Dua Kota, Dua Garis Merah

DISKUSI - Nok dan kawannya sedang melihat obrolan di Grup, saat wawancara kedua di depan sekolah - tak jauh dari gedung UN Asia Pacific di Bangkok, Kamis 18 September 2025

KAMIS 18 September 2025, langit sore Kota  Bangkok sangat cerah.  Saya mendatangi Nok 21 tahun dan kawannya, usai hajatan di Gedung UN di Bangkok pada hari ketiga pertemuan tahunan UN-RBHRF. Bermodal Google Translate yang sudah disetel  Indonesia – Thailand, saya menampilkan layar ponsel dengan beberapa pertanyaan singkat.

Saya penasaran. Ingin mengetahui isi kepala para anak mudanya. Dua pertanyaan  saya ajukan. Pertama tentang penghormatan mutlak warga Thailand pada raja. Kedua soal kebebasan   individu  para mahasiswa di negara negeri gajah putih itu. Dua hal yang sebenarnya paradoks.

Saya menyodorkan handphone berisi terjemahan pertanyaan di dekat wajahnya. Dia menatap, sesaat kemudian kembali melihat ponselnya. Nok tetap fokus membaca percakapan online di kampusnya.

Saya menoleh ke kawan di sampingnya. Ia mengelak menyebutkan namanya. Namun bersedia menjawab beberapa pertanyaan ringan. Nok katanya sedang fokus melihat percakapan tentang reformasi monarki yang sedang hype di grup kampus.

Dari kawannya itu saya tahu. Nok bukan nama sebenarnya. Jika berhadapan dengan orang baru keduanya menyamarkan nama dan kampus asalnya. Setidaknya aktivitas politik mereka tidak mudah diendus oleh otoritas di sana.

Nok Ia ingin menulis sesuatu. Berkomentar singkat, bahkan ingin menyebarkan ulang obrolan di grup itu. Tapi jari-jarinya terhenti. Ingatan tentang kawannya yang ditangkap polisi karena bercanda soal raja membuat ia berpikir seribu kali.

Pasal 112, hukum Lese Majeste, bisa mengganjarnya belasan tahun penjara hanya karena satu kalimat. Nok akhirnya menutup ponselnya. Ia menatap perempatan seluas setengah lapangan bola di depan Kantor PBB Bangkok, sambil meracau dengan bahasa Thai yang tidak saya pahami.

Ia menyesap kopi yang tinggal setengah di gelas bertitel UN Nation, sambil menatap jalanan yang pekak dengan deru motor. Sesaat ia menoleh dan menampilkan tulisan panjang di layar ponselnya. Isinya tentang jawaban pertanyaan yang saya ajukan tadi.

Responnya sangat standar. Saya kepayahan mengembangkan pertanyaan untuk mendapatkan sudut pandang yang kuat. Kendala bahasa membuat dialog sore itu seperti panggung pantomim yang kikuk. Gerak tubuh kami bertiga akhirnya menjadi pengganti kata. Saya terus mengulangi pertanyaan.

Beberapa kali dicoba akhirnya berhasil, meski masih jauh dari kata cukup. Pada jawaban kesekian, Nok bilang begini: “Kota Bangkok ini terasa bebas. Orang bisa berpakaian sesuka hati, pesta hingga dini hari bahkan menikah dengan pasangan sesama jenis. Tapi untuk urusan politik, terutama monarki, kebebasan mendadak menghilang. Diam adalah pilihan aman,” tulisnya menjawab pertanyaan saya.

Sementara di hari yang sama, di Kota Palu–Indonesia yang berjarak ribuan kilometer dari Bangkok, diskusi hangat di grup Kamisan berlangsung seru. Obrolan politik begitu tajam diselingi guyonan anggota grup. Diskusi itu tentang agenda Kamisan Palu edisi ke-69.

Andika, 24 tahun, tertawa keras bersama teman-temannya di grup. Meme tentang petinggi dan karikatur wajah baru saja dibuat. Lengkap dengan sindiran pedas pada kekuasaan. “Upload saja ke Instagram,” kata seorang kawan. Semua mendukung.

Andika tahu ada risiko. Di Indonesia, UU ITE sering dipakai untuk menjerat kritik yang dianggap berlebihan, fitnah atau kebencian. Tapi ancamannya tidak sedahsyat di Thailand. Kalaupun dipolisikan, kasusnya masih bisa diperjuangkan. Di warung kopi, di kampus, di kafe, kritik terhadap pemerintah jadi santapan sehari-hari.

Garis Itu Bernama Monarki

Kedua anak muda ini, Nok dan Andika, hidup dalam ruang yang sama-sama disebut demokrasi. Tetapi garis merah yang membatasi mereka sangat berbeda. Di Thailand garis merah itu bernama monarki. Raja adalah simbol mutlak. Raja tak bisa disentuh, tak bisa dikritik. Kritikan dianggap sebagai pelanggaran serius.

Sambil menggengam kabel charger yang menjuntai, Nok kembali memperlihatkan ponselnya. ‘’Sudah ada yang ditahan karena mengkritik raja,’’

Di Indonesia, garis merah itu lebih cair. Presiden, DPR hingga menteri dan gubernur  bisa menjadi sasaran kritik tajam. Siswa yang keracunan usai menyantap hidangan MBG di Palu dan Bangkep  menjadi tema kritik kepada pemerintah. Diskusinya berlangsung hingga malam larut. Di Indonesia yang membuat orang waspada justru hukum karet pasal pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.

Kontras ini menghadirkan paradoks. Thailand tampak lebih liberal dalam urusan gaya hidup. Dunia malam Bangkok  penuh gairah. Ruang ekspresi seni, hingga kebijakan pro-LGBTQ tersaji tanpa tuas rem.

Indonesia, meski lebih konservatif soal gaya hidup, justru lebih longgar dalam kritik politik. Seorang mahasiswa di Palu bisa mengkritik presiden atau gubernur sekeras-kerasnya tanpa takut dipenjara puluhan tahun. Sementara di Bangkok, seorang pelajar bisa berdansa bebas di klub malam, tapi gemetar ketika ingin menulis satu hal yang menyentuh singgasana raja.

Dua wajah demokrasi di Asia Tenggara tampak bertolak belakang. Thailand menjaga simbolnya dengan hukum keras namun membiarkan gaya hidup liberal. Sementara Indonesia cenderung konservatif dalam hal  budaya namun longgar dalam kritik politik.

Nok di Bangkok, Andika di Palu—dua anak muda Gen Z yang tak pernah bertemu, tapi sama-sama hidup dengan garis merah masing-masing. Kisah mereka mengingatkan bahwa demokrasi tidak hitam putih.

Demokrasosi  bukan sekedar ada atau tiada. Melainkan ditentukan oleh sejauh mana garis merah itu ditarik. Dan di sanalah setiap warga, entah di Bangkok atau Palu, menimbang kapan bisa tertawa keras dan kapan harus memilih diam.

Cukup lama kami duduk di sudut pagar Kantor UN Bangkok dan kemudian pindah tak jauh dari sana. Keterbatasan komunikasi membuat diskusi sore itu terasa seperti beban. Nok dan kawannya pamit pergi. Beberapa saat kemudian, sorot lampu berpendar menghunjam  poster keluarga kerajaan yang terpampang mencolok.

Poster itu  terasa intimidatif,  mengesankan  bahwa sakralitas monarki tetap menjadi garis merah yang tak boleh disentuh.

Saya berdiri menanti  Sopyan aktivis dari Institut Mosintuwu -Tentena,  Sulawesi Tengah yang belum menampakkan dirinya.  Di sudut pagar,  satu per satu tetamu mulai keluar dari ruang pertemuan di Kantor PBB, menandai petang langit Bangkok yang segera beralih ke pelukan malam  penuh gairah. ***

Penulis & foto:  Yardin Hasan

Tinggalkan Balasan