PERKUMPULAN Evergreen Indonesia (PEI) Sulawesi Tengah telah mendirikan Sekolah Hijau di Desa Loru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Sekolah nonformal ini resmi dimulai pada 5-14 Mei 2025 dan akan dilanjutkan pada Juni hingga Juli 2025. Peluncuran Sekolah Hijau angkatan pertama dilakukan di Sekretariat Walhi Sulawesi Tengah, Kota Palu.
Konsep dan Tujuan Sekolah Hijau
Sekolah Hijau mengusung konsep pendidikan nonformal yang menggabungkan teori dan praktik langsung di lapangan, khususnya di kebun petani Desa Loru. Direktur PEI, Yusman, menjelaskan bahwa Sekolah Hijau merupakan bagian dari gerakan lingkungan untuk memperluas pengetahuan tentang tata kelola lingkungan yang berkelanjutan.
Program ini bertujuan melatih peserta dalam praktik pertanian ramah lingkungan serta melindungi wilayah kelola dari ancaman ekspansi pertambangan dan perkebunan. Sekolah ini menyasar berbagai kelompok, seperti pemuda desa, pencinta alam, petani, dan kelompok perempuan.
Menurut Yusman, Sekolah Hijau bersifat inklusif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemuda desa, siswa, mahasiswa, kelompok pencinta alam, hingga pemerintah, untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup secara lebih luas.
Peserta dan Tenaga Pengajar
Angkatan pertama Sekolah Hijau diikuti oleh 41 peserta yang berasal dari Kabupaten Morowali, Parigi Moutong, Sigi, Donggala, dan Kota Palu. Kurikulumnya disusun oleh dua dosen Universitas Tadulako, yakni Profesor Nirwan Sahiri dan Rachmat Zainuddin, yang berfokus pada isu pertanian berkelanjutan dan lingkungan hidup.
Sementara itu, tenaga pengajar berasal dari anggota PEI, di antaranya Edi Wicaksono, Mochamada Subarkah, Rizal, Aristan, Azmi Sirajudin, Soraya Sultan, dan lainnya, dengan total 10 orang.
Latar Belakang dan Urgensi Sekolah Hijau
Gagasan Sekolah Hijau lahir dari keprihatinan PEI terhadap kerusakan ekosistem pertanian dan hutan yang berdampak pada keberlanjutan produksi pangan. Kerusakan ini disebabkan oleh penggundulan hutan, penggunaan bahan kimia sintetik berlebihan, serta praktik budidaya tanaman yang tidak ramah lingkungan.
Akibatnya, siklus tata air terganggu, daya dukung lahan menurun, dan emisi gas rumah kaca meningkat, yang memperparah pemanasan global dan perubahan iklim. Yusman menegaskan bahwa perubahan iklim kini menjadi tantangan nyata bagi dunia pertanian, dengan dampak signifikan berupa penurunan produksi tanaman.
Oleh karena itu, Sekolah Hijau hadir untuk membekali masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi krisis iklim global melalui pendekatan teknologi dan penguatan komunitas petani serta aktivis lingkungan.
Materi dan Pendekatan Pembelajaran
Kurikulum Sekolah Hijau dirancang untuk memberikan pemahaman mendalam tentang ekologi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Materi yang diajarkan meliputi budidaya pertanian berbasis lingkungan dan tradisi masyarakat, pertanian cerdas iklim (Climate Smart Agriculture), sistem pertanian alami, serta pertanian organik. Pendekatan ini diharapkan menjadi dasar gerakan menuju pertanian berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup.
Harapan ke Depan
Sekolah Hijau bukan sekadar program pendidikan, tetapi juga gerakan lingkungan yang melibatkan praktik langsung di lapangan. Dengan melatih generasi muda, petani, dan komunitas lokal, PEI berharap dapat memperkuat upaya pencegahan kerusakan lingkungan dan mendukung keberlanjutan produksi pertanian di Sulawesi Tengah.
Program ini diharapkan menjadi model yang dapat direplikasi di wilayah lain untuk menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks.***
Penulis: Yardin Hasan
Foto: Evergeen Indonesia