Desakan Moratorium Tambang Menguat, Antara Wacana dan Fakta

TERBUKA - Tutupan lahan makin telanjang oleh aktivitas tambang nikel di Morowali dan Morowali Utara

DESAKAN moratorium izin tambang terus menggema. Suara kritis dari berbagai kelompok masyarakat terus menguat. Hentikan dulu. Benahi dulu. Pemerintah diminta menahan diri sebelum memberi izin baru. Sebelum kerusakan ekologis pulih.

Kali ini suara desakan motarium disuarakan oleh Kompas Peduli Hutan (KOMIU) dalam diskusi terbatas di depan jurnalis dengan pembicara Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, Sunardi Katili dan Solihin dari lembaga LepMIL Kendari. Diskusi berlangsung di Palu, Sabtu 11 Oktober 2025.

Janji manis investasi sektor pertambangan nikel di Sulawesi Tengah  dinilai hanya menyisakan kerusakan ekologis dan konflik sosial. Koordinator Divisi Kampanye Yayasan KOMIU, Ufudin, menyoroti jurang lebar antara nilai investasi yang fantastis dengan minimnya dampak ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya di Morowali dan Morowali Utara (Morut).

Ia melanjutkan, berdasarkan data Geoportal Kementerian ESDM, Sulteng memiliki sekitar 149 izin penambangan mineral logam. Secara spesifik, 113 izin pertambangan nikel di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara telah berstatus operasi produksi. Dinukil DPMPTSP Sulteng, nilai investasi pertambangan di dua kabupaten tersebut mencapai Rp29,05 triliun pada tahun 2023,

Namun, kata Ufudin, dana yang kembali ke daerah sebagai Pendapatan Bagi Hasil (DBH) untuk Sulteng hanya berkisar Rp200 miliar.

“Dampak secara ekonomi dari investasi pertambangan belum signifikan dirasakan oleh masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya Morowali dan Morowali Utara,” tegas Ufudin. Alih-alih kesejahteraan, investasi nikel di Morowali dan Morut justru menimbulkan rentetan masalah serius.

Di antaranya, konflik sosial di lingkar tambang. kerusakan infrastruktur jalan dan parah. Bencana ekologis seperti banjir, krisis air bersih, deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati serta pencemaran ekosistem laut akibat limbah tambang. Hingga peningkatan kasus ISPA akibat debu pertambangan.

Ia melanjutkan, data Mapbiomas Indonesia menunjukkan, luas lobang tambang nikel di Morowali saja telah mencapai 8.310 hektar dengan konsesi pertambangan nikel di Morowali dan Morut mencapai 99.860,4 hektar.

Kegagalan Reklamasi dan Peringatan Gubernur

Ufudin juga menyoroti pelanggaran hukum pertambangan, yaitu minimnya pelaksanaan reklamasi. “Sejauh ini praktek pertambangan nikel di Morowali dan Morowali Utara belum melakukan kegiatan reklamasi untuk pemulihan lingkungan di area bekas-bekas tambang. Secara hukum jelas bertentangan dengan aturan pertambangan yang ada,” tambahnya.

Meskipun Gubernur Sulawesi Tengah sempat mengambil langkah baik dengan mengeluarkan surat peringatan bernomor 600.4.3.2/289/Dis.LH pada 15 September lalu mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.

Surat tersebut ditujukan kepada tiga perusahaan nikel besar: PT Gunbuster Industri (PT GNI), PT Nadesico Nickel Industri (PT NNI), dan PT Satya Amerta Havenport (PT SAH), kebijakan tersebut dinilai Fudin hanya bersifat peringatan pemulihan lingkungan.

Selain itu, Ufudin menyebut Inspektur Tambang Sulteng juga telah melakukan inspeksi masalah pada PT Bumanik yang aktivitas penambangannya dituding memicu banjir besar di Desa Molino, Morowali, hingga merusak pemukiman warga pada Agustus lalu.

Desakan Moratorium Nasional

Melihat ketimpangan ekonomi dan parahnya kerusakan lingkungan, Ufudin mendesak Pemerintah Pusat untuk mengubah total arah kebijakan pertambangan. “Pemerintah Pusat harus segera melakukan moratorium seluruh izin penambangan mineral logam di seluruh daerah. Jangan hanya memikirkan untuk bagaimana mendapatkan nilai investasi sebanyak-banyaknya,” ujar Ufudin.

Kritik tajam ini juga ditujukan kepada Kementerian ESDM yang baru-baru ini mengesahkan Peraturan Menteri ESDM terkait Perubahan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan baru. Menurut KOMIU, subtansi kebijakan tersebut dinilai tidak memperbaiki tata kelola pertambangan di daerah, melainkan hanya mempermudah laju eksploitasi.

Ekspansi industri, khususnya sektor nikel di Sulawesi Tengah (Sulteng), dinilai mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan pertanyaan mengenai penggunaan kewenangan pemerintah. Direktur Eksekutif WALHI Sulteng, Sunardi Katili, menyoroti deforestasi masif dan dominasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara industri yang kini membanjiri wilayah tersebut.

Sunardi mengungkapkan laju deforestasi di Sulteng berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data, luas hutan yang hilang di provinsi ini mencapai 16.679 hektare pada tahun 2023 saja. “Rata-rata kehilangan hutan alam di Sulawesi Tengah mencapai 15.590 hektare per tahun dalam lima tahun terakhir,” kata Sunardi.

Ia menambahkan, hilangnya tutupan pohon, khususnya di hutan alam, mencapai 88% dari total kehilangan hutan antara tahun 2021 hingga 2024, yang berdampak pada lahan seluas 66.600 hektare. Data ini menunjukkan bahwa praktik industri, yang banyak beroperasi di kawasan hutan, menjadi pemicu utama kerusakan ekologis.

Sunardi menyinggung dasar utama kewenangan pemerintah untuk mengatur jalannya pemerintahan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan kewenangan diskresi kepada pejabat administrasi pemerintahan untuk mengambil tindakan tertentu, termasuk kebijakan penghentian sementara (moratorium).

“Moratorium biasanya diatur secara spesifik melalui peraturan yang lebih rendah seperti instruksi presiden (Inpres), peraturan menteri (Permen), dan peraturan daerah (Perda/Perbup) yang disesuaikan dengan konteks dan objek yang dimoratorium,” jelasnya.

Pernyataan ini mengisyaratkan adanya harapan dan landasan hukum bagi pemerintah untuk menggunakan kewenangan diskresi, misalnya, dalam menghentikan sementara izin-izin yang terbukti merusak lingkungan.

Dominasi Pembangkit Batu Bara untuk Industri Nikel

Ironisnya, di tengah isu deforestasi, Sulteng juga didominasi oleh pembangunan PLTU Industri (captive) yang menjadi penopang utama kawasan industri pengolahan nikel atau smelter. PLTU ini, yang dimiliki dan dioperasikan langsung oleh perusahaan tanpa tersambung ke jaringan listrik PLN, menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama.

Data Global Energy Monitor (2023) menunjukkan, total kapasitas pembangkit PLTU Industri di Pulau Sulawesi mencapai 5.665 Megawatt (MW), yang merupakan 52% dari total kapasitas PLTU Captive di seluruh Indonesia.

Dari angka tersebut, Sulawesi Tengah menjadi pusatnya dengan, 21 unit PLTU captive yang telah beroperasi dengan total kapasitas 3.655 MW. Kemudian 13 unit PLTU Industri yang saat ini sedang dibangun dengan total kapasitas mencapai 4.315 MW.

Konsentrasi PLTU batu bara ini menunjukkan bagaimana ekspansi industri nikel didukung oleh energi fosil yang sangat berpolusi, semakin memperparah kerusakan lingkungan, tidak hanya melalui deforestasi lahan, tetapi juga melalui emisi dan potensi pencemaran udara.

Moratorium Izin antara Wacana dan Fakta

Direktur Yayasan Tanah Merdeka Sulteng, Richard Labiro, dan Jusman dari Perkumpulan Evergreen Indonesia, kompak menyuarakan perlunya moratorium tambang di Sulawesi Tengah untuk menata ulang tata kelola perizinan yang selama ini berjalan.

Richard Labiro menegaskan bahwa pertambangan, dengan segala dampak kerusakannya, memang sudah seharusnya dihentikan. Ia melihat “angin harapan” dari Pemerintah Provinsi Sulteng, yang ditandai dengan penghentian sementara beberapa perusahaan nikel di Morowali Utara, namun ia menyambutnya dengan skeptis. “Tapi itu bukan jaminan bahwa kita percaya sepenuhnya,” katanya.

Senada dengan Richard, Jusman menekankan pentingnya penghentian izin tambang sementara mengingat daya rusaknya yang masif. Ia memperingatkan publik agar tidak mudah terpedaya hanya dengan surat penghentian sementara pada tiga perusahaan, mengingat praktik di lapangan. “Ada perintah penghentian sementara, tapi aktivitas jalan terus untuk apa,” kritiknya.

Dengan melihat fakta kerusakan lingkungan yang masif dan data investasi yang timpang di Sulawesi Tengah, serta adanya kebijakan setengah hati dari pemerintah daerah dan pusat, pertanyaan besarnya adalah, akankah pemerintah pusat benar-benar menggunakan kewenangan diskresinya untuk menanggapi krisis ini? Atau, apakah desakan moratorium tambang yang terus menguat, sebatas wacana atau fakta – tak mudah menjawabnya. ***

 

Tinggalkan Balasan