KEHADIRAN delegasi Pemerintah Indonesia pada Conference of the Parties ke-30 (COP30) UNFCCC di Belem, Brasil, menuai kecaman keras. Alih-alih mengusung agenda lingkungan yang progresif, Pemerintah dituding lebih fokus pada skema perdagangan karbon dan mengambil peran sebagai “Janitor for the North” atau petugas kebersihan emisi bagi negara-negara maju.
Kritik ini disampaikan oleh Richard Labiro, Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia gagal membawa agenda bersih dan hijau, melainkan lebih mempromosikan diri sebagai pembersih sambil menyangkal kerusakan lingkungan akut dan eksploitasi yang didorong oleh negara-negara Utara.
Di ibu kota Brasil, perwakilan Indonesia berupaya memimpin narasi Global South dalam isu karbon dunia dengan menawarkan empat agenda utama, Climate Finance (menyoroti skema modalitas perdagangan karbon), Nature (menampilkan peran alam dalam mitigasi), Technology (inovasi rendah karbon), dan Implementation (aksi nyata).
Puncak dari upaya ini adalah rencana Indonesia untuk menggelar forum Seller Meets Buyer, yang menempatkan negara ini sebagai fasilitator utama dalam jual-beli karbon di bumi pertiwi. Inilah yang menjadi pangkal kritik utama.
Ambisi Uang Karbon Melampaui Perlindungan
Menurut kritik tersebut, ambisi Pemerintah Indonesia bukan terletak pada perlindungan hutan dan lingkungan hidup, melainkan pada uang. Indonesia berkeinginan kuat menjadi pemimpin perdagangan karbon di Global South, meyakinkan para pengusaha dan negara-negara kapitalis bahwa mereka mampu memfasilitasi perputaran modal di tengah tingginya deforestasi akibat bisnis ekstraktif.
Fokus ini dinilai jauh dari kebutuhan mendesak perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, di mana pendanaan iklim global kini semakin bergantung pada modal swasta alih-alih bantuan publik. Proyek adaptasi terhadap efek iklim di wilayah pesisir pun seringkali berujung pada relokasi paksa penduduk akibat pembangunan infrastruktur.
Skema ini pada dasarnya menciptakan kondisi di mana Indonesia secara sengaja memindahkan tanggung jawab pengurangan emisi dari negara-negara maju (Global North) ke negara-negara yang berpotensi menyerap karbon (Global South).
Memicu ‘Enclosure’ dan Konflik Agraria
Konsekuensi terberat dari peran “Janitor for the North” adalah terjadinya enclosure atau pematokan. Kritik ini menyebut bahwa Indonesia secara struktural bertugas untuk “membersihkan” dan “menyerap” emisi yang dihasilkan oleh aktivitas industri padat dan konsumsi berlebihan di negara Utara. Ironisnya, aktivitas bisnis ekstraksi—yang seringkali dibiayai oleh bank asing dari negara maju—justru menjadi penyebab utama kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan di Indonesia.
Menurut Labiro, penerima manfaat sebenarnya dari dagang karbon ini adalah negara kapitalis maju. “Mereka yang mengotori, Indonesia yang membersihkan.”
Untuk memprioritaskan perlindungan hutan demi skema karbon, pemerintah cenderung meningkatkan status perlindungan tinggi seperti Taman Nasional dan Hutan Konservasi. Pemasangan patok-patok batas (enclosure) ini menjadi momok bagi masyarakat tradisional. Pemukim yang telah lama berada di kawasan hutan akan dianggap sebagai pengganggu dan berpotensi diusir paksa dari tanah leluhur mereka.
Penertiban kawasan hutan ini, bahkan melibatkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) bersama TNI, yang seringkali menargetkan masyarakat adat, peladang, atau pekebun dengan label negatif sebagai “perambah hutan.”
Pada akhirnya, peran Janitor for the North ini diyakini tidak membawa isu perlindungan lingkungan yang nyata, tetapi justru memicu konflik agraria berkepanjangan. Misi Pemerintah Indonesia di COP30 Brasil dinilai condong pada aspek uang ketimbang perlindungan masyarakat dan lingkungan secara progresif. ***
Rilis: Yayasan Tanah Merdeka
Penyunting: Yardin H
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak




