SATUAN Tugas (Satgas) Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Provinsi Sulawesi Tengah bersama Kantor Pertanahan Kota Palu melakukan pengambilan data lapangan di Kelurahan Duyu, Kota Palu dan Desa Doda, Kabupaten Sigi, Rabu 22 Oktober 2025. Kegiatan ini berfokus pada lahan warga yang diklaim sebagai milik PT Duta Darma Bakti melalui Surat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Sekretaris Satgas PKA Sulteng, Apditya Sutomo, S.AP, SH, memimpin langsung kegiatan tersebut bersama anggota Joko Wiyono . Pihak Kantor Pertanahan ATR/BPN Kota Palu, dipimpin Wahyudi Saputro. Pengambilan data dilakukan dengan memetakan titik koordinat di setiap bidang tanah warga yang masuk ke dalam area klaim HGB.
Kegiatan diikuti belasan warga dari Kelurahan Duyu dan Desa Doda. Data yang dikumpulkan akan menjadi dasar bagi Satgas PKA dalam menyusun rekomendasi penyelesaian konflik antara warga dan perusahaan.
Sengketa lahan antara warga Duyu–Doda dengan PT Duta Darma Bakti telah berlangsung lama. Warga mengklaim lahan tersebut adalah tanah garapan mereka yang turun-temurun. Sementara perusahaan menyebutnya sebagai bagian dari HGB yang diterbitkan pemerintah. Satgas PKA menyebut pengambilan data lapangan ini penting untuk memastikan batas faktual kepemilikan lahan sebelum melangkah ke tahap mediasi dan verifikasi dokumen hukum.
Semestinya pengambilan data lapangan juga dihadiri oleh Kepala Desa Doda dan Lurah Duyu. Namun, hingga pengukuran titik koordinat selesai, hanya Kepala Desa Doda yang tampak di lokasi. Lurah Duyu tidak terlihat hadir, meskipun surat undangan telah disampaikan. ”Undangan sudah saya sampaikan,” ujar Darwis warga setempat.
Sebelum melakukan pengambilan data, di hadapan warga dan pejabat pertanahan Sigi dan Kota Palu, anggota Tim Satgas PKA, Joko Wiyono mengatakan, hari ini Tim Satgas turun untuk menindaklanjuti aduan warga mengenai adanya pendudukan lahan warga oleh perusahaan. Selanjutnya Joko mengatakan, pengambilan data lapangan untuk bukti dan Validasi kepemilikan.
Data koordinat yang akurat menjadi bukti fisik yang tidak terbantahkan mengenai batas dan luas tanah yang dikuasai/dikelola warga. Menurut dia, ini sangat penting untuk melawan klaim tumpang tindih yang diajukan perusahaan melalui surat-surat formal, misalnya SHGB yang berpotensi cacat historis atau prosedural.
Di tempat yang sama, Sekretaris Tim Satgas , Apditya Sutomo ditanya jurnalis usai pengambilan data mengatakan, pengukuran ini sebagai mevalidasi batas. Memastikan batas-batas lahan yang disengketakan sesuai dengan penguasaan fisik di lapangan, sejarah penggunaan dan kesaksian warga.
Ia juga mengatakan, ini juga menjadi data objektif. Titik koordinat menyajikan data yang netral dan terukur bagi pihak yang bersengketa yakni warga dan perusahaan termasuk pemerintah/Satgas sebagai bukti sahih.
‘’Ini mengurangi potensi perdebatan subjektif dan memfasilitasi dialog yang lebih konstruktif. Sekaligus menjadi alat visual yang esensial dalam proses mediasi untuk mengidentifikasi akar masalah secara jelas,’’ jawab Apdi.
Apdi mengatakan, setelah datanya diolah, selanjutnya akan menjadi rekomendasi ke Gubernur Sulteng langkah apa yang diambil selanjutnya. Saat mengadu ke Satgas PKA Sulteng beberapa waktu lalu, masyarakat meminta pemerintah untuk mencabut SHGB milik PT Duta Darma Bakti, termasuk mendesak pemerintah segera mengevaluasi dokumen perizinan PT Duta Darma Bakti yang awalnya bernama PT Cahaya Lestari Sentosa (CLS) itu.
Jejak Lama PT Duta Darma Bakti di Kota Palu

PT Duta Darma Bakti adalah pemain lama di Kota Palu. Jejak perusahaan ini bisa tersebar di berbagai tempat. Selain di Kelurahan Duyu dengan Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 01, perusahaan ini juga memiliki lahan di Kelurahan Talise berdasarkan dokumen HGB Nomor 10. Di Talise, masa berlaku HGB berakhir pada 30 November 2014, sementara di Duyu berakhir pada 8 Agustus 2019 lalu diperpanjang lagi.
Dari hasil penelusuran, termasuk kesaksian warga setempat, diketahui bahwa PT Duta Darma Bakti telah beroperasi di Sulawesi Tengah sejak era Gubernur Abdul Azis Lamadjido. Sekitar tiga dekade silam. Bekas kiprahnya masih terlihat melalui sejumlah proyek yang menjadi bagian dari kerja sama dengan pemerintah daerah. Antara lain, Lapangan Persipal ditukar guling pembangunan Stadion Gawalise, rumah sakit di Jalan Hasanuddin yang dibangun kembali di Jalan Kangkung, serta berdirinya kompleks Pertokoan Palu Plaza.
Sebagai kompensasi dari berbagai pekerjaan itu, perusahaan memperoleh lahan seluas 102 hektar di Kelurahan Duyu. Lahan itu bukan hibah, melainkan bagian dari kesepakatan. Perusahaan diwajibkan membangun kompleks perumahan.
Lokasinya kini berada tepat di depan Kantor Kelurahan Duyu. Namun proyek perumahan itu gagal. Rumah-rumah yang dibangun tidak laku dan kini hancur tak berbekas. Sementara perumahan lain yang diberi nama Bukit Nirwana hanya sebagian yang berhasil terjual.
Pada tahun 2011, PT Duta Darma Bakti, sebelumnya PT CLS, meninggalkan lahannya. Kantornya roboh. Penghuni perumahan Bukit Nirwana yang masih mencicil rumah kehilangan arah ke mana harus membayar. Setelah gempa melanda Palu, sebagian lahan HGB seluas enam hektar di Duyu digunakan pemerintah sebagai lokasi pembangunan perumahan tetap (huntap).
Masalah muncul dari arah yang tak terduga. Warga Desa Doda, Kabupaten Sigi, mendapati sebagian wilayah mereka tiba-tiba masuk ke Kelurahan Duyu, Kota Palu. Pergeseran batas itu tertuang dalam keputusan Kementerian Dalam Negeri. Ironisnya, masyarakat sama sekali tidak pernah tahu tentang perubahan administratif tersebut.
Akibatnya, ketika warga Desa Doda mengurus sertifikat tanah ke Kantor Pertanahan Sigi, permohonan mereka ditolak dan dialihkan ke Kantor Pertanahan Kota Palu. Di sana, mereka mendapat kabar mengejutkan. Lahan di tempat mereka kini terdaftar sebagai bagian dari HGB milik PT Duta Darma Bakti.
“Padahal kami tidak tahu-menahu soal transfer batas itu. Dari konflik agraria muncul mulai,” tutur Darwis, salah satu warga terdampak. Persoalan ini kemudian ikut mencuat dalam rapat Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulawesi Tengah. Dalam rapat itu, muncul klaim bahwa beberapa warga telah menandatangani persetujuan HGB.
Namun sejumlah warga termasuk Darwis mengaku mereka tidak pernah membubuhkan tanda tangan. Dari catatan lapangan, jumlah warga yang terdampak di Kelurahan Duyu mencapai sekitar 45 kepala keluarga dengan luas lahan bervariasi, totalnya sekitar 10 hingga 12 hektar.
Darwis menuturkan, dari informasi yang ia peroleh, perluasan HGB itu terjadi setelah keluarnya rekomendasi Gubernur Longki Djanggola. Rekomendasi tersebut memperluas area HGB hingga menyentuh lahan warga dan sebagian wilayah Desa Doda. “Saya dapat informasinya seperti itu,” kata Darwis.
Masih menurut Darwis, perluasan HGB itu dikaitkan dengan penyerahan atas lahan enam hektare milik perusahaan untuk pembangunan Huntap. Sebaliknya, pemerintah memberikan tambahan luas HGB kepada perusahaan.
“Inilah yang memicu konflik,” ujarnya. Kini warga meminta agar batas wilayah dikembalikan seperti semula, mengikuti jalan raya utama yang sejak dulu menjadi batas alami antara Desa Doda dan Kelurahan Duyu. ***
Penulis: Amanda
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak