“Cukup perusahaan mendapat untung banyak selama belasan tahun beroperasi. Kini saatnya masyarakat merasakan kesejahteraan dari aktivitas perusahaan. Prinsip penyelesaian konflik agraria yang kami anut adalah 60 untuk masyarakat dan 40 untuk perusahaan,” tegas Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, saat menerima perwakilan warga dari lima desa di Kecamatan Bungku Pesisir dan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Senin 6 Oktober 2025.
Kedatangan sekitar 30 warga dari Desa Tandauleo, Bete-bete, Padabaho, Tangofa dan Lafeu itu didampingi tujuh anggota DPRD Morowali, camat serta sejumlah kepala desa. Mereka menyampaikan langsung permasalahan penguasaan lahan oleh PT Hengjaya Mineralindo.
Haris Mohamad Amin, warga Desa Lafeu, menuturkan bahwa tanaman sagu telah diwariskan turun-temurun dari orang tua mereka. Di dekat lahan sagu itu, mereka telah bercocok tanam sejak lama. Dalam perkembangannya, pada 2015 sebagian petani mulai membuka kebun jambu mete, cengkeh, merica, durian, kopi, pala, dan nangka.
Menurut Haris, pada 2018 PT Hengjaya Mineralindo mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Desa Lafeu. Sayangnya, perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi kepada warga tentang aktivitas yang akan mereka lakukan di atas lahan mereka. Hingga pada tahun 2020, perusahaan masuk dan merusak tanaman warga di atas lahan seluas 159 hektar yang diklaim masuk ke kawasan IUP perusahaan. “Perusakan itu dianggap sah karena lahan tersebut masuk dalam IUP perusahaan,” kata Haris kepada tim Satgas.
Dalam rentetan peristiwa itu, warga katanya menuntut ganti rugi namun hingga kini tidak pernah diindahkan. “Sampai hari ini tidak ada penyelesaian. Sementara tanaman kami sudah rata dengan tanah,” keluh Haris.
Kepala Desa Bete-bete, Ridwan, menambahkan pernah mengusulkan agar lahan warga yang masuk dalam IPPKH – PT Hengjaya dijadikan objek reforma agraria melalui TPA Asa Moroso. “Tapi kami hanya disarankan untuk mengajukan ke provinsi,” ujarnya.
Ridwan mengaku pihaknya bahkan pernah melaporkan masalah ini ke Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pada masa Gubernur Rusdi Mastura. “Saat itu, kami diterima oleh Bagian Pemerintahan. Jawabannya, tunggu keputusan gubernur. Sampai hari ini tidak ada hasilnya,” jelasnya. Akibat konfrontasi dengan perusahaan, pada 2021, warga Bete Bete pernah di penjara di Polda Sulteng selama dua bulan – tanpa proses hukum.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 3 jam lebih itu warga menegaskan tuntutan mereka, antara lain, pengembalian tanah yang dikuasai perusahaan, pembayaran ganti rugi tanaman yang rusak serta memprioritas tenaga kerja dan pengusaha lokal di sekitar tambang.
Tuntutan lainnya adalah penghentian dugaan penambangan ilegal greser di Desa Padabaho dan Bete-bete. Kemudian desakan penambahan alokasi CSR seiring bertambahnya volume produksi PT Hengjaya serta meminta agar sebagian kebun warga yang masuk dalam IUP dan sudah 27 tahun ditempati untuk masuk dalam skema Perhutanan Sosial.
Sikap Satgas PKA
Ketua Satgas Penanganan Konflik Agraria, Eva Susanti Bande, memastikan rombongan segera turun ke lapangan di dua kecamatan tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ia menegaskan, pihaknya akan menindaklanjuti instruksi gubernur untuk menyelesaikan kasus ini secepatnya. Tim katanya akan memeriksa klaim warga di atas lahan itu.
‘’Bapak-bapak sekalian kami akan turun ke lapangan untuk melihat dari dekat. Pak Gubernur memberikan perhatian besar atas kasus ini,’’ tutup Eva. ***
Penulis: Yardin Hasan
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak