Seni Budaya

Konser Panen Rindu, Sebuah Momentum Kilas Balik

KONSER PANEN RINDU - Plisit Band tampil membawakan 16 lagu di panggung Konser Panen Rindu, Sabtu 4 Februari 2023

BERTAJUK Panen Rindu, konser yang menandai 32 tahun perjalanan Plisit Band sukses menghadirkan kembali kenangan tempo dulu. Kenangan tentang kehidupan remaja yang penuh warna. Panen Rindu, ikhtiar yang tak hanya untuk mempertemukan, para sahabat maupun orang-orang terbaik selama masa tumbuh kembang mereka. Tapi juga meneguhkan komitmen akan nilai, ide, gagasan mereka dalam bermusik. Bagi personelnya, konser ini adalah ingatan pribadi yang memberi rasa kesinambungan bahwa mereka tetaplah orang-orang yang sama dengan sahabat dan kerabat yang tetap sama. Relasi yang terjalin sangat kuat sejak 32 tahun lalu itu langgeng hingga hari ini.

Premis ini sepertinya menemukan kebenarannya. Pasalnya, tak satupun di antara sekitar 200-an penonton yang memadati Khans Studio, Sabtu 4 Februari 2023, malam itu, yang tak mengenal satu sama lain. Jika ada satu – dua penonton yang tampak manyun – itu adalah para gadis generasi kedua dari Kawan Plisit. Mereka ini sesekali menyembunyikan wajah di balik ketiak emaknya – saat orang tuanya asyik ber haha-hihi dengan para sekondannya. Beberapa lainnya yang didekati juga punya gestur yang sama. Mereka enggan berbicara soal kedatangannya di konser itu. Konser Panen Rindu, memang bukan untuk second generation Kawan Plisit. Melainkan untuk kawan yang sejak dulu baku jaga dan sesekali baku nakodirara dalam urusan perkawanan.

Molor setengah jam lebih dari rencana awal, penonton terlebih dahulu disuguhi deskripsi tentang perjalanan panjang band ini. Lalu dilanjutkan menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya tiga stanza. Konser benar-benar dimulai pukul 21.36 wita ditandai dengan lagu Matahari. Lagu ini sarat dengan pesan optimisme. Seperti halnya matahari yang tak berhenti memberi sinarnya bagi kehidupan. Begitulah Plisit mengajak penontonnya malam itu untuk tak berhenti menebar benih optimisme. Enam belas lagu mengalir tanpa jeda dalam konser berdurasi 120-an menit tersebut, ditambah dengan medley di lagu kelima, membuat malam minggu serasa menjadi momentum kilas balik. Musikalitas dan lirik, membawa penonton hanyut pada melodi khas 90-an. Benar-benar menjadi momentum untuk mengucapkan selamat datang kembali pada masa lalu.

Vokalis Abdi Iskandar melalui lirik-lirik lagunya sukses menghadirkan kembali cerita, nuansa dan atmosfer remaja kala itu yang dalam proses pencarian jati diri, cenderung melampaui batas dan menabrak tabu. Tapi kenakalan-kenakalan khas remaja itu, menjadi tersamar dalam musikalisasi yang apik oleh Adi Tangkilisan dan Rian Panintjo (gitar), Rival Himran (bass) serta Andri Lawido (drum). Konser mampu menerjemahkan suasana yang penuh romansa khas 90-an seperti dalam lagu, Hanya Bisa Dirasa gubahan mendiang Rifai alias Just Pay. Atau, Kau Tak Sendiri – pesan tentang bagaimana perkoncoan harus dirawat. Lagu Tak Dibawa Mati dipilih sebagai pamungkas dalam konser yang dihadiri 200 -an penonton itu. Liriknya tentang makna hidup. Bahwa tidak yang bisa dibawa jika kelak kehidupan berhenti. Hidup boleh selesai. Tapi legasi akan terus ada. Dia akan tetap hidup di tengah komunitasnya. Dan Plisit Band telah dan sedang menorehkan legasinya – yakni karya yang membentang di tiga dasawarsa lebih. Termasuk legasi soal relasi antarmanusia yang berjalan di atas punggung waktu masih terus terjaga – bahkan hingga di panggung Konser Panen Rindu – malam itu.

HEBOH – Penonton larut dalam lagu-lagu Plisit Band yang khas 90-an, di panggung Konser Panen Rindu, Sabtu 4 Februari 2023

ROMANTISME YANG MELENAKAN

Kesetiaan atau fanatisme yang berlebihan pada masa lalu kadang menutup pintu yang bahkan dalam bahasa ekstrimnya mematikan kreativitas. Musik adalah bahasa universal. Ia mampu menembus batas ruang dan batas waktu. Termasuk mampu menerabas dinding tebal primordialisme. Dan lagu-lagu Plisit Band setidaknya 16 lagu yang dituntaskan malam itu, adalah refleksi yang mengartikulasi suasana kebatinan publik di zamannya. Band ini paham benar. Bahwa, musik tak sekadar alunan nada pengantar tidur. Tapi musik
adalah lingua franca atau basantara – tentang ragam masalah di masyarakat. Maka tak heran suara kritis, suara protes dan pemberontakan hingga romansa, dapat di-eja dengan mudah dalam lagu-lagu mereka. Paket lengkap pokoknya. Panggung Panen Rindu, sepertinya bagi mereka pendamba masa lalu.

Tapi pengalaman batin itu tak berarti seindah dan semenarik bagi beberapa penonton lainnya. Suara protes ikut menggema malam itu, walau kalah oleh hingar bingar suara yang datang dari arah pelantang. Seorang perempuan bersama anak gadisnya tampak blingsatan di tempat duduknya. Ibu ini mengeritik Plisit Band yang menurutnya amat mengagungkan kemampuan bermusik zaman jadulnya – tanpa berusaha relate dengan musik kekinian. Ia lalu menoleh anak semata wayangnya – yang sedari awal tak bisa nyambung dengan karakter musik yang dimainkan. ”Okelah kalo orang-orangnya, mereka keren-keren. Tapi packaging-nya harus up to date lah,” katanya dengan nada tinggi. Ia meminta namanya tak ditulis. ”Tidak enak, Pallo itu teman saya,” katanya sambil menunjuk pria asal Kampung Baru itu.

Ia menyebut lagu Hanya Bisa Dirasa – setidaknya diaransemen dengan telinga kekinian. Jika ada lagu yang relate dengan pasar musik kini, maka akan menjadi pintu masuk bagi generasi sekarang mencari lagu-lagu Plisit lainnya. Ditanya penyebabnya. Dengan enteng ia menyebut. ”Ya itu tadi terlalu merasa indah dengan masa lalu, padahal mood pendengar itu terus berubah,” tekannya dengan intonasi yang agak ditinggikan.

Pernyataan ini mengonfirmasi hasil testimoni dua perempuan abege yang terlihat duduk santai menjelang konser dimulai. Saya sengaja menguntit beberapa abege. Meminta mereka berbicara. Mencoba akrab agar mereka terbuka hingga memperlihatkan id card press untuk meyakinkan mereka agar mengemukakan opininya. Tapi tetap saja mereka enggan – membenamkan wajah di balik bahu emaknya.

Usai konser – saat penonton berebut foto di stage utama, salah seorang perempuan akhirnya bersedia berbagi pengalamannya. Mengenakan kaos Plisit warna hitam, ia menggamit lengan kawannya minta ditemani wawancara. Kaosnya beli sendiri? Ditanya demikian gadis itu menggeleng. ”Dibelikan teman,” katanya pelan. ”Saya kenal Plisit karena dorang itu, temannya mama dan tante saya,” ujar penggemar pelantun Tak Ingin Usai milik Keisya Levronka ini. Pernah lihat konsernya sebelumnya. ”Belum” sahutnya. Pernah dengar lagunya? ”Tidak pernah,” katanya.

Kawannya menimpali. ”Sebenarnya ada lagu yang bagus dicover, tapi lupa judulnya. Tadi ini soundnya juga tidak bagus. Tapi yang saya suka kaosnya,” katanya terkekeh. Oh ya, salah satu catatan minus konser ini adalah adalah pelantang suara yang terasa mengganggu. Artikulasi suara vokalisnya tak terdengar jelas. Beberapa pengunjung juga menilai tata cahaya alias lighting kurang wah – untuk sekelas band dengan pengalaman dan jejak yang panjang.

Irwan Lapatta – Bupati Sigi mengapresiasi talenta muda yang hadir mengisi ruang kreativitas di Kota Palu dan Sulawesi Tengah. Pemerintah harus hadir untuk memudahkan mereka. Tapi semuanya berpulang pada diri musisi itu sendiri. Ruangnya ada. Fasilitasnya diberikan. ”Jadi semuanya kembali berpulang pada diri mereka sendiri,” ujar Irwan mengingatkan. Iwan sendiri termasuk salah satu tokoh yang memberi perhatian lebih pada talenta musik di daerah ini. Dalam catatan penulis, ia selalu hadir pada tiga kesempatan berbeda dimana Adi dkk mentas. Saat konser Plisit Kau Tak Sendiri, April 2021, ia berada di meja VIP hingga acara usai. Saat peluncuran Video Klip Matahari di salah satu cafe, Irwan menjadi salah satu tamu penting di sana. Terakhir, di panggung Konser Panen Rindu, ia bahkan hadir 27 menit sebelum dimulai. Lalu pulang saat Rival dan kawan-kawan membawakan lagu Tak Dibawa Mati – sebagai penanda akhir konser.

Pernyataan Irwan Lapatta dan beberapa sumber anonim di atas ada benarnya. Pada 2021, saat konser yang menandai 30 tahun usia bermusiknya di Palu, bermodal kartu free pas – sebagai pewarta saya mengikuti konsernya waktu itu. Lalu membandingkannya dengan konsernya pada malam minggu itu. Masih sama. Tidak ada pergeseran signifikan kearah usaha untuk memperbesar ceruk penikmat band lawas ini. Penontonnya masih di sekitar inner cricle yang didasari emosi kedekatan. Yakni kedekatan oleh ruang waktu. Mereka berada di ruang waktu yang sama saat SMA. Di ruang waktu yang sama saat kuliah. Pun di ruang waktu yang sama du dunia aktivis. Mereka direkat oleh emosi dan memori yang sama.

Kesamaan-kesamaan selama 32 tahun itu, memaksa mereka memanggil kembali orang-orang yang mengenal dan dikenalnya – bertemu dalam ruang rindu bernama Konser Panen Rindu. Padahal dengan jejak yang telah ditorehkannya, Plisit tak mesti dijebak oleh romantismenya sendiri. Mereka harus berbagi ruang pada generasi kini tentang ide, gagasan dan nilai-nilai yang mereka anut. Nilai-nilai itu pantas disebarkan kepada penerusnya sebagai basis utama melahirkan karya. Misalnya, musik tak semata urusan pasar komersil. Musik juga sebagai instrumen yang efektif untuk advokasi publik – sebagaimana lirik lagu-lagu mereka. Plisit adalah puzzle yang melengkapi cerita panjang sejarah permusikan, berkesenian dan berkebudayaan di kota tercinta ini. Jejaknya pantas dicatat dalam direktori musik di Kota Palu. Sayang jika jejak itu hanya tercatat dalam ingatan orang-orang seangkatannya.

AJANG REUNI – Konser ini menjadi ajang reuni bagi para Kawan Plisit pada Konser Panen Rindu, Sabtu 4 Februari 2023

Menarik untuk menyimak, perspektif tokoh muda Kota Palu, Sudaryano Lamangkona alias Ano. Plisit menurut dia, sebuah komunitas anak muda pada zamannya yang cenderung fokus pada dunia musik dan entertainment. ”Mereka yang saya tau secara komunal juga berusaha menjadi ‘benteng’ dalam memelihara nilai tradisi lokal kota Palu. baik dalam sistem sosial maupun dalam pergaulan di antara mereka sendiri,” ucapnya.

Ano melanjutkan, ini bisa dilihat dalam tagline komunitas mereka Plisit Povia, yang bermakna  melakukan atau berbuat. Diksi ini menurut Ano dimaknai dengan kearifan yang mereka miliki dengan mengeksplore kemampuan personal kearah yang positif. Pada konser Plisit Panen Rindu secara konten mungkin tidak banyak yang berubah dan masih mengusung genre musik 80-90-an dengan muatan lirik terhadap perlawanan, persahabatan, kritik sosial dan romantisme perkawanan dalam sikus kehidupan yang mereka lalui bersama. Hingga kemudian membangun kesadaran dalam kehidupan yang musnah karena kematian.

Ano mencoba membangun premis untuk membenarkan posisi yang diambil Plisit yang terkesan berjarak dengan industri musik yang easy listening dan mudah diingat audiens. Ano bilang, secara komunal, Plisit tidak mendesain dirinya menjadi sebuah group band yang bisa menembus blantika industri musik. Tapi secara personal mereka mampu berada di dalam industri nasional. Ia menyebut Rival ‘Pallo’ Himran yang sudah mengeluarkan beberapa album. Lalu ada Umaryadi ‘Adi’ Tangkilisan bersama bendera Culture Project menembus ketatnya seleksi di Java Jazz, sebuah event musik berkelas dunia. Sisi lain dari konser Plisit adalah mereka membangun nilai sosial yang diintroduksi ke dalam  ikatan persahabatan. Nilai persahabatan ini yang kemudian menjadi sebuah daya tarik yang bisa direplikasi menjadi role model bagi kehidupan anak muda Kota Palu.

Hal menarik lainnya adalah konser Plisit yang menghadirkan warna ekosistem ekonomi kreatif yang terbangun lewat musik dan UMKM. ”Tumbuh dan kembang bersama dalam sebuah bingkai kekerabatan,” begitu Ano mendeskripsikan para penjaja kuliner di malam itu.

Ia berharap, perjalanan panjang Plisit ini bisa ditulis dan dijadikan sebuah karya buku yang menjadi legasi bagi anak muda Kota Palu. ”Jika Plisit gagap mengkreasi musiknya agar akrab pada telinga audiens di jaman generasi titkok – maka mendokumentasikannya melalui buku adalah alternatif berikutnya yang perlu diambil,” begitu Ano bilang sekaligus menutup testimoninya.

Menyimak deskripsi perjalanan band yang menguar dari pelantang, memang agak berat memaksa band ini seperti yang diingini oleh ibu dan dua abege tadi. Milestone yang dicapai itu tidak untuk dibelokan begitu saja demi selera pasar musik generasi kini. Sekali lagi konser ini memang kental dengan urusan perkoncoan. Tentang suasana kebatinan yang sama di masa-masa tempo dulu. Lihat saja, usai dua jam konser. Usai sesi foto-foto di stage utama. Mereka tak langsung pulang. Di pelataran studio, orang-orang mengelompok membincang banyak hal. Mengenang masa lalu. Termasuk tentunya saling bertanya kondisi fisik masing yang makin ringkih dan renta. Saling bertanya anggota keluarga dan lain lain. Konser ini sebenarnya tak semata, antara grup band dan fansnya. Atau antara idola dan lovers-nya. Tapi lebih dari itu. Mereka sadar, liang lahat itu sempit mereka mencoba meluaskannya dengan menjaga silaturahmi. ***

Penulis: Amanda
Foto-foto: Amanda

 

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan