PAGI pukul sembilan. Sinar matahari sudah tinggi di langit Tondo. tapi udara di Kompleks Pondok Karya Abadi terasa berat. Di antara deretan rumah-rumah semi permanen yang tampak kusam, sekelompok orang tampak menunggu. Mereka menantikan kedatangan tamu yang sebagian dari mereka adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Tim Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulawesi Tengah. Tim besutan Gubernur Anwar Hafid yang diberi mandat penuh menyelesaikan konflik di Sulawesi Tengah.
Kunjungan ketiga pada 23 Oktober 2025 ini tetap disambut antusias warga. Mereka masih berharap pada keadilan atas ancaman pengusiran oleh pengembang besar tersebut. Bagi mereka, Gubernur bersama Satgas PKA adalah harapan terakhir untuk mempertahankan tempat tinggal yang telah menjadi rumah selama puluhan tahun.
Kisah Nur Atma dan Perjuangan di Usia Senja
Di antara warga, sosok Nur Atma (73) mencuri perhatian. Nenek kelahiran 1952 ini hidup dalam ketidakpastian. Tinggal di mess sederhana selama lebih dari 30 tahun. Tak punya keluarga. Tak punya tabungan. Termasuk tak tahu harus mengadu ke mana jika terusir.
Suaminya Sutomo, yang 12 tahun lebih muda, mengidap gangguan jiwa (ODGJ). Dengan kondisi itu tidak bisa membantu untuk sekadar membantu dapur tetap mengepul. “Nanti pas hari-hari warasnya, bisa memulung, baru dapat uang lagi,” curhat Atma dengan nada penuh kepasrahan.
Ketika mendengar Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, melalui Satgas PKA berjanji mencari solusi, secercah harapan menyala di hati Atma. Dengan langkah tertatih, ia menyambut Tim Satgas di beranda rumahnya. “Di sini saja, Pak. Biar cuma di teras,” ajaknya, sembari menahan beban tubuhnya yang rapuh. Harapannya sederhana namun mendalam. “Pak Gub, mohon perjuangkan kami agar tidak diusir.
Kunjungan Tim Satgas disambut antusias oleh warga LIK Tondo. Mereka menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan sebagai bukti bahwa mereka peserta Transmigrasi Swakarsa Industri yang didatangkan Pemprov Sulteng pada rentang waktu 1991 – 1993.
Beberapa kali, preman dikirim untuk mengintimidasi warga. Namun, semangat warga tak padam. Mereka melihat Satgas PKA sebagai jalan keluar dari konflik agraria yang telah berlarut-larut. Dua tahun terakhir, warga sebenarnya tak tinggal diam. Mereka mendatangi kelurahan, berdialog dengan camat bahkan sampai ke kantor wali kota.
Namun, upaya itu seperti membentur tembok. “Pak Lurah seperti membiarkan kami berjuang sendiri. Mereka tidak urus,” keluh salah satu warga. Kekecewaan ini membuat Gubernur Anwar Hafid dan Satgas PKA menjadi tumpuan terakhir mereka.
Di tengah keputusasaan, kehadiran Tim Satgas PKA bagai angin segar. Nur Atma dan suaminya menanti solusi konkret agar bisa tetap bertahan di LIK Tondo. Dengan nada penuh harap, Atma dan warga lainnya berpesan, “Kami cuma ingin hidup tenang di tempat ini. Tolong kami Pak Gub,”
Pernah Kembali ke Jakarta Menjadi Buruh Cuci
Di tengah ancaman pengusiran yang kian nyata di Kompleks Pondok Karya Abadi, LIK Tondo, kisah Nur Atma dan suaminya, Sutomo, menjadi cerminan perjuangan warga kecil melawan ketidakpastian.
Sutomo adalah pria kelahiran Pademangan Barat, Jakarta Utara. Pertama kali menginjakkan kaki di Palu pada 1993. Ia diajak oleh Solihin untuk bekerja sebagai karyawan di usaha pembuatan Tempe Monas di LIK Tondo. Namun, harapan akan kehidupan yang lebih baik itu hanya bertahan setahun.

Pada 1994, Sutomo didiagnosa mengidap gangguan jiwa (ODGJ) sebuah kondisi yang mengubah hidupnya secara drastis. Dari buruh terampil di Tempe Monas, ia terpaksa beralih menjadi buruh serabutan. Sesekali memulung untuk menyambung hidup.
Kondisi ODGJ yang diderita Sutomo membuatnya tak bisa diandalkan sebagai tulang punggung keluarga. “Kalau sedang waras, dia memulung, baru dapat sedikit uang,” ujar Nur Atma, dengan raut wajah datar.
Atma, wanita asal Tegal Jawa Tengah, pernah mencoba peruntungan dengan kembali ke Jakarta pada awal 2000-an. Di sana ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun pada 2003, ia memilih kembali ke Palu untuk mendampingi Sutomo, yang saat itu tinggal di mess sederhana di Pondok Karya bersama anak semata wayang mereka.
‘’Gelisah juga ingat bapak di sini. Saya paksakan balik ke sini. Di Jakarta jadi pembantu dan buruh cuci di rumah tetangga,’’ katanya mengenang. Kini anak mereka telah hidup mandiri, sesekali mengirimi uang sekadar membayar lampu dan air PAM. Walau demikian kehidupan mereka jauh dari layak.
Saat masuk di rumahnya, suasana ketidakberdayaan sepasang suami istri ini sangat terasa. Cat rumah pudar. plafon mengelupas meninggalkan kesan rumah tua yang jarang disentuh. Tanpa penghasilan tetap, keluarga ini tak mampu memasang meteran listrik. Untuk penerangan, mereka menarik kabel dari rumah tetangga, sebuah solusi temporer yang mencerminkan ketidakberdayaan.
Tagihan air PAM yang harus dibayar pun menjadi beban, meski dibantu oleh anak mereka yang kini tinggal terpisah. Bahkan, untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp105.000 pada 2025, Atma harus menyisihkan tabungan dari hasil memulung yang dikumpulkan dengan susah payah.
“Semua serba pas-pasan. Tapi kami cuma ingin bertahan di sini,” tutur Atma, kali ini dengan senyuman. Ancaman pengusiran oleh PT Intim Abadi Persada semakin memperburuk keadaan mereka. Meski Atma dan Sutomo belum pernah berhadapan langsung dengan preman suruhan perusahaan, peristiwa pembongkaran paksa atap mess di kawasan itu pada 2023 membuat mereka hidup dalam kecemasan.
Dengan kondisi Sutomo yang tak mampu melindungi keluarga saat oknum datang mengintimidasi, Atma merasa semakin tak berdaya. “Kalau mereka datang, saya cuma bisa pasrah. Suami saya tidak bisa apa-apa,” ungkapnya. Kali ini dengan mata sembab.
Di tengah situasi yang kian sulit, kehadiran Tim Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulawesi Tengah diakuinya menjadi secercah harapan. Atma tak pernah lelah menyuarakan harapannya kepada Gubernur Anwar Hafid melalui Satgas PKA. “Kami cuma minta jangan diusir. Ini rumah kami satu-satunya,” pintanya dengan nada penuh harap.
Saat tim Satgas pamit pulang dari pintu rumahnya Nur Atma memanggil dan melambaikan tangannya. Di wajahnya menggantung harapan. Perjuangan untuk sepetak tanah bisa berhasil. Setidaknya di petak sederhana itu, saat ODGJ suaminya tidak kambuh, ia bisa membantu Sutomo menarik gerobak, memulung sampah tanpa dihantui wajah bengis preman suruhan. ***
Penulis: Yardin Hasan
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak




