FESTIVAL Mosintuwu 2025 telah usai. Selama tiga hari penuh, sejak 31 Juli hingga 2 Agustus, Kota Tentena menjadi ruang perayaan yang hidup. Merayakan bumi, budaya dan keberagaman yang tumbuh dari akar. Seiring tenda-tenda dibongkar dan panggung-panggung dibersihkan, para peserta kembali ke rumah masing-masing, membawa pulang rasa dan semangat baru.
Sebanyak 20 lebih rangkaian kegiatan mewarnai hajatan dua tahunan ini. Festival dibuka dengan karnaval yang semarak, dimulai dari Taman Kota Tentena dan berakhir di Jalan Yosi, lokasi utama festival. Ratusan siswa SD dan SMP para guru, hingga anggota Tim Jelajah Geopark, ikut meramaikan parade. Mereka mengenakan kostum bertema alam dan budaya, membawa semangat dari sekolah mereka.
Di depan anjungan Festival Danau Poso, seorang bocah SD yang membawa plang nama sekolahnya, tampak mulai kepayahan. Panas yang menghunjam tanpa ampun, sontak membuat guru dan orang tua bergerak cepat memberika air minum. Sesaat kemudian ia terlihat segar, plang nama kembali tegak, ia pun berjalan tegap menuju finish yang berjarak tinggal seratus meter. ”Ba jalan jo, tinggal sadiki so sampe,” seorang guru memompa semangat anak didiknya.
Di ujung parade, bocah perempuan kesulitan menahan angin yang menerpa baliho berisi narasi geopark. ”Gulung dulu, kencang anginnya,” pinta temannya. Menyadari ada juri di sisi jalan, seorang guru perempuan, menghampiri. ”Boleh digulung dulu, kancaang angin,” ujarnya meminta pengertian.
Selama festival berlangsung, Jalan Yosi tak pernah sepi. Hingar-bingar langkah kaki dan suara tawa mewarnai sepanjang ruas jalan itu. Anak-anak sekolah dari SD hingga SMA mendominasi keramaian. Mereka adalah peserta cerdas cermat bertema “Taman Bumi Poso”, salah satu program edukasi yang menyatukan pengetahuan geologi dengan kearifan tradisional.
Di arena festival, pengunjung lainnya tampak sibuk berburu kuliner khas desa yang dijual dengan sistem barter menggunakan uang festival, uang woyo. Panas yang ganas mereka abaikan. Sebaliknya, wajah yang bermandi peluh tampak semringah saat menggenggam uang woyo yang unik.
Seorang ibu guru dari SDN Saojo mendatangi meja panitia. Ia setengah keberatan, karena anak-anaknya tidak mendapat jatah minuman yang keburu abis. ”Oke begitu kita mo bilang, buat masukan,” katanya sambil menebar senyum ramahnya.
Berpindah ke tiap stan, di sana setiap yang dipamerkan memiliki cerita sendiri. Ada batu-batu geologi dari 24 geosite Taman Bumi Poso yang dipamerkan lengkap dengan narasi asal-usulnya. Komunitas Kalibamba menghadirkan koleksi kupu-kupu, membawa keindahan hutan tropis ke tengah kota. Tak ketinggalan, stan kaos cukil menawarkan hasil karya seni anak muda yang memadukan kreativitas dan isu lingkungan.

Di sisi lain, stan foto menarik perhatian pengunjung dengan dokumentasi visual perjalanan Tim Geopark Poso, dari Poso Pesisir hingga ke Pamona dan Lembah Bada. Di sudut yang sama, pojok narasi menyuguhkan kisah-kisah legenda etnis Pamona, kisah tua yang nyaris dilupakan. Kini kembali dibacakan dan dihidupkan.
Majalah dinding (mading) buatan siswa SMA dan SMK seputar Danau Poso menjadi sorotan tersendiri. Dengan papan sederhana dan kertas warna-warni, mereka menyampaikan cerita tentang situs geologi, budaya, serta flora dan fauna khas kawasan Danau Poso, sebuah bentuk ekspresi yang segar dan jujur dari generasi muda.
Legenda rakyat pun kembali mendapat panggung. Di atas pentas, sejumlah penampil membawakan cerita-cerita lama dengan cara yang baru. Karakter mitos seperti Watu Mpogaa kisah perpisahan leluhur Poso yang akhirnya dipertemukan kembali di Tanah Poso, mendapat ruang untuk bicara kepada generasi hari ini.
Megalitika, Nada Terakhir yang Menggema di Festival Mosintuwu 2025
Dan malam terakhir pun tiba. Festival Mosintuwu mencapai titik puncaknya. Panggung utama yang berdiri di jantung festival berubah menjadi ruang yang dipenuhi cahaya, suara dan kisah yang telah dirajut selama tiga hari festival.
Yusril Virgiawan, konten kreator asal Poso yang menjadi host membuat malam puncak itu semakin hidup. ”Malam ini kita tuntaskan,” teriak Ucil sapaan akrabnya. Riston Pamona, alias Icong seniman dari Tentena, secara jenius berhasil menyusun kisah-kisah perjalanan itu menjadi lima lagu penuh rasa. Icong menurut Raya Mosinta, peserta Jelajah Geopark asal Pasir Putih, berhasil menghidupkan misi perjalanan melalui lirik lagu.
”Jago memang Kak Icong ini, the best pokoknya,” sahut Eka, relawan festival dari Komunitas Kalibamba. Setiap lagu menyimpan potongan cerita dan lanskap yang dijelajahi. ”Semua lagu relate sama perjalanan kita,” Raya menimpali.

Lagu pertama, “Kepada Rimba”, membuka pertunjukan dengan atmosfer yang dalam dan liar. Lagu ini bercerita tentang hutan lebat dan tebing terjal di Desa Pantangolemba yang harus dilalui dengan susah payah demi mencapai Air Terjun Pantangolemba. Lagu ini seperti salam hormat kepada alam yang agung namun menantang.
Delapan jam perjalanan pergi pulang menyusuri tebing curam di gugusan kaki Gunung Biru – Poso Pesisir, mampu dirangkum dengan apik oleh sang seniman dalam lirik lagu berdurasi empat menit lebih itu.
Selanjutnya, “Perahu Kayu Tua” membawa penonton menyusuri Danau Poso menuju Desa Tokilo. Namun perjalanan harus terhenti sejenak di Desa Peura. Dihentikan ombak yang tak bisa diajak kompromi. ”Terdampar” di Desa Peura, rombongan dijamu oleh warga setempat dalam jamuan supermi yang mampu menganjal perut saat perjalanan ke Desa Tindoli masih menyisakan dua jam lagi.
Lirik dari dua lagu ini ditulis oleh Lampurio, seniman cukil berbakat dan diaransemen dengan apik oleh Icong. Kolaborasi keduanya menciptakan energi segar yang terasa kuat di panggung.
Di lagu ketiga, kejernihan kreativitas Icong kembali terasa lewat “Kandela”. Lagu ini mengangkat kisah tentang Benteng Kandela yang sangar dan mistis di tengah hutan. Namun, berkat aransemen yang ringan dan ceria, batu malihan itu tak lagi tampak angker. Justru menjadi daya tarik yang mengundang. Lagu ini seperti ajakan datanglah saksikan sendiri misterinya.
Saat lagu ini mengalun, serempak suasana menjadi heboh. Puluhan orang berjejal, menari dengan gerakan tak karuan. ‘’ayo semuanya ikut nyanyi,’’ teriak host menambah panas malam puncak itu.
Lalu mengalun lagu keempat, “Laulita Maleo’’. Lagu ini terinspirasi dari cerita tetua adat di Pantangolemba. Dikisahkan, sekitar mata air panas di desa itu, warga pernah melihat telur burung maleo, terakhir kali pada tahun 1985. Cerita itu, yang semula jadi guyonan antarpenjelajah karena terlalu lama berlalu, justru diolah Icong menjadi lagu penuh nyawa. Ia menyulap nostalgia menjadi sesuatu yang hidup dan akrab.

Etape terakhir membawa penonton ke Lembah Bada, kawasan yang kaya akan geosite dan tinggalan purba. Di sinilah lagu kelima, “Lembah 1000 Megalit Merayu Nusantara”, ditampilkan dengan aransemen paling megah. Lagu ini menghadirkan kembali sosok-sosok megalitik seperti Palindo, Langkebulawa, dan Bulu Loga, seolah hidup dan bicara.
Lagu pamungkas ini memang sengaja disimpan untuk menutup pertunjukan. Suara yang menyatu dalam harmonisasi yang padu, melodi yang megah dan terasa sakral, menciptakan gema panjang dalam benak penonton.
Icong dan tim seniman lainnya membuat “Semesta Megalitika” menjadi napas terakhir dari festival ini. Nada terakhir yang menggema di lapangan mini di Jalan Yosi, Tentena menjadi Puncak Rasa di Festival Mosintuwu 2025.
penulis: yardin h
foto-foto – basrul idrus
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak