Puluhan Tahun Lahan Transmigrasi Diduduki PT LTT, Warga Rugi Puluhan Miliaran Rupiah

MELAWAN - Atim warga Toviora menunjukan lahan dan rumahnya yang ber-SHM masuk di kawasan HGU milik PT LTT, Selasa 28 Oktober 2025

IBARAT mengupas kulit bawang, setiap lapisannya membuka fakta baru yang tersembunyi. Kali ini peta data dari  transmigrasi tahun 1993 dan data spasial BPN Donggala yang diterima Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (PKA) Sulteng, menyingkap fakta baru itu.

Kebun, tanaman, lahan dan rumah bersertifikat milik warga ternyata berada di dalam kawasan Hak Guna Usaha (HGU) PT Lestari Tani Teladan (PT LTT), termasuk yang berhasil diungkap dalam pertemuan antara Satgas PKA Sulteng dan warga perwakilan dari 4 desa di Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala – Sulteng.

Padahal sehari sebelumnya, pada rapat mediasi di ruang Kasiromu Kantor Bupati Donggala, Senin 27 Oktober 2025, PT LTT menolak tuntutan warga atas pencaplokan lahan yang dilakukannya. Selasa 28 Oktober 2025, perwakilan warga dari empat desa, Toviora, Polanto Jaya, Minti Makmur dan Rio Mukti di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, mendatangi Sekretariat Satgas PKA Sulteng.

Mereka mengadukan konflik agraria dengan PT LTT, anak perusahaan grup raksasa PT Astra Agro Lestari Tbk. Rapat sinkronisasi data ini mendapat sejumlah temuan, salah satunya adalah kerugian yang mencapai puluhan miliar rupiah.

Lima Spot di Desa Toviora Diduduki HGU PT LTT

Di Desa Toviora, setidaknya terdapat lima spot properti milik warga yang masuk kawasan HGU PT LTT, termasuk fasilitas umum, rumah, lahan perkebunan, dan tanaman jangka panjang. Warga bernama Atim (66), seorang ayah dengan dua anak dan enam cucu, mengaku memiliki rumah serta tanah seluas 1 hektar di dalam HGU tersebut.  Pengakuannya bukan klaim semata.

Pengecekan bersama menggunakan peta milik BPN Donggala dan citra satelit membuktikan koordinat tanah serta rumahnya memang berada di kawasan HGU. “Saya memiliki SHM sejak tahun 2000. Tiba-tiba tanah saya sudah berada di dalam HGU,” ujar Atim sambil menunjuk koordinat rumahnya di peta.

Selain Atim, warga lain seperti Yakub juga memiliki perkebunan durian, kakao dan sawit di kawasan HGU nomor 05. Masih di Desa Toviora, pada HGU 19 di pangkalan Roda Mas Dusun 02 RT 04, terdapat perusahaan sawmill, rumah milik Pete serta beberapa rumah penduduk.  Sedangkan di HGU 05 Dusun 02 RT 04, berdiri pula sejumlah rumah yang dihuni kepala keluarga.

Tak jauh dari sana, di Dusun 02 RT 02 Blok Carli 12, beberapa rumah dan satu unit SD Inpres Toviora juga termasuk dalam HGU. “Ini fakta baru. Mestinya PT LTT dan Pemkab Donggala bisa melihat ini,” kata Ridwan, warga Toviora yang kecewa dengan rekomendasi Pemkab Donggala yang disampaikan pada 27 Oktober 2025.

Warga Desa Minti Makmur Rugi Rp13 Miliar

Masalah serupa menimpa Desa Minti Makmur. Sekretaris Desa Sutikno melaporkan kepada Satgas PKA Sulteng bahwa di Dusun 08 terdapat tujuh bidang tanah bersertifikat hak milik (SHM) sejak 1994 milik Musdar, Nengha Kradu, Sunyoto, Nengah Sintana, Yustina, Made Narti, serta Ketut Genap. Masing-masing lahan seluas 1 hektar ditanami kakao, durian dan tanaman jangka panjang lainnya. Ketika PT LTT masuk dicaplok dan ditanami kelapa sawit. “Sejak 1994, saat PT LTT menduduki lahan, sawit milik warga tidak bisa dipanen,” katanya.

Kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp13 miliar lebih, dihitung dari asumsi rata-rata Rp2,5 juta per panen selama 31 tahun tanpa panen. Konflik ini tak berhenti pada penguasaan lahan. Gelombang protes sejak 2004 hingga 2019 kerap berujung kekerasan. Perusahaan kerap mendatangkan pasukan Brimob dari Palu untuk merepresi perlawanan warga.

Kasmudin, yang kini menjabat Kepala Desa Minti Makmur, pernah divonis empat bulan penjara di Rutan Donggala atas tuduhan pendudukan dan penyerobotan lahan dengan tuntutan awal 12 tahun. “Ada demo besar yang memprotes, jadinya hanya empat bulan,” ujarnya di depan Satgas PKA. Pada 2004, istrinya bahkan diculik dan disiksa sebagai risiko perlawanan yang dilakukannya. Setiap protes, perusahaan katanya tidak mau berunding. Selalu menyarankan warga menempuh jalur hukum.

Di Desa Polanto Jaya, pemicu konflik tetap sama. PT LTT menduduki lahan transmigrasi seluas 256 hektar yang sudah bersertifikat hak milik sejak 1991. Atau, tiga tahun sebelum HGU PT LTT terbit pada 1994. Menurut Sekretaris Desa Sigit Satrio, lahan tak bisa diolah atau diagunkan ke bank karena status di lahan di dalam HGU.

Ia menambahkan, saat perusahaan masuk lahan masih berupa hutan dan mereka dibekingi aparat keamanan bersenjata. Tak hanya itu Tanah Kas Desa (TKD) seluas 10 hektar di Dusun 05 Polanto Jaya (Sertifikat Hak Pakai) yang dikuasai PT LTT status kepemilikannya masih akan dikonfirmasi ke BPN Donggala. “Kami akan konfirmasi status tanah tersebut,” katanya.

Modus serupa terjadi di Desa Rio Mukti. Meski secara spasial peta BPN Donggala maupun BPN Nasional menunjukkan kawasan seluas 200 hektar sebagai lahan transmigrasi, bukan HGU PT LTT. Kini, lahan yang telah ditanami kakao serta tanaman jangka panjang tetap dicaplok perusahaan dengan dukungan aparat bersenjata.

Atas sengkarut konflik tenurial ini, warga empat desa bertekad terus melawan. “Harapan terakhir kami adalah Gubernur dan Satgas PKA,” ucap Ridwan, petani asal Desa Toviora. ***

 

 

Tinggalkan Balasan