu datang dari Ibu Sidar, seorang warga asal Palu Barat yang rumahnya tak jauh dari lokasi acara.
“Saya senang sekali. Bersyukur sekali. Sudah lama sekali kami di sini tidak punya acara budaya sebesar ini, apalagi digelar di Souraja,” ungkap Ibu Sidar dengan mata berbinar.
Zul kembali menekankan bahwa hajatan tiga hari yang berlangsung sejak Jumat hingga Minggu, 17 – 19 Oktober 2025 ini, adalah kolaborasi dan kemitraan dari pelbagai pemangku kepentingan, termasuk dukungan Program Dana Indonesiana oleh Kementerian Kebudayaan RI.
Rangkaian kegiatan festival yang berlokasi di Cagar Budaya Banua Oge, Jalan Pangeran Hidayat, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat ini, didesain lebih dari sekadar tontonan. Ada pameran seni yang berkolaborasi dengan komunitas lokal. Lapak kuliner tradisional serta UMKM hingga seduhan kopi dari Rumah Tiara, membuat hajatan kali ini begitu bermakna.
Di lapak kuliner, aroma rempah dan sajian duo penja bersaing dengan gemuruh musik kontemporer. Salah satu yang paling dicari adalah Uve mpoi, makanan tradisional khas Palu. Magdalena, pengunjung muda yang tengah asyik menikmati hidangan tersebut, tampak semringah. “Senang sekali. Uve Mpoi nya enak,’’ cerocosnya. Di sini katanya, bukan cuma mata dan telinga yang dihibur. Tapi lidah juga. ‘’Perpaduan yang sempurna,’’ katanya sembari menjulurkan lidah kepedisan.

Jam malam terus melaju, meninggalkan para penampil yang mulai berkemas. Lampu-lampu dipadamkan. Penonton yang melangkah keluar, membawa serta energi baru. Walau diwarnai insiden kecil, hilangnya gawai oppo milik panitia, tapi tak mengurangi makna hajatan. ‘’Besok malam penutupan datang lagi, saya bawa anak saya,’’ seru seorang ibu muda.
Tampak jelas pengunjung puas telah menyaksikan bagaimana cerita rakyat dipadukan dengan irama modern. Sejarah agung rumah raja bisa menjadi latar belakang pertunjukan dan bagaimana fakta-fakta kehidupan disajikan melalui narasi yang menyentuh.
Seperti harapan yang Zul. Penyelenggaraan ini dapat terus berlangsung. Ini adalah bagian penting dari pendidikan kebudayaan. Sebuah ruang yang memberi peluang bagi semua untuk menumbuhkan kepedulian akan pentingnya preservasi dan inovasi demi terjaganya budaya dan kebudayaan.
Pukul 22. 45, saya meninggalkan pelataran Souraja. Gema musik To’Banawa seolah masih terdengar samar. Menyisakan kesimpulan puitis, tentang kebudayaan di Palu yang terus hidup. Jika ada yang menyebut stagnan karena institusi yang menaunginya konon belum akur dan baku sikut, itu tidak memberi pengaruh besar. Dan malam ini di bawah tatapan mata leluhur di beranda Souraja, ia terbangun, bernapas dan bercerita. ***
Penulis & foto: Yardin Hasan
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak