Menghadirkan Identitas dalam Pesta tanpa Nasi

TANPA NASI - nasi jagung, ubi, perkedel, dan menu lainnya tanpa nasi dalam pesta Sambut Baru di Mollo

 SENANG rasanya melihat banyak orang, banyak pihak mulai melirik pangan lokal. Meski sebagian program-program yang muncul, baik program dari pemerintah, maupun NGO, hanya dipermukaan saja, tetap saja saya senang. Itu artinya, pangan lokal mulai jadi perhatian, dan punya tempat di kepala orang-orang.

Itu artinya, ada dampak yang mulai terlihat dari kampanye-kampanye kecil yang terus dilakukan para aktivis pangan. Hari-hari bicara jagung bose, katemak, ubi, pisang, hari-hari bikin unggahan di media sosial, hari-hari makan makanan lokal, adalah hal kecil yang konsisten dilakukan tetapi dampaknya gak main-main.

Saya jadi ingat satu kalimat ketika pembekalan menjadi Relawan Pengajar Muda 8 tahun lalu yang selalu relevan hingga kini, gak perlu melakukan hal besar, hal-hal kecil saja, tidak apa, tetapi berdampak besar. Kurang lebih begitu kalimatnya.

Dan hal-hal kecil kerap dilakukan komunitas akar rumput yang berbeda dengan pihak lain yang bikin kegiatan besar, bertabur bintang atau artis, tak lupa sound horeg, tapi tidak ada dampaknya, apalagi berkelanjutan.

 Satu komunitas yang banyak melakukan hal-hal kecil tapi dampaknya besar dan luas adalah Komunitas Lakoat.Kujawas, yang berada di pegunungan Mollo, Timor Tengah Selatan. Beberapa kali saya mengikuti kegiatan di Lakoat, dan selalu memantau aktivitas di media sosial mereka.

Dan tak pernah ada inisiatif mereka yang kaleng-kaleng. Termasuk satu inisiasi yang tiba kepada saya di awal bulan Juli. Mama Fun ingin menggelar pesta kecil bertema pangan lokal, untuk mensyukuri Komuni Pertama Jean Galgani Oematan (12), anak bungsu Mama Fun.

Saya bertemu Mama Fun perdana pada kali kedua saya berkunjung ke Lakoat. Pertama saya ikut kelas fermentasi, dan kedua ikut Mnahat Fe’u sehari sebelum Ramadhan 2024. Berikutnya saya selalu ke rumah mama Fun setiap datang ke Mollo. Dan setiap datang, menu makanan lokal tidak pernah absen terhidang di atas meja. Sederhana, dan hangat, seperti penerimaan mama Fun dan  bapa Fun, pasutri yang sama-sama bergiat di Lakoat.Kujawas.

Tidak hanya keduanya, anak-anak mereka juga aktif di Lakoat dan masif bicara tentang pangan lokal, terlebih Jean, yang suka membagikan kesehariannya dengan makanan lokal di media sosial. Itu mengapa ketika ibunya pertama kali menawarkan ide pesta syukuran sambut barunya, dengan menghidangkan pangan lokal, tanpa berpikir lama, ia langsung setuju. Pesta tanpa nasi, benarkah bisa? Saya sendiri mulai konsisten mengurangi nasi dalam menu makan saya sehari-hari.

Belakangan, pangan lokal menjadi perhatian, dan selalu dihadirkan dalam kegiatan-kegiatan sebagai pilihan konsumsi. Tapi sebuah pesta, di Timor, di NTT, tanpa nasi, mungkinkah? Saya sesungguhnya tidak ragu. Bisa saja. Ada mama Fun, yang didukung penuh Lakoat.Kujawas. Tapi yang dikhawatirkan adalah apakah dapat diterima oleh tamu undangan?

Sebelum sampai pada tamu, mama Fun dan Bapa Fun masih harus menghadapi keluarga besar. Perlu menjelaskan mengapa tanpa nasi. Perbincangan dalam pertemuan keluarga cukup alot, tapi kemudian keluarga menerima, bahkan turut gelisah bersama; apakah tamu undangan bisa terima?

Setelah mendapat undangan dari mama Fun dan mendengar konsep pestanya, saya tidak bisa menolak. Saya tiba di rumah depan Paroki Kapan itu saat sedang persiapan siang hari. Saya menyaksikan kesibukan yang sama seperti Mnahat Feu. Semua pegiat Lakoat ikut bekerja di dapur, turut sibuk-sibuk menyiapkan ini-itu. Biasanya saya ikut kegiatan Mnahat Feu, Pesta Makan Siang di Lakoat, kali ini saya ikut Pesta Sambut Baru dengan konsep yang sama.

Malam hari, tanggal 9 Juli 2025, saya duduk di kursi baris kedua. Setelah misa, doa, dan serangkaian rundown acara dilewati, tiba pada waktu yang ditunggu-tunggu. Waktunya makan. Tamu undangan antusias, saya, jangan ditanya lagi. Meski sudah icip-icip saat proses memasak, semangat saya tidak pernah surut.

Beberapa orang lagi terpukau dengan penataan makanan yang sangat ciamik. Mereka penasaran terhadap makanan dan apakah mereka bisa kenyang tanpa makan nasi.  Di jidat mereka seperti tertulis kenyang sonde e makan sonde pake nasi? sembari mereka mengantri dan memegang piring. Saya juga ikut mengantri. Tak ada nasi, sekali lagi, tak ada nasi putih kawan-kawan. Nasi putih diganti dengan nasi jagung, jagung bose, nasi umbi.

Lauknya ada sayur rebung, daun ubi, babi bakar, babi cing, babi tepung, acar labu siam, rumpu rampe, perkedel singkong, perkedel talas, dan tak lupa kerupuk labu juga kerupuk arbila. Oh, ada juga sambal lu’at andalan. Semua ditata mewah, berwarna-warni di atas meja, bak pangan lokal di Mollo, beragam.

Saya dan satu kawan saya yang beragama Islam, kami disediakan ayam panggang. Dan  paling favorit bagi saya malam itu adalah sayur rebung. Rebung asin yang difermentasi selama 8 bulan, ditumis dengan tauco, bikin rebungnya makin gurih. Olahan rebung ini katanya adalah masakan khas Cina Mollo Pegunungan. Rebung tumis ini bersatu dengan ubi, duuh, betapa sedapnya.

Sayur yang menempati urutan nomor dua adalah rumpu rampe. Saya beberapa kali makan sayur rumpu rampe, tapi kali ini lebih lezat. Bunga pepaya ditumis dengan kacang tunis, dihidangkan dengan diberi irisan tomat di tengah-tengah. Melalui unggahan Dicky Senda, Founder Lakoat. Kujawas, sayur kacang tunis punya frasa “mainik tuin sufa” dingin bunga turis. Bunga kacang tunis (turis) yang berwarna kuning adalah penanda bagi orang Timor bahwa akan segera tiba musim dingin.

Saya memindahkan sedikit-sedikit menu ke dalam piring, biar semuanya bisa masuk. Saya ingin mencecap semuanya. Sambil mengunyah perlahan-lahan menikmati setiap gigitan makanan di pesta itu, saya melihat sekeliling, semua lahap, semua senang.

Semua menerima bahwa makan, tak harus dengan nasi. Kecemasan mama Fun dan bapa Fun lenyap. Mama Fun bilang,  “beta dan bapa Fun sempat bimbang, akankah para tamu bisa menerima? Karena di banyak pesta orang Timor, nasi dan daging masih menjadi tolok ukur kesiapan dari tuan rumah. Tapi beta selalu percaya bahwa selalu ada ruang untuk perubahan.”

Setuju sekali dengan kalimat mama Fun, selalu ada ruang untuk perubahan, dan ruang itu butuh perjuangan yang telah dimulai dengan keberanian oleh keluarga cemara di Taiftob; mama Fun , bapa Fun , Jean, serta dua anak mama Fun lainnya Alexander Oematan dan Rollan Giovani Oematan.

Melihat akar keberanian mama Fun

Kiri ke kanan – mama Fun, Randy, bapa Fun (aktivis pangan di Mollo)

Mama Fun adalah pemilik nama lengkap Maria Leni Marlina Na’u (43). Suaminya, Willybrodus Oematan (48) yang akrab dipanggil bapa Fun. Keberanian keduanya  bermula 9 tahun lalu sejak mereka bergabung di Lakoat.Kujawas. Mama Fun mulai kembali ke akarnya, ke jejak masa kecilnya, yang tumbuh tanpa mengenal nasi dari toko, tak tahu soal minyak kemasan, apalagi mie instan, atau snack-snack yang sudah seperti lagu balonku ada lima, rupa-rupa warnanya.

“Masa kecil, beta hanya mengenal ubi kapok bakar, lauk tobe, madu hutan, kotpese, dendeng kering, dan banyak lagi kekayaan rasa yang dipetik langsung dari kebun dan hutan di sekitar rumah kami,” tutur mama Fun.

Bersama dengan kawan-kawan di Lakoat Kujawas, mama Fun mulai belajar melihat kembali isi kebun dan hutan sebagai sumber pangan yang sejati, yang mana sekarang tenggelam karena konsumsi beras, mie instan, dan makanan kemasan lainnya.

Ia terus belajar dan melatih diri untuk kembali pada jagung dan ubi, lalu memasak makanan itu dengan cinta, menyajikannya dengan bangga di meja makan dan menyuguhkannya untuk keluarga dan untuk para tamu yang singgah.

Terus berproses untuk melawan rasa minder yang tumbuh dengan stigma bahwa orang yang makan jagung dan ubi adalah orang miskin. Dan proses itu butuh waktu dan keberanian. Bersama Lakoat ini mama Fun belajar ulang menyulam rasa percaya dirinya, membangun kembali keyakinan bahwa makanan lokal bukan sekadar pilihan, tapi sebuah identitas dan kekuatan.

 Perlahan ia menekuni program lokal di komunitas, berinovasi dengan bahan-bahan dari kebun dan hutan, meracik kembali warisan nenek moyang ke dalam bentuk yang baru, namun tetap setia pada akar. “Dan tadi malam sebuah mimpi kecil akhirnya menjadi nyata. Untuk pertama kalinya, meja hidangan pesta orang Timor tanpa nasi, hadir dalam pesta syukuran sambut baru Jean.

Beta sampaikan gagasan ini ke Kak Dicky, dan beliau menerima dengan senang hati. Beta juga mengajak beberapa teman untuk menguatkan langkah beta karena perubahan tidak pernah mudah, tapi akan selalu mungkin bila dijalani bersama,” ujar mama Fun.

Betapa saya setuju sekali dengan kalimat mama Fun itu, bahwa semua akan mungkin bila dijalani bersama. Sebelum melihat pesta tanpa nasi, mari menengok sebentar ke dalam rumah mama Fun. Tidak hanya mama Fun yang mencintai ubi, jagung, memasak dan menghidangkan, tapi ada suami, dan anak-anaknya, yang juga sudah kembali pada kebun nenek dan bai (kakek) mereka.

Semua di dalam dapur mama Fun, sudah punya pemikiran yang setara soal pangan, dan kerja sama kecil yang menghantarkan pada pesta yang bukan hanya menghadirkan makanan saja tapi juga keberanian. “Malam itu bukan hanya sebuah perayaan kecil untuk Jean, tapi beta mau bilang ke semua orang bahwa dalam pesta besar pun, kita bisa merayakannya dengan ubi, jagung, pisang, dan lain-lain.”

Pangan lokal Mollo malam itu diapresiasi, dibanggakan dan dirayakan bersama. Pada malam yang dingin di Mollo, pangan lokal mendapat tempat istimewa bagi banyak orang, bukan hanya para aktivis pangan, bukan hanya para penggiat di Lakoat Kujawas, pun bukan hanya keluarga Mama Fun.

Terima kasih mama Fun sekeluarga, juga terima kasih Lakoat.Kujawas sudah menunjukan bahwa pangan lokal bukan pilihan, tapi identitas. Selamat Hari Pangan Internasional. ***

Penulis: Ikerniaty Sandili
Foto: Foto: Dokumentasi Lakoat.Kujawas
Penyunting: Yardin H

Tinggalkan Balasan