Paralegal, Suara Warga Melawan Tambang

SERU & SANTAI – suasana cerdas cermat tentang tambang yang berlangsung di Pantai Marana, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulteng, pada Rabu 25 Juni 2025

KETIKA perusahaan tambang pergi, mereka tak hanya meninggalkan lubang dan debu, tapi juga konflik yang membekas di banyak desa. Itu adalah fakta empirik tentang tambang yang banyak tersaji dibanyak tempat.

Namun tidak semua warga memilih diam. Di tengah ketimpangan yang terus menganga, segelintir orang memilih belajar hokum.  Menggali pasal demi pasal, untuk membela tanah dan hidup yang terancam. Mereka adalah paralegal yang eksistensinya diakui di mata hukum. Mereka ada yang bukan sarjana hukum. Tapi mereka berdiri menjadi pembela desa.

Rabu, 25 Juni 2025, Desa Marana menjadi tempat berkumpulnya para paralegal dari berbagai penjuru Donggala. Bukan untuk berdemo, melainkan mengikuti lomba cerdas cermat yang digelar Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU).

Tapi ini bukan lomba biasa. Ini adalah ruang belajar dan uji nyali di juri tentang soal-soal hukum tambang, UU Minerba dan hak-hak warga atas ruang hidup yang kini kian menyempit.

SAMBUTAN – Direktur KOMIU Gifvents SH memberikan sambutan pada cerdas cermat paralegal tambang di Desa Marana, Rabu 25 Juni 2025

Direktur KOMIU, Gifvents SH, menyadari bahwa perlawanan terhadap industri yang rakus lahan seperti tambang tak bisa hanya bersandar pada aksi spontan atau demonstrasi. “Warga butuh pendidikan kritis,” tegasnya.

Maka sejak Juli 2024, mereka merancang program pelatihan hukum pertambangan bagi warga desa. Hingga kini, sudah 40 orang menjadi paralegal, tersebar di delapan desa di Kabupaten Donggala.

Pelatihannya tak main-main. Mulai dari pemetaan kampung, analisis aktor, telaah izin tambang, hingga hukum pidana dan perdata. Termasuk memperoleh informasi melalui sengketa informasi di Kantor Komisi  Informasi pun diajarkan.  Para pengajarnya datang dari berbagai latar belakang. Pengacara, aktivis, dosen, jurnalis, hingga pejabat BPN.

Hasilnya mulai tampak. Para paralegal ini telah melakukan advokasi atas berbagai kasus. Seperti illegal logging, menghadapi perusahaan tambang emas seperti PT Vio Resources dan PT Cipta Palu Mineral (CPM), serta bahkan bernegosiasi dengan PLTU batubara terkait tanggung jawab sosial perusahaan.

“Di Desa Saloya, warga yang didampingi paralegal berhasil menolak tambang emas yang memaksa masuk,” ujar Gifvents. Ia menambahkan, berbekal pengetahuan hukum, para paralegal melakukan diskusi intens dengan warga dan aparat desa, membongkar mitos kesejahteraan yang sering dijanjikan industri tambang.

Salah satu yang merasakan dampaknya adalah Liswanto, Kepala Desa Toposo, Kecamatan Sindue. Sebelum mengikuti pelatihan, ia mengaku tak punya narasi tandingan untuk menghadapi gempuran perusahaan tambang. Kini, ia bisa membaca dokumen perizinan, tahu celah hukum, dan paham prosedur mendapatkan informasi publik lewat Komisi Informasi.

“Kami tunjukkan ke mereka di mana mereka kesalahan merea. Sekarang mereka tidak berani mendekat lagi,” katanya bangga. “Setidaknya untuk sementara.”

Liswanto juga aktif berdialog dengan warganya yang terbelah, antara yang pro dan kontra tambang. Ia membangun kesadaran lewat data, diskusi dan ketelatenan. Perlahan tapi pasti, warga mulai sadar bahwa kesejahteraan semu dari tambang tak sebanding dengan kerusakan ekologi yang ditinggalkannya.

“Di desa kami, PT Vio Resources punya konsesi. Tapi kami sudah tegas tidak ada tambang di sini. Titik,” tegas Liswanto.

Namun perjuangan ini tak selalu datang dari mereka yang berpendidikan tinggi. Jamian, seorang ibu rumah tangga dari Desa Marana, dengan jujur berkata, “Saya bukan orang hukum. Tapi saya mau belajar.” Ia menyaksikan sendiri dampak tambang di sekitar keluarganya. Baginya, menjadi paralegal bukan soal status, melainkan soal melindungi desa dari propaganda kesejahteraan yang menyesatkan.

ANTUSIAS – Ibu Jaiman paralegal dari Desa Marana mengaku bergabung dalam barisan advokasi tambang karena panggilan jiwanya

Sementara itu, Tikuala, Camat Sindue, memberikan jawaban diplomatis ketika ditanya apakah kehadiran paralegal adalah akibat dari abainya pemerintah. “Semua suara harus didengar, baik yang mendukung maupun yang menolak tambang,” ujarnya. Meski demikian, ia mengakui bahwa keberadaan paralegal memberikan pengaruh besar terhadap pemahaman warga tentang fakta-fakta industri tambang.

“Ekologi dan ekonomi harus berjalan seimbang,” tambahnya singkat.

Bukan Lomba Biasa

Lomba cerdas cermat ini, menurut Gifvents, adalah cara menyegarkan kembali ingatan para paralegal tentang materi-materi yang telah mereka pelajari. Mulai dari cara membaca Amdal, tata kelola tambang, hingga UU Keterbukaan Informasi Publik.

Kepala Desa Marana, Lutfi, menyambut kegiatan ini dengan hangat. “Desa kami tak butuh gemerlap kota. Kami butuh vegetasi, tanah subur, dan hidup yang akrab dengan alam. Kami tidak miskin hanya karena menolak tambang,” katanya lantang.

Karena itu, kehadiran paralegal tambang menjadi penting untuk membantu menyadarkan warga sekaligus melawan korporasi tambang yang selalu memanfaatkan momentum sekecil apa pun untuk masuk.

MENJAWAB SOAL – Salah satu peserta menjawab soal rebutan yang diajukan para juri pada cerdas cermat paralegal tambang di Desa Marana, Rabu 25 Juni 202

Format lomba dibuat santai dan rekreatif. Tak ada bel waktu, tak ada balot soal. Para juri yang berasal dari Ombudsman RI Sulawesi Tengah, Inspektur Tambang dan Kanwil Hukum Sulteng, menguji pengetahuan mereka. Pertanyaan-pertanyaan mereka menggugah kembali tugas paralegal. Bagaimana merespons kasus, bagaimana membaca regulasi dan bagaimana mendampingi warga.

“Pertanyaan juri sebenarnya sudah diajarkan semua. Tapi saya lupa,” ujar salah satu peserta dengan gaya jenaka, disambut tawa riuh dari peserta lain.

Lomba berlangsung satu hari, terdiri dari dua babak—pertanyaan individu dan rebutan. Para pemenang membawa pulang sertifikat, hadiah hiburan dan semangat baru. Bahkan warga binaan KOMIU dari Banggai Kepulauan ikut hadir menyaksikan momen penuh semangat di Pantai Marana itu.

Menurut Camat Sindue, hajatan ini lebih dari sekadar lomba. Kegiatan ini adalah perayaan nalar kritis dari desa. Ini katanya adalah pesan jelas, bahwa hukum bisa hidup subur di luar kampus, di tengah ladang dan kebun, di tangan mereka yang memilih melawan ketidakadilan dengan pengetahuan.***

penulis & foto: yardin Hasan

 

Tinggalkan Balasan