PAGI itu 20 tahun lalu, matahari baru beranjak naik. Sebagian sinarnya menelusup di sela dedaunan. Jalan Trans Sulawesi di Desa Kasiguncu – Poso, tampak lengang. Suasana di jalur yang menjadi rantai distribusi pangan pokok itu terasa sunyi. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Semesta seolah ingin mengabarkan tentang relasi kemanusiaan di kawasan itu sedang di titik terendah. Dan angkara murka seolah sedang menanjak menuju titik kulminasinya.
Ibu Sarino berdiri mematung di sana. Pandangannya menatap jauh hingga ujung gang, yang sejak tiga tahun lalu tak lagi diakrabinya. Hatinya was-was. Jantungnya berdegub kencang. Langkah kakinya terasa berat melangkah ke mulut gang tempat para sekondannya dulu berada. Ia masih berdiri kaku di sana. Kibasan angin dari kendaraan menggoyahkan keseimbangan bakul berisi ikan sebesar betis orang dewasa yang bertenggar anggun di kepalanya.
Di tengah kebimbangannya itu, tiba-tiba ada suara memanggil. Ia tak bisa memastikan pemilik suara itu. Tapi panggilan itu mengendurkan kekalutannya. ”Mama Fina, mama Fina mari kesini, mari kesini,” teriak suara itu. Mendengar nama anak perempuannya disebut, ia menoleh kearah suara itu. Namun ia masih ragu. Setelah yakin, ia segera mengayun kakinya menuju beranda tempat suara nyaring berasal, sambil memegang erat bakul yang mulai oleng.
Sejurus kemudian ia sudah berada di beranda rumah. Pada posisi yang nyaris tak berjarak, mereka sambil memandang. Seketika pelukan yang diselingi isak tangis memecah suasana pagi di beranda rumah dinding papan itu. Bakul berisi ikan tak lagi dihiraukannya. Suara-suara yang memintanya untuk terus berjualan terus bergantian dari ibu-ibu yang mengerubunginya. ”Sejak Mama Fina tidak jualan. Kitorang tidak lagi makan ikan. Mama Fina jualan terus saja,” begitu terus suara yang didengarnya.
Seketika, tetangga-tetangga datang berkerumun memeluk erat Ibu Sarino, seorang penjual ikan asal Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir – Poso. Isak tangis dan pelukan hangat diselingi dengan saling menanyakan kabar masing-masing mengisi episode reuni pagi yang indah itu. Saat pulang, bakul yang berisi ikan berganti dengan aneka hasil kebun. Pisang, ketela dan aneka sayur, disamping segepok uang hasil jualan ikan.
Pertemuan pagi itu juga, menjadi awal yang kemudian menghangatkan kembali relasi kemanusiaan warga Desa Tokorondo, Pindedapa, Kasiguncu hingga Desa Mapane, tempat dimana Ibu Sarino membawa bakul berisi ikan dari nelayan di desanya. Ketika konflik belum terjadi, Ibu Sarino saban pagi menjajakan ikan untuk melengkapi protein di meja makan sebagian warga di Desa Kasiguncu dan sekitarnya. Tapi konflik jilid 1 yang meletup pada 1998 dilanjutkan konflik jilid 2, pada 2000, membuat Ibu Sarino berhenti total.
KEBUDAYAAN LAUT UNTUK PERDAMAIAN
Sabtu 26 Agustus lalu, belasan remaja peserta Jelajah Budaya, menapaktilasi perjalanan Ibu Sarino di Desa Kasiguncu. Misi napak tilas kali ini tak sekadar mengenang jerih lelah seorang Ibu Sarino menjajakan hasil melaut nelayan, baik sebelum dan sesudah kerusuhan Poso. Tapi perjalanan itu adalah mencoba menyerap dan menangkap kembali makna ribuan langkah Ibu Sarino membawa ikan di bakul, menyusuri lorong, menyapa hangat warga di Desa Kasiguncu, Pinedapa hingga Desa Mapane.
Maka usai perjalanan menyusuri lorong-lorong desa di pagi cerah itu, di halaman rumah warga yang tak berpenghuni, Ibu Sarino menceritakan peristiwa yang terus diingatnya hingga kini. ”Saya berdiri di situ,” katanya menunjuk mulut gang. Ia menunjuk titik pertama, ketika ia berdiri linglung pada 20 tahun lalu. Atau tiga tahun pascakerusuhan kedua yang mengubah lanskap hubungan manusia beda iman, beda ras di negeri penghasil eboni itu.
Hingga saat ini, ucap ibu enam anak ini hubungan dirinya dengan pelanggan setianya tak semata relasi komersial antara produsen/pemasok barang dengan konsumen. Hubungannya makin kuat dan dalam. Ia bahkan ikut menyeduh kopi atau teh sendiri dan menikmati kudapan yang tersedia. Tak jarang, jika pelanggannya tak cukup uang, cukup dibayar sebagian nanti dilunasi keesokan harinya. Atau cukup dibarter dengan, entah beras atau bahan sembako lainnya. Kedekatan sisi emosional yang begitu dalam, tak jarang ia pun ikut membersihkan ikan jika pelanggannya kebetulan sibuk. ”Ngana tidak sibuk, atau tidak capat capat pulang. Ngana bersihkan dulu itu ikan,” perintah tuan rumah itu pun sontak dikerjakannya.
Saat Ibu Sarino dan peserta Jelajah Budaya menyambangi rumah seorang nenek renta, suasana akrab langsung terlihat. Usai meletakkan bakul di atas meja, Ibu Sarino nyelonong ke dapur. Melihat itu, Sang Nenek bilang, ”kita so baku sayang skali,”. Ia terkekeh sambil terus mengamati bakul berisi ikan.
Ibu Sarino menceritakan, ia memutuskan jualan ikan karena tidak betah di pengungsian. Ikan hasil melaut teronggok begitu saja tidak bisa dijual. Jika bertahan di pengungsian, tidak ada uang, bahan makanan pun sulit didapat. Pilihannya adalah kembali dari pengungsian dan menjalani profesi lamanya. ”Saya beranikan diri jualan ke Kasiguncu. ,” katanya. Saat ia sedang bertukar kabar di beranda rumah di Kasiguncu, di sana di rumahnya yang berjarak seperempat jam perjalanan motor ke Desa Kasiguncu, kerabatnya khawatir akan terjadi apa-apa. ”Pas pulang, dorang liat saya dari jauh, langsung senang bisa pulang selamat,” katanya tersenyum. Sejak itu, sampai hari ini terus berjualan. Hubungan yang sempat putus tersambung dengan relasi yang makin berkulitas.
Sore harinya, Ibu Sarino menjadi pembicara utama pada talk show yang diikuti ratusan remaja dan tokoh agama Kristen di Balai Desa Tokorondo. Menjawab pertanyaan Pendeta Riani Sopacua tentang hasil menjual ikan selama 20 tahun, Ibu Sarino mengaku hasilnya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai tangan kedua, ia mengambil untung sebesar Rp5.000 setiap ekor yang terjual. Satu ekor ikan berukuran sedang dibeli dari nelayan Rp30 ribu lalu dijual Rp35 ribu per ekor. ”Untung juga pelanggan tidak banyak ba tawar,” katanya tersenyum. Sekali jalan, ia membawa 10 ekor. Rata-rata jualannya ludes. Hasil keuntungan itu masih dipotong ongkos mobil yang mengedrop ia dan kawan-kawannya. Jika sehari bisa menjual 10 ekor, maka keuntungan kotor sebesar Rp50 ribu. Dikurangi lagi dengan ongkos mobil pergi pulang Rp15 ribu. Keuntungan bersih sehari Rp35 ribu. Dari langkah kecil, dengan hasil cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya, tapi dampaknya besar bagi umat dan kehidupan. Begitu Pendeta Yombu Wuri menyimpulkan kisah perjalanan Ibu Sarino.
Talk show yang dipandu Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, inisiator Jelajah Budaya di Desa Tokorondo, berhasil mengulik keengganan Ibu Sarino menggunakan sepeda motor. Menurut dia, jika menggunakan sepeda motor maka ia tak bisa lagi blusukan ke lorong-lorong sempit. Dengan jalan kaki ia masih bisa menembus gang kecil. Di sana ia bisa bercerita secara intim tentang kondisi masing-masing. Seperti yang dilakukannya pada 20 tahun terakhir nyaris tanpa henti. Kecuali jika ada kesibukan lain. Atau nelayan tak punya hasil tangkapan. Dengan menyusuri lorong, ia bisa menembus halaman belakang. Di sana ia mendapati pelanggannya sedang beraktivitas dan terlibat pembicaraan apa saja. Kualitas pertemuan yang tak sekadar relasi komersil antara pembeli dan penjual.
Ibu Sarino tanpa disadarinya telah melakukan sesuatu yang jauh melampaui apa yang bisa dilakukan oleh para pihak dengan otoritas tertinggi. Ibu Sarino menjadi penambal lubang yang menganga yang tinggalkan para pihak yang dengan kewenangan bejibun asyik berebut daging lezat di sekitar dana jadup dan bedup. Dana jaminan hidup (jadup) dan bekal hidup (bedup) adalah dua komponen pembiayaan dari negara untuk penyintas – yang dalam perjalanannya justru mengirim para elit menghuni ruang dingin penjara.
Melalui kebudayaan laut yang dilakoninya, Ibu Sarino berperan menguatkan kembali perisai kasih yang terkoyak. Reuni kecil pagi pada 20 tahun lalu itu, pantas dicatat dan dikenang oleh orang-orang hari ini. Sayang, sejarah arus utama selalu buram pada orang-orang macam dia. Ibu Sarino mungkin hanya tercatat di pinggir-pinggir sejarah. Tapi tidak bagi para pelanggannya. Ia adalah sosok penyampai pesan damai. Dengan energinya, dengan nurani keibuan yang bening berhasil menembus sisi terdalam ruang kemanusiaan mereka.
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda