Folklore Fusion Fest 2025, Saat Tari dan Teater Menghidupkan Jiwa Souraja

ENERGIK - Grup Polelea dari Kabupaten Sigi menjadi penampil pertama di malam kedua, Folklore Fusion Fest, Sabtu, 18 Oktober 2023

KAWASAN Rumah adat Soujara di Kampung Lere  gegap gempita. Malam merayap perlahan dengan lampu warna-warni menggantikan cuaca terik sedari siang, menghadirkan sensasi berbeda. Stand kuliner tradisional tampak dipenuhi pengunjung. Tulisan minimalis Folklore Fusion Fest, tertata sederhana di atas rumput. Orang-orang tampak berebut berfoto di sana.

Di bawah rumah adat Souraja, stand Historia sedang menyelenggarakan nonton bareng. Sebuah film lawas, Mutiara dalam Lumpur, besutan Asrul Sani. Film ini menurut Herianto dari Historia Sulteng, syutingnya di Souraja, di rumah Raja Djanggola. Film ini dibintangi WD Moehtar dan Sofhia WD. Berkat perannya di film ini, Sofhia WD diganjar Piala Citra pada FFI 1973.

Malam kedua gelaran Folklore Fusion Fest 2025 – Arts & Exhibition ini memilih halaman Souraja sebagai kanvas. Sebuah keputusan yang bijak sekaligus menggugah. Sebab di sinilah, di ruang terbuka tempat para raja dan bangsawan Kaili biasa menjamu tamu atau menggelar upacara adat.

Penanggungjawab event Mohamad Zufikar bilang, menggelar panggung seni di pelataran Souraja sebagai upaya nyata untuk menghadirkan Kebudayaan untuk Hidup Berkelanjutan.  ‘’Pada dinding-dinding kayu rumah Souraja yang memancarkan sejarah, festival ini seolah memohon izin kepada para leluhur, membiarkan semangat storytelling rakyat jelata bersanding dengan seni kontemporer,’’ demikian kira-kira panitia menjadikan halaman Souraja sebagai kanvasnya.

Sejak awal ungkap Zulfikar, semangat festival ini merupakan ruang hidup untuk tumbuh bersama, bukan sebatas gelaran basa basi. Begitu pria yang akrab disapa Zul, menjelaskan landasan filosofis kegiatan ini.

DISKUSIHerianto dari Komunitas Historia Palu menjadi pembicara utama tentang seluk beluk Rumah Adat Souraja, Sabtu, 18 Oktober 2023

“Penyelenggaraan Folklore Fusion Fest, didasarkan pada prinsip penghargaan terhadap keberagaman sosial dan budaya yang inklusif,” ujar Zul dengan intonasi yang tegas namun penuh harap. “Kami percaya, budaya adalah fondasi. Tanpa fondasi yang kuat, modernitas hanyalah ilusi. Souraja ini membuktikan bahwa kita bisa modern tanpa melupakan akar.”

Apa yang disebut Zul sebagai ruang perjumpaan benar-benar terwujud malam itu. Kehadiran ratusan mata yang menyaksikan bukan sekadar apresiasi. Tetapi sebuah ritual bersama yang diharapkan mampu menumbuhkan alih pengetahuan lintas generasi.

Membaca Jiwa Raja di Beranda Souraja

Sebelum panggung utama berdebam dan tirai pertunjukan dibuka, di beranda Souraja yang dialas papan dari kayu besi alias ulin (eusideroxylon zwageri) Herianto membuka diskusi.  Sekelompok anak muda, mayoritas adalah generasi Z, duduk melingkar di lantai kayu. Tak ada yang main gawai mereka mendengarkan dengan seksama.

Dengan gaya bertutur yang ringan, sejarah masa lampau serasa seperti mengunyah popcorn diselingi minuman toping boba. Herianto menerangkan detail filosofis rumah bangsawan Suku Kaili ini dengan runut  mudah dicerna. Mulai dari tangga di sebelah kanan, warna cat, hingga ukiran bermotif flora yang menyimbolkan kesuburan dan kemuliaan.

“Bagi orang Kaili,  rumah ini bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah semesta Kaili,” jelas Herianto, seraya menunjuk tiga ke pintu utama. “Lihat ini ruangan depan, Ini adalah ruang tamu. Di sinilah raja menjamu para pembesar dan tokoh adat. Cara mereka duduk, cara mereka berbicara semuanya punya makna, menunjukkan betapa beradabnya orang tua terdahulu menyambut tamu. ‘’Jika pembicaraannya agak spesifik, maka dibicarakan di dalam ruangan,’’ katanya.

Kelompok peserta ini kemudian diajak masuk lebih dalam ke jantung Souraja. Saat masuk pemandangan tersaji oleh ruang tengah yang tampak lapang. Terdapat tiga setel kursi tamu. Sebelah kanan  kamar tidur Raja, lalu ada ruang kecil diselimuti kain kuning keemasan. ‘’Itu apa,’’ tanya salah satu peserta penasaran. ‘’Itu ruang sakral tempat prosesi tertentu,’’ balasnya.


FOTOHerianto menjelaskan identitas di foto yang tergantung di beranda Rumah Adat Souraja, Sabtu, 18 Oktober 2023

Karpet tebal dan halus meredam langkah di atas lantai kayu ulin.  Di sekelilingnya, galeri foto para Raja Palu yang pudar dimakan usia terpajang rapi di dinding. Seolah mengajak setiap mata untuk hanyut dalam kilas balik kejayaan tempo dulu.

Lalu ruang belakang yang terkunci rapat. Tempat makan dan ruang para putri. Interaksi langsung dengan ruang historis ini di tengah gemuruh festival, menjadi jembatan konkret antara teori sejarah dan kenyataan.

Gelegar di Panggung Utama

Setelah energi sejarah diserap, panggung utama di halaman kembali memanggil. Malam kedua tersebut menyuguhkan kolase pertunjukan yang memukau. Pembukaannya terasa penuh energi. Penampilan dari Polelea Tari Art Performing & Contemporery Dance, asal Kabupaten Sigi. Sederet prestasi di kancah panggung lokal dan nasional  yang pernah ditorehnya, membuatnya mendapat aplaus panjang dari pengunjung.

Setelah energi gerak yang memukau, suasana dibawa ke kedalaman emosional oleh Dili Suwarno Seni Pertunjukan Teater. Di panggung Souraja, kisah-kisah rakyat diangkat kembali. Sorotan lampu pada wajah seorang aktor yang sedang menyampaikan monolog tentang sejarah, menciptakan gema yang kuat bagi pendengarnya.

Di tengah pertunjukannya yang memukau, Dili Suwarno sempat berbagi kisahnya sendiri di hadapan penonton. “Sejak SD, kami dididik dengan membaca buku-buku sejarah Kaili. Itu tertanam kuat. Lalu saya belajar teater, dan panggung ini menjadi tempat satu-satunya di mana saya bisa mengekspresikan segala kegelisahan, kerinduan dan harapan terhadap tanah leluhur ini,” ujarnya, disambut tepuk tangan membahana.

Lalu, giliran Teater Kampoeng Cermin Traditional Performing mengambil alih panggung, membawa kembali keaslian pertunjukan tradisional. Puncak malam ditutup oleh dentuman dan melodi dari To’Banawa Art Performing & Contemporery Music. To’Banawa menyajikan narasi akustik, mengambil elemen-elemen musik tradisional Sulawesi Tengah dan menggubahnya dengan sentuhan kontemporer.

Antusiasme tidak hanya datang dari para penampil. Dari barisan penonton, terlihat wajah-wajah yang memancarkan rasa syukur. Salah satunya adalah Ibu Sidar, seorang warga asli Palu Barat yang rumahnya tak jauh dari lokasi acara.

“Saya sangat antusias sekali, rasanya bersyukur sekali. Sudah lama sekali kami di Palu tidak punya acara budaya sebesar ini, apalagi digelar di Souraja. Anak-anak muda perlu melihat ini, budaya kita keren dari budaya,” ungkap Ibu Sidar dengan mata berbinar.

Zul kembali menekankan bahwa acara tiga hari yang berlangsung sejak Jumat hingga Minggu, 17-19 Oktober 2025 ini, adalah hasil kolaborasi dan kemitraan dari pelbagai pemangku kepentingan, termasuk dukungan Program Dana Indonesiana oleh Kementerian Kebudayaan RI.

Rangkaian kegiatan festival yang berlokasi di Cagar Budaya Banua Oge, Jalan Pangeran Hidayat, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat ini, didesain untuk menjadi lebih dari sekadar tontonan. Ada pameran seni yang berkolaborasi dengan komunitas lokal dan hadirnya Kuliner Tradisional dan UMKM.

Di stand kuliner, aroma rempah dan gula merah bersaing dengan gemuruh musik kontemporer. Salah satu yang paling dicari adalah Uve Mpoi, makanan tradisional khas Palu. Magdalena, pengunjung muda yang tengah asyik menikmati hidangan tersebut, menyatakan antusiasmenya. “Senang sekali ada kuliner tradisional! Uve Mpoi di sini enak,’’ serunya.  Di sini katanya, bukan cuma mata dan telinga yang dihibur, tapi lidah juga. ‘’Ini perpaduan yang sempurna,’’ katanya sembari menjulurkan lidah kepedisan.

RAMAIPengunjung ikut larut dalam pesta Folklore Fusion Fest, Sabtu, 18 Oktober 2023

Terlihat jelas lampu-lampu padam, saat penonton yang melangkah keluar, mereka membawa serta energi baru. Walau diwarnai insiden kecil, hilangnya gawai milik panitia, tapi tak mengurangi antusias pengunjung. ‘’Besok malam penutupan datang lagi, saya bawa anak saya,’’ seru seorang ibu muda.

Para pengunjung merasa puas telah menyaksikan bagaimana cerita rakyat dipadukan dengan irama modern. Sejarah agung rumah raja bisa menjadi latar belakang pertunjukan dan bagaimana fakta-fakta kehidupan disajikan melalui narasi yang menyentuh.

Seperti yang dikemukakan oleh Zul. Harapannya jelas, penyelenggaraan ini dapat terus berlangsung secara berkelanjutan. ini adalah bagian penting dari pendidikan kebudayaan. Sebuah ruang yang memberi peluang bagi semua untuk menumbuhkan kepedulian akan pentingnya preservasi dan inovasi demi keberlanjutan peradaban manusia.

Pukul 22. 45, saya meninggalkan pelataran Souraja. Gema musik To’Banawa seolah masih terdengar samar. Menyisakan kesimpulan puitis, tentang kebudayaan di Palu yang terus hidup. Jika ada yang menyebut stagnan karena institusi yang menaunginya konon belum akur, itu  tidak memberi pengaruh besar.   Dan malam ini di bawah tatapan mata leluhur di beranda Souraja, ia terbangun, bernapas dan bercerita. ***

Penulis & foto: Yardin Hasan

Tinggalkan Balasan