Ibu Maemunah, Meniti Bentangan Zaman dengan Kesederhanaan

SOSOK SEDERHANA - Ibu Hj Maemunah Djojomparaga Lamantinggu, semasa hidupnya terus mencerminkan aura kesederhanaan. (foto: dok keluarga)

PADA akhirnya, bukan tahun-tahun dalam hidupmu yang dihitung. Melainkan kehidupan di tahun- tahun itu yang akan dihitung dan diingat. Ingatan itu adalah tentang jerih lelah seorang perempuan sederhana yang menjelma menjadi perempuan kuat. Seorang perempuan yang bekerja dikesunyian.

Membesarkan, mendidik delapan anak dan mendampingi suami – di tengah situasi yang tak selalu menguntungkan. Kesan itu yang terpahat kokoh dalam benak putra ketiga almarhumah, Kamil Badrun AR. Dengan intensi yang kuat, Kamil menyampaikan kenangannya tentang sosok ibunda tercinta. Tentang bagaimana pengabdian tulus seorang ibu dalam kehidupan sosial, maupun sebagai istri dan sebagai ibu dari anak-anak, di depan jamaah perkabungan – Sabtu, 27 November 2021.

Maemunah Djojomparaga Lamatinggu, lahir di desa kecil Pakuli – Sigi, 14 April 1940. Sebuah desa kecil sederhana yang berjarak sekitar 40 kilometer arah selatan Kota Palu. Kesederhanaan alam Desa Pakuli – yang dikelilingi vetegasi lebat kala itu – ikut membentuk karakter seorang Maemuna muda yang 81 tahun kemudian, di depan jamaah duka dikenang oleh anak-anaknya sebagai seorang sosok perempuan kuat. Dengan kesederhanaannya mampu mendidik delapan anaknya dengan standar moral yang tinggi serta nilai-nilai agama yang kuat.

Mengutip buku biografi, Jejak Sang Kusir Dokar (Rahmat Bakri, 2014), Maemunah sejak kecil adalah perempuan yang lembut dan sederhana. Dan taat menjalankan nilai-nilai agama. Dua hal itulah, kesederhanaan dan kelembutan menjadi modal penting – hingga ia sukses mengarungi bentangan zaman selama delapan dekade.

Maemunah menjalani kehidupan sosial sebagai perempuan dan ibu di masyarakat. Ia mendidik anak-anak, mendampingi suami Badrun Dg Ngalle (alm) sebagai seorang wartawan tulen dimasanya. Maemunah pun menaruh harapan besar, kelak anak-anaknya menggapai sukses pada kehidupannya kelak. Maka ia menghabiskan hari-harinya mendampingi dan memastikan anak-anaknya memperoleh pendidikan yang baik.

Ada harapan yang tersembul di sana. Bahwa masa depan nan cerah senantiasa terbentang indah untuk mereka yang berikhtiar di jalur pendidikan formal. Maka, sebagai bentuk kecintaan sekaligus pengorbanan untuk memperjuangkan tempat terbaik bagi masa depan anak-anaknya, almarhum ikhlas melepas perhiasan emas yang selama ini terkunci rapi di lemari keluarga.

Tak butuh waktu panjang bagi seorang Maemunah melepas perhiasan berharganya itu. Itu semua dilakukannya dengan harapan anak-anaknya bisa mengklaim satu tempat terbaik di masa depannya kelak. Muncul semburat kecewa ketika putra ketiganya itu, memilih keluar dari pendidikannya dan memilih menjadi wartawan – (Jejak Sang Kusir Dokar, hal 27).

Sebagai ibu, almarhumah dengan sikap moderatnya memberi jalan kebebasan bagi anak-anaknya untuk memilih sesuai pilihan masing-masing. Hingga akhirnya, walaupun emas sudah terjual, ia tetap merelakan putra ketiganya itu dengan pilihannya menekuni profesi sebagai kuli kata.

Soal sosok almarhumah digambarkan dengan sangat detail oleh Kamil Badrun di depan jamaah perkabungan yang dihadiri para tokoh. Antara lain, Gubernur Sulteng, Rusdi Mastura, mantan Gubernur Sulteng Longki Djanggola dan para tokoh masyarakat setempat. Almarhumah sebutnya, adalah sosok yang mewakafkan dirinya untuk mengurus delapan anak-anaknya dengan telaten – hingga akhirnya anak-anaknya bisa mencapai seperti yang terlihat sekarang ini.

”Saya bangga menjadi anak dari seorang ibu seperti almarhumah,” ungkap Kamil polos. Dibatasi oleh kehidupan keseharian yang jauh dari cukup, almarhum ibunya tetap mampu menghadirkan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya. Mereka tak kehilangan perhatian dan ajaran nilai tentang kehidupan.

Puluhan tahun bersama almarhum, aku Kamil, ia mendapat warisan nilai sarat makna tentang banyak hal soal kehidupan. Sebuah legasi yang menurut dia, relevan dipedomani pada kehidupan kini yang mensyaratkan kompetisi hidup yang keras. Nilai-nilai itu adalah, kesederhanaan dan perjuangan pantang menyerah. ”Dalam diamnya beliau berjuang untuk menghadirkan yang terbaik bagi kami anak-anaknya,” bebernya.

Di mata para cucunya, sang nenek tak hanya sosok yang baik dengan kepribadian yang memesona. Almarhumah juga meninggalkan legasi yang tak ternilai bagi mereka para cucu dan cicit. Nilai-nilai yang ditanamkan itu, seolah tak lekang oleh gerusan waktu – bahkan tetap relevan di tengah zaman dengan kompetisi hidup yang makin keras dan garang.

Fitra Kemalasari (26), adalah salah satu cucu almarhumah yang merasa kehilangan dengan sosok kharismatik itu. Dirundung duka mendalam, dokter muda ini masih bersedia berbagi cerita tentang sosok nenek yang semasa hidupnya memberikan atensi besar pada tumbuh kembang mereka.

TABUR BUNGA DI PUSARA – Cucu Almarhumah, Fica Nilamsari, Fitra Kemalasari dan Poetri Islamiati menabur kembang di atas pusara nenek tercinta, di pekuburan keluarga – Kelurahan Palupi, Sabtu 27 November 2021 – (foto: wahono)

”Nenek itu sosok yang istimewa. Sangat istimewa,” ucap ibu dua anak ini. Selama hidup, Nona demikian ia akrabi, merasa sang nenek pantas dijadikan panutan. Terutama adalah soal kesabarannya. Itu adalah karakter yang tidak gampang, terlebih disituasi yang serba instan seperti sekarang ini. Pun dalam hal menjalankan kewajiban agama. Nona bilang, pada setiap kesempatan neneknya selalu berpesan, sesibuk apa pun kehidupanmu, jangan pernah mengabaikan salat lima waktu. Tidak ada tawar menawar untuk hal yang satu ini.

Satu lagi, kesan kuat dari neneknya adalah karakternya yang inklusif. Berangkat dari kehidupan tradisional konvensional, nenek dengan 20 cucu dan enam cicit ini, dalam kesehariannya ternyata sangat terbuka pada isu-isu keberagaman. Hari-hari ini, isu keberagaman seolah menjadi narasi wajib bagi setiap orang.

Mereka yang tidak familiar pada isu-isu keberagaman dengan mudah mendapat stempel sebagai kelompok ekstrim radikal. Saat manusia Indonesia di era digital ini, baru belajar melafalkan keberagaman, sang nenek bahkan sudah menjadikannya sebagai bagian dari kehidupannya selama puluhan tahun.

Nona meneruskan, banyak contoh kecil dalam kehidupan neneknya – betapa sosok yang dikaguminya itu sangat terbuka pada perbedaan. Misalnya, saat hari raya neneknya berinisiatif datang ke rumah Oma (nenek sebelah ibu) – seorang pemeluk Kristen taat untuk silaturahmi. Di sana mereka bercengkerama soal banyak hal. Relasi yang terjalin antar keduanya berjalan sangat natural.

Sama sekali tidak terlihat sekat pemisah hanya karena perbedaan keyakinan di antara keduanya. Ia melihat hubungan kekerabatan yang alami. Sekali lagi sang nenek katanya mewariskan norma tak ternilai. Menempatkan hubungan kekerabatan di atas sekat-sekat sektarian. ”Untuk yang satu ini, saya salut sama nenek. Tidak semua orang bisa seperti itu. Bagi saya ini pelajaran penting untuk kehidupan sehari-hari,” pungkas Nona kagum.

Tak ada yang abadi di alam fana ini. Begitu juga dengan kehidupan. Maemunah Djojomparaga Lamatinggu, menyudahi petualangannya yang panjang selama 81 tahun menjalankan misi pengabdian di bumi fana ini. Disaksikan anak-anaknya dan cucu-cucunya, Jumat 26 November 2021, Maemunah menyelesaikan kehidupannya yang sederhana dan bersahaja untuk menemui penciptannya. Ia pergi menyusul kekasih hatinya, Badrun Dg Ngalle yang mendahuluinya pada 2007 silam. Kini, keduanya terbaring di pusara yang bersisian.

Sosoknya telah tiada. Namun ia telah meletakkan nilai-nilai sebagai pondasi yang kuat bagi orang-orang yang akan menjalani kehidupan berikutnya. Nilai-nilai itu tak akan usang dikerat jaman. Sebaliknya, ia tetap relevan untuk menghadapi persaingan kehidupan yang keras dan saling memangsa.

Doa-doa dari orang-orang yang kau tinggalkan, anak-anakmu, cucu-cucumu dan handai taulan terus berkumandang mengiringi perjalanan berikutnya menemui penciptamu – Rabbul Izzati.

Alfatiha. ***

Penulis      : Amanda
Foto-foto   : Wahono & dok keluarga

Tinggalkan Balasan