Bencana 2018

Kembalinya Siomay Pak Tono

JUALAN LARIS - Prayetno melewati hari-harinya di pengungsian pascalikuefaksi yang menelan mentah-mentah rumah tinggalnya.

PALU – Usai meletakkan siomay di atas gerobak depan tenda pengungsian, Prayetno menaruh helm di sadel motor. Ia kemudian menata siomay-siomay itu ke dalam wadah, menuangkan dengan air panas dan kemudian menutupnya kembali.

Sambil menunggu pembeli, Prayetno meminta Wiwit, anakknya, ke luar dari tenda. Berdua mereka duduk di dekat gerobak siomay, mengobrol soal hunian sementara yang sebentar lagi akan mereka huni.
Tak cukup lama menunggu, satu-persatu pembeli mulai datang. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang tinggal di tenda pengungsian karena terdampak bencana 28 September lalu.

Siomay milik Prayetno menjadi jajanan terlaris di kawasan pengungsian Balaroa yang dihuni sekitar 225 Kepala Keluarga. Begitulah Tono, panggilan Prayetno melewati hari-harinya di pengungsian pascalikuefaksi yang menelan mentah-mentah rumah tinggalnya.

Tak ada barang yang tersisa dari rumahnya yang sudah hilang tersebut, kecuali sepeda motor yang kini digunakannya untuk berjualan siomay. Sepeda motor itu utuh karena saat kejadian, Tono sedang mengantar istrinya ke dokter untuk berobat. Wiwit, anak semata wayangnya bisa selamat setelah keluar dari rumah dan lari ke tempat yang aman.

Bocahnya yang duduk di bank SMP itu sempat menyaksikan bagaimana bumi menelan rumah tinggalnya.
Tono berjualan satu bulan setelah bencana. “Daripada mengharap bantuan yang tidak tentu datangnya, mending buka kembali usaha siomay,” ujar Tono yang sebelum bencana itu telah melakoni pekerjaan menjual siomay keliling.

Tono mengaku, berada di tenda pengungsian menjadi sebuah perjuangan hidup tersendiri. Bagaimana tidak, fasilitas yang tersedia sangat terbatas. Air bersih kurang, tempat jamban kurang, panas, kemasukan air jika hujan turun, dan juga makanan yang terbatas.

Ditempa oleh kerasnya perjuangan hidup sebulan pascabencana di tenda pengungsian itu, Tono lalu tersadar, menjadi korban bencana tidak berarti seluruh hidup harus digantungkan pada datangnya bantuan.

“Iya kalau bantuan datang, nah kalau tidak datang, mau makan apa.?” ujarnya. Karena itu, dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Tono memberanikan diri kembali merintis pekerjaan dulunya. Ia kembali ke bekas-bekas reruntuhan rumahnya dan mengambil barang-barang bekas. Ternyata kotak siomai yang biasa dipakai berjualan, masih utuh.

Kebetulan pula rumah keluarga istri Tono, tidak terdampak parah. Rumah yang terletak dekat pengungsian itu menjadi tempat untuk mempersiapkan bahan-bahan siomai termasuk membuat gerobak.
Gayung bersambut, masih ada uang ratusan ribu yang tersisa sebagai modal usaha. Jadilah pekerjaan menjual siomay dilakoni kembali.

Selain berjualan keliling dengan sepeda motor, istri dan anak Tono pun berjualan siomai di depan tenda. “Lumayanlah untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkapnya.

Tono hanyalah segelintir orang yang mampu bangkit kembali dari keterpurukan akibat bencana. Ia menyadari, hidup harus terus bergerak dan tidak berlama-lama dalam duka. “Palu Bangkit jangan cuma jadi slogan,” katanya mantap. ***

Reporter: Basri Marzuki
Editor: Ika Ningtyas

artikel ini adalah republikasi dari web kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan