PALU – Lima bulan bencana berlalu, persoalan yang dihadapi pengungsi di tenda tenda pengungsian kian memprihatinkan. Tenda sumbangan relawan yang ditempati pengungsi mulai lapuk dimakan waktu. Sementara, kepastian untuk pindah di tempat tinggal yang lebih manusiawi tak kunjung menemui kejelasan.
Ibu Endah (35), adalah salah satu pengungsi yang tinggal di tenda shelter Telkom, Jalan Thamrin Palu Timur. Ibu Endah yang bersama bayinya berusia dua bulan, bercerita betapa susahnya jika hujan deras mengguyur Kota Palu seperti yang terjadi beberapa hari lalu.
Tak hanya menyelamatkan bayinya agar tidak terkena hujan, ia juga harus memastikan dua anaknya tidak ikut basah. Kemudian ia juga harus menyelamatkan agar peralatan pakaian bayi dan tempat tidur mereka tidak basah. Namun saat hujan yang mengucur tak kenal ampun di malam buta semua perabotan bayi dan alas tidur tidak yang bisa diselamatkan. Basah semua.
Endah menceritakan, saat hujan, ia terus menggendong anak bayinya, sambil terus menerus bergeser menghindari air yang terus mengucur deras dari atas tenda. Semakin lama aliran kucuran air dari atap tenda makin deras. Ternyata, lubangnya banyak. Sementara dari bawah, air mulai merembes menyerbu alas tidur.
Hujan yang berlangsung hingga pukul 03.30 dinihari, membuat perabotan di dalam tenda basah semua. ”Basah semua Pak, yang kami selamatkan anak-anak biar tidak basah kena hujan dan genangan air yang masuk ke tenda,” ujarnya.
Suaminya ungkap Endah, tidak bisa membantu untuk menyelamatkan perabotan. Atau membawa mereka, mencari naungan untuk berteduh. Suaminya tidak bersama mereka. Saat ini sedang mengerjakan bangunan di Palolo – Kabupaten Sigi.
Dulu, keluarga ini mempunyai kafe di Jalan Komodo yang sudah beranjak maju. Namun, usaha kafenya kini hancur di terjang air bah saat tsunami. Jadilan sang suami banting setir menjadi buruh bangunan. Kurangnya proyek bangunan di dalam kota, ungkap dia membuat suaminya harus mencari kerjaan jauh di luar kota. ”Saat ini lagi di Palolo,” katanya.
Di shelter Telkom setidaknya ada 19 balita. Menurut pengakuan ibu-ibu di lokasi, tak semua anak-anak itu bisa mendapatkan susu yang cukup. ”Kadang anak-anak di sini, kalau tidak ada susu, tinggal minum air gula,” ungkap salah seorang ibu.
Di sini, terdapat sekitar 51 Kepala Keluarga (KK) atau 185 jiwa. Mereka berdiam di 43 tenda. Lansia 9 orang, kemudian ada 19 orang Balita, dan ibu hamil 4 orang. Wakil Koordinatir Lapangan Pengunsi Selter Telkom, Afriani (35) menuturkan sejak gempa, mereka tinggal di lapangan Vatulemo. Kemudian pemerintah memindahkan mereka ke lapangan Telkom.
Ia berharap, mereka segera mendapat hunian baru di huntara. Ia mendengar lagi, mereka akan dipindahkan ke lapangan di Jalan S Parman. ”Itu artinya kami masih dari tenda ke tenda.
Inginnya ada tempat yang layak seperti huntara,” pintanya. Pihak kelurahan sendiri aku Afriani belum memberikan jaminan huntara yang siap mereka tempati. Ia dan kawan-kawannya tidak keberatan jika akhirnya harus dipindah ke huntara di wilayah Kelurahan Tondo atau Layana. ”Tidak ada masalah, asalkan ada tempat tinggal,” katanya lagi.
Penulis+Foto: Shandy Aulia
Editor: Yardin Hasan