PUBLIK dikejutkan dengan penahanan Christian Toibo (37), seorang pejuang rakyat dari Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, pada Selasa 9 Desember 2025. Penahanan ini dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Poso setelah pelimpahan berkas dari Polres Poso. Christian dijerat dengan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghasutan, sebuah tuduhan yang berakar dari aksi damai warga pada 31 Juli 2024.
Aksi damai tersebut merupakan bentuk penolakan kolektif warga Watutau terhadap klaim sepihak Badan Bank Tanah (BBT) atas lahan yang telah menjadi sumber penghidupan mereka selama puluhan tahun.
Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan, warga justru menghadapi gelombang kriminalisasi. Sebanyak 12 orang dilaporkan, dan Christian Toibo ditetapkan sebagai tersangka melalui Surat Ketetapan Nomor S.TAP/20/VII/RES.1.10/2025/Reskrim tertanggal 14 Juli 2025.
Penahanan Christian Toibo segera menuai kecaman keras dari Koalisi Kawal Pekurehua, yang terdiri dari WALHI Sulawesi Tengah, Solidaritas Perempuan Palu, Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso, Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sulawesi Tengah, AMAN Sulawesi Tengah, Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Sulawesi Tengah, dan KPA Sulawesi Tengah.
Koalisi menilai penggunaan Pasal 160 KUHP terhadap Christian adalah bentuk nyata kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat dalam mempertahankan ruang hidup mereka.
“Proses hukum ini sarat tekanan dan janggal. Hingga kini, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan Christian melakukan penghasutan. Ini adalah upaya membungkam suara rakyat yang mempertahankan haknya,” tegas Parawangsa dari PBHR Sulawesi Tengah.
Mereka mendesak agar Christian dapat kembali beraktivitas secara normal, mengingat bukti yang ada belum cukup kuat untuk menyatakan ia bersalah.
Saat ini, Koalisi Kawal Pekurehua dan Tim Pengacara tengah berkoordinasi intensif dengan Kejaksaan Negeri Poso untuk menindaklanjuti permohonan resmi pengalihan status tahanan. Tim hukum berkomitmen untuk mengawal proses peradilan sekaligus melawan klaim Bank Tanah yang dianggap merampas lahan rakyat.
Bank Tanah Dinilai Rampas Lahan Rakyat dan Hapus Sejarah
Konflik agraria di Watutau mencuat setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021, yang memberikan kewenangan luas kepada Bank Tanah untuk mengelola tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Hasfarm.
Koalisi menuding klaim Hak Pengelolaan (HPL) oleh Bank Tanah telah meluas hingga mencaplok lahan yang telah lama dikelola oleh masyarakat Pekurehua. Hak Pengelolaan (HPL) yang diberikan oleh ATR/BPN RI dinilai dilakukan tanpa konsultasi publik dan tanpa peninjauan lapangan.
Koalisi Kawal Pekurehua secara tegas menolak narasi Bank Tanah yang mengklaim tidak ada tanah masyarakat adat di area HPL. Menurut Koalisi, narasi ini berupaya menghapus sejarah panjang penguasaan ruang oleh komunitas Pekurehua di Watutau.
Bukti-bukti seperti pola permukiman, kebun warga, dan situs-situs megalit menunjukkan bahwa masyarakat telah mengelola lahan tersebut jauh sebelum negara hadir. Penahanan Christian Toibo menimbulkan dampak signifikan dan berlapis, terutama bagi istri dan anggota keluarga perempuan lainnya.
Mereka kini harus menanggung beban ganda—ekonomi dan domestik—serta menghadapi kerentanan sosial, ekonomi, dan psikologis. “Perempuan, khususnya istri Christian, harus menanggung beban ganda.
Mereka terpaksa mengurus seluruh proses pertanian sendiri, padahal ini adalah waktu menjelang perayaan Natal, situasi yang seharusnya diisi dengan ibadah, bukan kepanikan ekonomi dan domestik,” kata Nanda dari Solidaritas Perempuan Palu.
Situasi ini diperparah karena penahanan bertepatan dengan rangkaian ibadah Natal. “Ini menjadi pukulan berat bagi keluarganya,” tambah Nanda. Koalisi secara resmi meminta Kepala Kejaksaan Negeri Poso untuk menghentikan penuntutan terhadap Christian Toibo.
Kasus Watutau dipandang bukan sekadar konflik lokal, melainkan cerminan konflik agraria yang lebih besar di Indonesia. Ketika rakyat berjuang mempertahankan ruang hidupnya, mereka justru dikriminalisasi.
Negara, yang seharusnya melindungi warga, dinilai memfasilitasi perampasan ruang hidup. Penahanan Christian Toibo kini menjadi simbol betapa perjuangan rakyat untuk mempertahankan tanah seringkali berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar. ***
Penyunting: Yardin H
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak




