Sosok

Angelina Purnomo, Menembus Malam Menjajakan Kuliner di Seantero Kota

JEMPUT BOLA - Siti Angelina Purnomo menyasar sudut-sudut kota menjajakan kuliner ayam geprek pada pelanggan setianya - (foto: amanda)

JARUM jam menunjukan pukul 23.15 wita. Jalanan mulai lengang. Deru kendaraan terdengar tinggal satu satu. Awan mendung berarak menghias langit malam. Sebentar lagi hujan akan turun. Di atas jalanan sunyi, sosok perempuan muda berkerudung berjalan di antara siluet sinar bohlam yang menghunjam ke bumi. Langkah kecilnya berderap meninggalkan debu tipis yang tersapu sepatu kets.

Dialah Siti Angelina Purnomo (15), pelajar SMA Negeri 1 Sigi, saban hari menembus pekat malam menjajakan kuliner ayam geprek. Sambil terus menggunakan masker dan cairan disinfektan yang tampak menyempil di tasnya, ia menyapa warga di pinggir pingir jalan. Di tempat tempat keramaian seperti cafe dan warkop tak luput dari sasaran gadis manis ini. Pada saat-saat tertentu, ia tiba-tiba menyeruak di antara keasyikan orang yang main gaple. Suara lembutnya memaksa orang yang asyik dengan batu gapleknya menoleh ke sumber suara. ”Assalamu’alaikum. Jual ayam geprek. Ada cabe merah dan cabe ijo,” sapanya dalam volume suara yang terukur.

Jika ada yang membeli, tangan mungilnya dengan cekatan mengeluarkan kemasan ayam geprek yang di atasnya tertera nomor telepon yang bisa dihubungi untuk pemesanan. Sebaliknya, jika tidak ada tertarik membeli, ia pamit berlalu. Menjajakan jualannya pada orang-orang berikutnya. Begitu seterusnya. Ia melakoninya sejak duduk di bangku kelas III SMP di Negeri 1 Sigi.

Strategi marketing jemput bola, yang dilakukannya terbukti efektif. Sekali jalan, ia menenteng sedikitnya 25 dos ayam geprek dengan dua varian berbeda. Dibandrol Rp25 ribu, sama-sama menawarkan sensasi pedas, bumbunya cabe merah dan cabe hijau. Beruntung, sekali jalan selalu ludes. ”Alhamdulilah,” responnya pendek diselingi anggukan pelan. Jika bersisa, paling satu atau dua dos.

Angel demikian ia diakrabi, sudah menjalani jualan ayam geprek sejak setahun lalu. Meninggalkan kediamannya di Kalukubula – Biromaru, Sigi, usai salat magrib. Dengan tentengan full, tas ukuran jumbo berisi 25 dos ayam grepek, ia didrop di ruas-ruas jalan utama di Kota Palu. Angel mengaku, ia sering didrop di Jalan Sis Aljufri – Palu Barat. Dari sana, lalu berjalan menyusuri jalan sambil memerhatikan tempat yang menjadi kerumunan orang. Jika seketika melihat kerumunan, dua orang atau lebih dengan percaya diri langsung menawarkan jualannya.

LAYANI PEMBELI – Siti Angelina Purnomo alias Angel, melayani pembeli di Jalan Hasanudin – Palu (f-amanda)

Dalam lima atau enam kali kesempatan ia menawarkan jualan, tiga atau empat kali tawarannya ditampik. Dengan alasan beragam. Belum ada uang atau sedang kenyang. Namun dalam lima kali kesempatan itu, selalu saja, dua atau tiga orang membelinya. ”Berarti di situlah rezeki saya,” ulasnya panjang lebar dengan suara samar.

Dari Sis Al Jufri, gadis empat bersaudara, berjalan menyusuri jalan hingga menyeberang ke Palu Timur, kawasan pertokoan dan terus berjalan arah timur hingga Kelurahan Talise. Angel mengaku, saban malam nyaris semua ruas jalan utama di Palu Timur disusurinya.

Tidak capek? ditanya demikian, lagi-lagi bungsu dari empat bersaudara merespons pelan. ”Iya capeklah tapi harus begitu,” katanya. Kali ini tak malu lagi mengobral senyumnya.

Dewi Fortuna sepertinya terus mengiringi langkah kecil gadis ini berjuang meraih kebahagiaannya. Selama ini akunya, jualannya selalu laris. Walau harus ditebus dengan menyusur jalan hingga jarung jam berdentang menyentuh titik 24.00 wita. Jam 12 malam adalah batas akhir yang disepakatinya bersama tiga kakaknya.

Pada tengah malam itu, saat teman sebayanya terlelap di atas ranjangnya, Angel masih bergegas mengemasi barangnya kembali menuju rumahnya. Merebahkan diri di kamar pembaringannya yang sedari tadi kosong ditinggal pemiliknya – mengadu peruntungan di balik gelap malam.

Ia beruntung, selama ini belum pernah mendapatkan pengalaman tidak enak dari orang-orang yang iseng bahkan saat jalan sepi sekalipun. ”Belum, belum pernah,” katanya pendek, merespons pertanyaan Mohamad Arif dari Kabarselebes.com.

TANGGUH – Saban malam Angel menenteng tas berisi 25 dos ayam geprek, menyusuri jalan utama mulai dari Sis Aljufri – Palu Barat hingga Talise – Palu Timur. (f-amanda)

Suasana pandemi Covid-19, seperti saat ini, mengharuskan ia banyak belajar dari rumah. Pada siang hari, usai mengikuti pelajaran daring dari gurunya, ia bergegas membantu ibunya di dapur. Mulai menyiapkan bumbu, menanak nasi, menjerang air dan seabrek kebutuhan untuk jualan malam nanti. Sedangkan ayahnya, punya kesibukan lain menekuni servis dinamo di rumahnya. Praktis, ia dan kakak kakaknya berjibaku membantu ibu demi kelancaran bisnis kuliner yang semalam mencapai 100 dos itu.

Angel tak sendiri. Tiga kakaknya, pun ikut menjajakan ayam geprek di seantero penjuru kota. Mereka berempat berbagi rute. Praktis katanya, spot keramaian di malam hari, di empat penjuru mata angin, Palu Barat dan Palu Timur dan Selatan, tak luput dari sasaran empat bersaudara – yang kesemuanya perempuan ini.

Seperti dirinya, kakak-kakaknya, kini ada yang sedang menyelesaikan pendidikannya.  Kakak sulungnya menempuh pendidikan S1 di Universitas Tadulako dan ada yang duduk di kelas III di SMA Negeri 1 Sigi.

Pandemi Covid-19,  memaksa  sebagian orang mengurangi aktivitasnya. Tak kerkecuali anak anak dan remaja. Saat sebagian remaja ABG memilih menghabiskan kuota internet dengan menonton drama korea di kanal youtube atau membuat konten tiktok.

Namun gadis belia seperti, Siti Angelina Purnomo, dengan sadar memilih meninggalkan ranjang tidurnya, menembus malam, menyeret kaki kecilnya di atas aspal berdebu, menyapa hangat pelanggannya di sepanjang keramaian.

”Assalamualaikum Kak! Ini ada ayam geprek pedes, ada sambel ijo, cabe merah juga ada,” tawarnya pada setiap orang-orang yang ditemuinya.

Begitu seterusnya. Hingga tubuh mungilnya menghilang di balik temaram lampu, menyasar pembeli berikutnya. Yang entah dimana.***

Penulis: Amanda

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: