Sosok

Bukan Pengabdian Terakhir

TERIMA AMANAH - Gubernur Longki Djanggola menerima amanah sebagai gubernur periode kedua usai dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara, 5 tahun silam. (F-HUMAS ISTANA PRESIDEN)

LONGKI Djanggola akhirnya menyelesaikan tugas pengabdiannya setelah 10 tahun memimpin salah satu wilayah penghasil nikel terbesar di Indonesia ini. Hari ini 16 Juni 2021, bersamaan dengan pengucapan sumpah Gubernur terpilih Rusdi Mastura, Longki menyerahkan estafet kepemimpinannya kepada penggantinya itu.

Mengenakan hem putih dipadu celana panjang hitam, Gubernur Longki Djanggola datang di ruang kerjanya menyelesaikan tugas-tugas terakhirnya sebagai Gubernur Sulteng. Mengendarai Toyota Alphard hitam DN 1, ia datang dikawal ajudannya tepat pukul 11.00 wita. Saat masuk, staf sekretariat berdiri memberi penghormatan kepadanya. Longki mengangguk ramah merespons sambutan staf yang 10 tahun mendukungnya.

Sesaat ia masuk di ruangannya yang apik. Di sana bertumpuk dokumen yang menunggu ditandatangani. Asisten II, Elim Somba menemaninya bicara disusul kemudian beberapa tamu lainnya. Sesaat kemudian Kepala Cabang Panin Bank Palu, Linawati mulialim tampak membawa bingkisan berwarna biru langit, menjadi tamu kesekian. Suasana ruang kerja gubernur masih terlihat dinamis. Suasana kerja masih tampak seperti biasa. Hanya saja, foto resmi gubernur/wagub sudah diturunkan. Beberapa plakat yang berjejer di lemari pun sudah tampak kosong. Seupuluh tahun, Longki Djanggola memimpin  tiga juta lebih warga Sulteng dengan dedikasi, kompetensi, keterampilan serta ketulusan. Kepemimpinannya memang tidak sempurna. Tapi banyak yang perlu dicatat. Dan pantas dikenang.

 

Di tengah situasi yang tak benar-benar ideal, musibah gempa tsunami dan liquefaksi diikuti pandemi Covid-19 yang menghajar segala sektor, Longki setidaknya masih bisa meninggalkan kursi kepemimpinannya dengan kepala tegak. Ekspor yang terus naik, nilai tukar petani yang membaik serta pertumbuhan ekonomi terbaik ketiga nasional sebesar 6,26 persen pada Mei 2021 – adalah sederet fakta, betapa musibah yang beruntun – masih menorehkan capaian kinerja bagi tiga juta lebih rakyatnya. Berbincang hampir sejam di ruang kerjanya, 5 Februari 2021 lalu, Longki mengulas kehidupan masa kecilnya, masa mudanya, sosok gadis pujaan hingga capaian karir politik yang gemilang.

Sebagaimana anak kecil seusianya, masa kecil dihabiskan dalam suasana khas anak-anak pada umumnya. Bermain gerobak, berkejaran di sela pohon kelapa. Bermain layangan. Main petak umpet. Dan bermacam mainan khas akan kecil seusianya. Namun saat yang bersamaan dibarengi dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya dan saudara-saudaranya. Menyapu halaman. Mengepel lantai. Mencuci piring hingga menyeterika baju. Ini adalah sederet tanggungjawab yang harus ditunaikan. Diakuinya, disiplin dan tanggungjawab itu memberi pengaruh kuat dalam kehidupannya publiknya berpuluh tahun kelak.

KAMPANYE – Longki Djanggola bersama Ny Zalzulmida menggelar kampanye gubernur di Parigi untuk periode pertama. (F-HUMAS TIM KAMPANYE LONGKI-SUDARTO)

Sekolah di SDN 3 Palu, masuk di SMP Negeri 2 Palu. Setamat dari sana, masuk di sekolah kejuruan SAA – asisten apoteker (SMK sekarang). Kakak-kakaknya semua diarahkan mengambil kejuruan. Orang tuanya menginginkan anak-anaknya cepat mendapat pekerjaa. Maka pilihannya adalah sekolah kejuruan. Usai dari sekolah kejuruan pada 1972, saat kebutuhan pegawai masih tinggi, ia langsung menjadi PNS. Pangkat golongan II A.

Lulus dari SAA mengabdi sebagai PNS selama 3 tahun. Bagian farmasi, di RS undata. Jalan masih terbentang panjang di depannya. Longki muda kemudian merantau ke Jakarta. Masuk di Universitas Pancasila tahun tahun 1974. Setahun kemudian masuk di Universitas Indonesia jurusan Farmasi. Beruntung dengan status PNS, ia tak membebani orang tuanya. Gajinya sebagai PNS digunakan untuk biaya kuliah. ”Kiriman uang dari orang tua tetap ada untuk tambah-tambah. Tapi sebagai anak muda tetap saja uang itu dirasa kurang,” sahutnya terkekeh.

Di Jakarta, tinggal sama kerabat. Darah muda yang berdesir selalu mendesaknya merasakan hidup bebas dan mandiri. Pilihannya adalah pindah di Asrama Sentiong. Beberapa mantan pejabat di Sulteng seperti mendiang Syafrun Abdullah, mantan Sekkab Donggala Kasmudin, mantan Bupati Donggala Habir Ponulele dan mantan Sekwan DPRD Sulteng David Halim adalah segelintir tokoh-tokoh sukses yang pernah tinggal di asrama yang terletak di daerah Matraman Jakarta Pusat. Ia bahkan tercatat menjadi Ketua Asrama Sentiong.

Di kehidupan Jakarta lah ia mengaku darah mudanya berdesir. Mulai mengenal keramaian. Menikmati gemerlap malam ibukota. ”Pokoknya semua yang indah-indah. Namanya juga anak muda,” katanya tersenyum.

Soal kehidupan di asrama dan keasyikan menikmati gemerlap ibukota, sekondannya mantan Kepala Bappeda Sulteng David Halim mengaku banyak kenangan dengan Longki semasa di Asrama Sentiong. Longki disebutnya cerdas. Tongkrongannya perlente dan selalu terlihat ganteng. Banyak sekali cewek di kampusnya yang naksir. ”Kalo saya, saya ini nakal. Daerah operasi saya di sekitar Senen,” ungkapnya tertawa.

Pernah katanya terjadi keributan. Asrama mereka didatangi pemuda dari Ambon. Syafrun dan Habir Ponulele, memberitahukan jika asrama bakal didatangi pemuda Ambon. Dan mereka benar-benar datang. Sebagai ”pemilik” wilayah Senen, David Halim dipercaya menghadapi pemuda preman itu. Ia menyiapkan pedang panjang. ”Saat mereka datang, saya kejar dengan parang, lari semua. Saya lupa pemicunya, kalo tidak salah urusan cewek,” katanya mengenang.

Di tengah kehidupan glamour ibu kota, berstatus mahasiswa, tanpa pengawasan orang tua serta punya penghasilan sendiri, Longki mengaku tak lupa diri. Di benaknya selalu ada tanggungjawab untuk menyelesaikan pendidikan. ”Pilihannya ada di diri sendiri. Mau sekolah atau hura-hura. Jika saya hura-hura maka saya tidak akan seperti yang Anda lihat sekarang ini,” katanya. Anak muda ungkapnya pasti nakal. Nakal di jalanan, nakal di kehidupan malam dengan teman-teman. Namun tetap bertanggung jawab.

Kesadaran untuk tidak larut dalam kehidupan glamour karena sadar sebagai sebagai PNS yang sedang menuntut ilmu, mendapat gaji dari negara, tak elok jika gaji digunakan untuk foya-foya. Pada saat itu, ia menyadari bahwa nilai-nilai yang ditanamkan sang ayah semasa kecil saat pulang sore dari main petak umpet, berkejaran di sela pohon kelapa – puluhan tahun siam telah membentuk karakter dirinya saat menjalani kehidupan di negeri rantau.

ROMANSA KISAH KASIH NYATA

Kawannya di Asrama Mahasiswa Sentiong, David Halim dalam sebuah kesempatan pernah bilang, Longki itu cerdas dan ganteng. Maka tak heran jika gadis-gadis banyak yang kesengsem dengan gaya pria yang suka tampil metrosexual ini. Longki tidak menjawab gamblang saat dikonfrontir dengan klaim David Halim tersebut. ”Hehe itu kata mereka,” jawabnya pendek. Tapi ungkapan David Halim itu, sepertinya ada benarnya. Faktanya, dara manis asal Pariaman kepincut berat sama sosok mahasiswa perlente itu.

Longki bersedia membuka secuil kenangan manis saat pertama melihat gadis pujaannya itu. Pandangan pertama kepada gadis yang kuliah Fakultas Hukum UI, langsung membuatnya terpana. Sebagai jejaka dengan penampilan perlente, Longki membatin perempuan tinggi semampai itu, sekali kelak akan menjadi pendamping hidupnya.

Pertemuan pertama kenangnya, saat di Banten – Jawa Barat. Waktu pelaksanaan KKN pada 1978. Oleh Longki KKN lebih tepatnya disebut sebagai Kisah Kasih Nyata, dari pada Kuliah Kerja Nyata. Karena dari sanalah kisah kasih itu terjalin. Dari pandangan pertama sebatas kagum, tertarik lalu kepincut untuk mengungkapkan hasrat mudanya. Dipisahkan kampus yang berjauhan. Si cantik Zalzulmida kampusnya Rawamangun. Sedangkan ia di Kampus Perjuangan Salemba. Toh itu bukan soal. Kisah kasih dua anak manusia makin intens terjalin. Bulir bulir cinta, sepasang anak muda beda etnis, beda pulau terus bersemi indah.

SANTAI – Gubernur Longki Djanggola melayani wawancara di ruang kerjanya 5 Februari 2021. (F-AMANADA)

Hasrat untuk mempersunting gadis Minang itu terus dipupuknya di dalam hati. Hasrat yang memupus harapan beberapa keluarga di Palu, yang diam-diam menyiapkan gadis untuk dipersunting pria yang rambut ikalnya perpaduan antara Roy Marten dan Roby Sugara itu. Empat tahun menjalani romansa yang intens dan intim, serta berbekal status PNS dengan gelar Sarjana Farmasi, Longki mempersunting gadis pujaannya. Pada 1982 kedua anak muda, Kaili – Minang mengikat janji sehidup semati – komitmen yang terus dipegang teguh hingga hari ini hingga membuahkan dua anak serta tiga cucu.

Asmara dan dunia pergerakan adalah dua dunia yang saling bertaut. Diakuinya, gejolak darah muda pada saat-saat itu memang sulit dikekang. Di tengah masa -masa indah dalam buaian romansa yang melenakan, Longki dan kawan-kawan masih terlibat dalam berbagai aksi mahasiswa. Kuliah di kampus dengan ikon Kampus Perjuangan, Longki ikut dalam gelombang kesatuan aksi mahasiswa Indonesia – memprotes berbagai kebijakan negara yang timpang. Pemerintahan Orde Baru yang baru berumur 12 tahun terus menancapkan kuku kekuasaannya. Dan Longki muda ada di depan barisan mahasiswa UI memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai pro asing.

Sebagai putra daerah, Longki ikut cawe-cawe bahkan menjadi motor penggerak memprotes Gubernur Albertus Maruli Tambunan.
Soerang militer berpangkat Kolonel menjabat Komandan Korem 132 Tadulalao yang diplot menjadi Gubernur Sulteng. ”Kita protes kenapa harus tokoh dari luar. Banyak putra daerah yang cakap dan mampu menjadi pemimpin daerah,” ungkap Longki mengenang peristiwa heroiknya.

Terlahir dari keluarga raja, apakah tidak terpikirkan mempersunting gadis dari nasab yang sama?

Longki cepat memotong pertanyaan ini. ”Tidak ada seperti itu, yang namanya jodoh tidak mungkin dibendung sekuat apa pun. Orang tua juga tidak punya keinginan mengontrol urusan jodoh anak-anaknya,” potongnya. Diakuinya, ada keluarga yang menjodoh-jodohkan. Dalam sebuah keluarga besar, hal semacam itu sesuatu yang biasa. ”Tapi pada akhirnya keputusan tetap di tangan saya. Dan pilihan saya ya pada gadis Minang itu,” katanya. Bahkan kakak-kakaknya menikah dengan pilihannya sendiri.

Kuliah di Jakarta, akrab dengan kehidupan Jakarta, mendapatkan gadis Minang di Jakarta, sempat setahun menjadi apoteker, kemudian kembali ke Jakarta. Di sana sempat menjadi tenaga administrasi hingga kemudian tahun 1984 menjadi Kepala Perwakilan di Jakarta – semasa kepemimpinan Gubernur HB Paliudju – Kiesman Abdullah. Bagi Longki Jakarta menjadi salah satu yang penting dalam fase kehidupannya. Tak hanya karena di sana ia pernah menjadi pejabat eselon tiga. Tapi di kota metropolitan itu, gairah mudanya menggelegak, menjadi aktivis mahasiswa, menjalani romansa indah bersama belahan jiwa. Namun bakti pada negeri tetap mengendap di dalam hati kecilnya. Ia pun kembali ke Palu untuk melanjutkan pengabdiannya di tanah kelahirannya.

TIDAK ADA RENCANA MENJADI PEMIMPIN DAERAH

Di masyarakat ada celetukan, wajar seorang Lonki Djanggola menjadi kepala daerah. tujuh tahun di Kabupaten Parigi Moutong. Dan 10 tahun menahkodai Sulteng. Pasalnya, putra dari Yoto Dg Lando bin Djanggola bin Lapariusi bin Jodjo Kodi bin Lamakaraka ini, mengalir darah kepemimpinan. Neneknya, Djanggola, Jodjo Kodi dan Lamakaraka pernah menjadi raja atau Magau di Palu. Dengan melihat silsilah ini saja, publik pun seolah memaklumi bahwa trah raja berkolerasi signifikan dengan jabatan politik yang diembannya kini.

Longki menolak asumsi yang dinilainya spekulatif itu. ”Tidak ada. Tidak seperti itu. Itu sangat spekulatif,” bantahnya tegas.

Menurut dia, tidak ada rencana dalam dirinya untuk mendesain jalan hidupnya menjadi pemimpin daerah. Pun sama halnya, kedua orang tuanya, tidak mengarahkannya harus menjadi sesuatu. Kedua orang tua, hanya membekalinya dengan tanggunjawab – apa pun dan dimanapun pekerjaan itu diemban.

Kedua orang tuanya hanya membekali itu, disiplin dan tangggungjawab, terhadap pilihan yang sudah diambil. Bahwa hari ini, dirinya, dipercaya rakyat Sulteng untuk menjadi pemimpin mereka, itu lebih pada takdir serta ikhtiar yang dilakukannya karena ia merasa punya kemampuan dan panggilan jiwa untuk berbakti di tanah kelahirannya.

Longki mengurai panjang lebar perjalanannya hingga menjadi Bupati Parigi Moutong dan Gubernur Sulteng. Pada 2003 ia ditunjuk menjadi Plt Bupati di wilayah bekas Kabupaten Donggala itu. Kala itu ia menjabat Kepala Badan Balitbangda Sulteng. Ia diusulkan oleh Bupati Donggala HN Bidja sebagai bupati di kabupaten induk dan disetujui oleh Gubernur Aminuddin Ponulele. Setahun menjabat Plt Bupati, ia mencoba peruntungan politiknya mengikuti pemilihan bupati devinitif di DPRD Parimo. Dan lagi-lagi nasib baik terus mengiringinya. Longki mencatatkan diri dalam sejarah Kabupaten Parimo, tak hanya sebagai bupati pertama. Melainkan ia ada bupati terakhir yang dipilih di DPRD – selanjutnya adalah Pilkada langsung.

Saat pemilihan bupati di DPRD Parigi Moutong, berpasangan dengan Asmir Ntosa, ia menang menyisihkan jago Golkar mendiang Sutomo Borman. Lima tahun berikutnya, pemilihan langsung bersama Syamsuridjal Tombolotutu, ia kembali menang untuk periode kedua.

Di fase ini, nasib politiknya sedang diuji. Berbekal aktivis pergerakan di Jakarta dan pernah menjadi Wakil Sekretaris Partai Golkar Sulteng, Longki merasa pengalamannya itu lebih dari cukup untuk menghadapi adangan politik di depannya. Berhadapan dengan elit politik dari partai berpengaruh. Longki pantang mundur.

Misalnya, saat mengikuti pemilihan Wali Kota Palu. Berpasangan dengan Andi Mulhanan Tombolotutu. Longki hanya mengantoni 5 suara. Ia kalah dari Baso Lamakarate – Suardin Suebo dengan 13 suara dan Rully Lamadjido – Redy Priambada 12 suara. Pasangan lainnya Karman Karim – Dewi Abdullah, tidak mendapat suara.

Di Kabupaten Parigi Moutong ia kembali mencoba peruntungan politiknya. Senin 25 Agustus 2003,  sebanyak 30 orang anggota DPRD Parimo menggelar paripurna pemilihan bupati/wakil bupati pertama. Berpasangan dengan Asmir Ntosa, pemilihan berlangsung tegang. Dua pasangan lainnya, Sutomo Borman (alm) berpasangan Nur Rahmatu serta Asikin Suyuti – Rafli Dg Rahmatu (alm). Pemilihan berlangsung dua putaran, karena tidak ada pemenang yang mencapai 50 persen plus satu. Putaran pertama Longki-Asmir dari PDIP meraih 16 suara. Kemudian Sutomo-Nur Rahmatu (Golkar) dengan 14 suara serta Azikin – Rafli (PPP) hanya tiga suara. Pada putaran kedua yang dimulai pukul 12.15 wita, di bawah tekanan massa yang kencang di luar gedung lama DPRD Parimo, Longki- Asmir menang atas pasangan Sutomo-Nur Rahmatu dengan 16 – 14 suara.

Longki merasa angin politik terus bertiup kearahnya. Ia kemudian mencoba peruntungan politiknya di Pilkada provinsi yang berhasil dimenangkannya selama dua kali secara beruntun. Proses menuju kearah itu, ungkap mantan Wakil Ketua DPD IPKI Sulteng itu, tidak didapatnya hanya karena latarbelakangnya sebagai pemilik trah raja-raja di Palu. Tapi dilalui dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh hingga akhirnya takdir itu menghampiri dirinya. ”Ya ini semua tak terlepas dari nilai-nilai dari orang tua. Disiplin dan tanggungjawab pada pilihan yang diambil. Karena rakyat melihat punya dua nilai itu maka mereka percaya saya – hingga akhirnya saya duduk di sini,” ulasnya panjang lebar.

F-ERIK TAMALAGI
PERSEMBAHAN KOLEGA LAMA – Geng Asrama Sentiong – Jakarta menggubah lagu untuk Longki Djanggola. Lagu yang dibawakan pada konser untuk mengantar akhir pengabdiannya sebagai gubernur Sulteng, di Jakarta 13 Juni 2021

Tak banyak orang yang karirnya semulus pria kelahiran 11 November 1952 ini. Diakuinya banyak orang yang berperan dalam kesuksesannya hingga akhirnya bisa mencapai karir kehidupan dalam level saat ini. Karenanya ia menolak dikotomi soal peran ayah dan ibu dalam kehidupannya.

”Jangan pernah mendikotomikan peran ayah ibu. Setidaknya bagi saya, dikotomi itu tidak ada,” katanya merespons pertanyaan. Keduanya, sesuai kodrat yang melekat pada diri masing masing, memberi kontribusi yang sama besar dan sama pentingnya dalam tumbuh kembang ia dan saudara-saudaranya. Seorang ibu melahirkan. Lalu menyusui dan seterusnya. Seorang ayah memerankan peran lain yang sama pentingnya. ”Dan itu tidak bisa diperhadap-hadapkan, misalnya siapa yang paling berperan ayah atau ibu,” tegasnya.

Metode mendidik orang tuanya kemudian diturunkan lagi kepada dua anaknya kini, Richard Arnaldo Djanggola dan Rico Andi Tjatjo Djanggola. Keduanya diberi keleluasaan memilih jalan hidupnya. Ia hanya menanamkan nilai-nilai. Anak bungsunya Rico menolak menjadi aparat sipil negara walaupun lulus dalam penerimaan PNS di Sulteng. ”Saya maunya anak saya jadi PNS dua-duanya. Tapi kan dia lain pilihannya. Ya terserah dia,” tandas Longki. Semua orang punya keinginan mencapai yang terbaik dalam karir kehidupannya. Ini adalah hal lumrah dalam kehidupan yang makin kompetitif. Dirinya tidak ambisius untuk menduduki posisi tertentu. Apa lagi jika mendapatkannya harus merugikan orang lain. Ini nilai yang senantiasa ditanamkan pada anak-anaknya. Bahwa menjadi yang terbaik adalah ikhtiar yang bagus. Tapi tidak boleh ambisius lalu merugikan orang lain. ”Saya perlu menekankan ini, biar karir politik saya tidak dilihat dari perspektif sebagai orang yang ambisius. Saya bersaing secara fair, sesuai aturan main dan akhirnya saya memahami inilah takdir saya,” ungkapnya filosofis.

Longki juga merasa perlu menekankan, soal klaim bahwa penunjukkannya menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Parigi Moutong 2002 – 2003, karena jasa orang lain. ”Itu sama sekali tidak benar. Itu bohong. Bohong besar,” kata dia. Yang benar adalah namanya diusulkan Bupati Donggala HB Bidja lalu kemudian namanya disetujui Gubernur Aminuddin Ponulele. Penunjukkan itu pun tidak ujuq-ujuq. Dari sisi kepangkatan ia memenuhi kualifikasi untuk jabatan tersebut. Namun Longki enggan mengungkap detail friksinya dengan Gubernur Aminuddin Ponulele – yang konon tidak sreg dengan posisi Plt termasuk pencalonannya di sebagai Bupati Parimo di DPRD Parimo. ”Mungkin beliau punya maksud lain, tapi saya kan anak muda, punya jalan pikiran lain sendiri. Tapi sudahlah tidak usah dirinci detail. Jangan tanya soal itu lagi. Tapi dari sisi saya, saya sangat menghormati beliau sebagai kakak dan sebagai senior,” ungkapnya sambil menikmati kacang rebus.

Longki kemudian bercerita, soal bagaimana hubungan emosional dengan mendiang mantan Ketua DPRD Sulteng itu. ”Hubungan emosional kami sangat kuat,” katanya. Aminuddin bersaudara saat lahir dibantu oleh ibunya yang berprofesi sebagai bidan.
Bahkan nama mantan Rektor Untad itu sambung Longki berasal dari ibunya. Bahwa kemudian di luar, kelihatan ia dan Aminuddin berbeda tajam, itu lebih karena pilihan politik yang berbeda. Sama halnya, ketika orang-orang melihat perbedaan tajam antara dirinya dengan Rusdi Mastura pada dua edisi Pilkada di Sulteng. Perbedaan yang bahkan melahirkan polarisasi di tingkat pendukung. Bagi Longki mestinya ini harus dilihat dari perspektif politik. Tapi secara kemanusiaan ia dan Rusdi Mastura, tetap dalam hubungan yang biasa. ”Jadi perbedaan saya dengan Pak Aminuddin dan dengan Cudi, itu semata perbedaan politik. Kita berada pada garis politik yang beda. Tapi dari sisi kemanusiaan kami sangat dekat. Bahkan lebih dekat dari yang orang lihat dari luar,” tambahnya.

Bagi Longki, ini adalah legasinya kepada generasi setelah dia. Tentang bagaimana perbedaan politik setajam apa pun perbedaan itu, tidak boleh mengalahkan hubungan kekerabatan dan relasi kemanusiaan. ”Saya tak punya materi untuk diberikan kepadamu, karena saya bukan hartawan. Tapi saya punya legasi ini, untuk bekalmu. Bekal kalian di hari depanmu nanti” pesannya bijak.

Lima bulan kedepan, Anda akan meletakkan jabatan ini. Publik mencatat relasi Anda dengan Wakil Gubernur mendiang Sudarto dan Rusli Palabi, tampak adem. Tidak ada gejolak. Bisa Anda ceritakan di sini, karena ini poin penting sekaligus legasi Anda kepada generasi nanti?.

Sambil menghela napas, Longki tersenyum mendengar pertanyaan ini. Sebenarnya ini soal sederhana jika seseorang benar-benar menempatkan dirinya sebagai pengabdi negara dan pelayan rakyat. Sinergi antara semua komponen tidak saja kepada Wakil Gubernur sambung Longki adalah hal penting. Setidaknya ada dua pesan yang bisa tersampaikan ke publik jika sinergi dan harmoni dalam birokrasi pemerintahan terjaga. Pertama adalah jaminan pelayanan kepada rakyat tidak terganggu oleh bising di dalam pemerintahan yang dipicu oleh hal-hal sepele, seperti komunikasi yang tidak lancar di antara elit pemimpin.
Kedua adalah pejabat adalah figur publik yang senantiasa dicontoh. Jika pemimpinnya ribut, lantas apa yang bisa diwariskan pada generasi berikutnya. ”Kita tidak mungkin mewariskan kegaduhan. Ini yang senantiasa saya jaga,” katanya.

Walau demikian, ia tetap merasa ada yang kurang selama kepemimpinannya. Pertama saat terjadi gempa. Walau gempa itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, sebagai pribadi maupun dari sisi kepemimpinannya, musibah itu adalah pukulan telak. Disaat Sulteng sedang bagus-bagusnya, visi misi sedang on the track, tiba-tiba dihajar musibah yang kemudian disusul lagi dengan pandemi Covid-19. ”Mungkin saya nyaris frustasi. Tapi saya bertekad tidak boleh menyerah, harus bangkit. Alhamdulilah Sulteng masih bisa mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Walau demikian saya merasa masih ada yang kurang,” katanya lagi.

Hampir 20 tahun menghabiskan diri mengurus rakyat Sulteng, praktis tidak ada waktu bersama keluarga. Hal ini diakui Longki dalam waktu-waktu tertentu ada protes kecil-kecilan dari anak atau keluarga dekatnya. Tapi bagi dia, ini adalah ikhtiar yang secara sadar dipilih mengabdikan diri kepada rakyat. ”Jika ada protes tinggal diberikan pengertian, sehingga protes itu tidak berubah chaos,” ujarnya terkekeh.

Longki melanjutkan, pada 16 Juni nanti, dirinya berhenti dari gubernur. Ia belum tahu rencana selanjutnya. Tapi yang pasti ia masih menjadi Ketua Partai Gerindra. Artinya ia belum lepas 100 persen dari pemerintahan. Melalui anak buahnya di parlemen, Longki mengaku membantu jalannya pemerintahan melalui Partai Gerindra di DPRD Sulteng. Pengabdian kepada publik, kepada kemanusiaan masih akan terus berlanjut. Tak harus di pemerintahan. ”Saya akan menyampaikan saran atau kritik kepada pemerintah melalui Fraksi Gerindra. Pengabdian lainnya bisa dijalur informal,” terangnya.

Dalam percakapan selama 34 menit, 36 detik itu, Longki secara halus meminta menyudahi pembicaraan. Azan jumat mulai bergema. Ia membetulkan kancing jasnya. Memanggil ajudannya mengabadikan gambar setelah itu bergegas menuju masjid. Dalam perbincangan yang intens itu, terlihat betapa ajaran nilai dari kedua orang tuanya begitu membekas bagi pria yang berulang tahun setiap 11 November itu. Simak saja statemen penutupnya. Tak ada yang tiba-tiba bagi calon pemimpin. Keterampilan, kecakapan dan relasi sertai ikhtiar yang kuat sebagai modal seorang pemimpin hanya bisa diperoleh saat menjalani kehidupan. Semua itu bukan salinan genetika.

Longki ingin mengingatkan, ketika takdirnya membawanya pada karir kehidupan tertinggi, itu adalah ikhtiar dalam bentangan hidup yang panjang. Dan sama sekali bukan warisan trah raja-raja dari orang-orang terdahulunya.

Ya, menjadi pemimpin memang bukan salinan genetika.

 

JEJAK LONGKI DI POROS SADAUNTA – DANAU LINDU

Menjelang purna, Longki belum kehilangan respek dari warganya. 72 jam menuju hari terakhir sebagai Gubernur Sulteng, dari ketinggian 1.000 mdpl, di tepi Danau Lindu, Desa Tomado – Sigi, Sudarman (50) memberi kesaksian terhadap sosok Gubernur Sulteng ke-12 ini. Di era Gubernur Longki Djanggola, ia dan warga di sana, pernah merasakan wajah ramah negara menyapa kehidupan mereka. Puluhan tahun menyusur jalan setapak. Mengandalkan kuda untuk mobilitas barang. Dan kendaraan roda untuk angkutan orang. Kini akhirnya mereka bisa mengangkut barang dan orang secara bersamaan dengan kendaraan roda empat. Mobil akhirnya mengambil peran hewan yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung mobilisasi logistik ke desa-desa di sekitar Danau Lindu.

Pelebaran jalan Sadaunta menuju Danau Lindu sepanjang kurang lebih 19 kilometer, dilakukan pada tahun 2012. Gempa bumi yang terjadi 18 Agustus 2012, mendorong Gubernur Longki Djanggola membuka akses ke wilayah terpencil ini. Sudarman mengenang, ratusan paket bantuan tertahan di mulut jalan menuju Danau Lindu. Warga yang butuh makanan namun terhambat oleh akses masuk. Longki berani mempertaruhkan jabatannya untuk membuka jalan yang berada di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.

Memang katanya, kondisi jalan kini belum ideal. Tapi itu jauh lebih baik jika dibandingkan saat sebelum tahun 2012 yang masih jalan setapak. “Terimakasih Pak. Kami akan mengingat ini,” katanya.

Kini, pada usia yang tak muda lagi. Pada jenjang karir politik terbaiknya, sepanjang obrolan yang hangat dan intens, Longki tak henti mengulang peran kedua orang tuanya yang menanamkan disiplin dan tanggungjawab dengan ketat. ”Ayah dan ibu mengajarkan nilai-nilai dalam setiap kisah kehidupan kami. Bahkan saat kisah itu tidak indah atau sempurna.***

 

Penulis: Amanda
Foto-Foto: Amanda, Humas Pemprov Sulteng.

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

1 Komentar

  • Tulisan yang menginspirasi bejalan seperti air bening yang mengalir di pengunungan sejuk tanpa tercemar, alami. Thanks Roemah Kata dan penulisnya Amanda/Yardin Hasan. Terima kasih sudah mencatat perjalanan karir dan kerja keras Longki Djanggola membangun negeri dimana kami belajar, bekerja dan berupaya mendapat penghidupan untuk keluarga kami. Terima kasih pengabdianmu pak Longki Djanggola. Semua pegandianmu bukan hanya dikenang tapi dicatat jejak sejarah.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: