Politik

Melacak Jejak Para Caleg, Berburu Suara dalam Labirin Politik Uang

PEMILIHAN UMUM – Proses pemungutan suara di TPS pada pemilu 14 Februari 2024 lalu

ANGIN tipis berhembus perlahan, mengiringi langkah kecil para jamaah usai menjalankan salat isya di Masjid Jabal Nur. Beberapa jamaah tak langsung pulang ke rumah. Mereka memilih duduk santai di perampatan jalan – salah satu titik paling ramai di Perumahan CPI Kelurahan Talise Valangguni, Sabtu 24 Februari lalu. Mereka asyik membincang konstalasi politik pada malam jelang Pemilu Susulan Ulang (PSU) yang berlangsung di dua tempat, TPS 11 dan 18.  Perbincangan malam itu, didominasi soal siapa yang bakal unggul dan siapa yang bakal terlempar di TPS 18, yang berada di kompleks kediaman mereka. Siapa, partai apa, mendapatkan berapa, akan sangat berpengaruh pada nasib caleg tidak saja di internal partai namun antar antarkandidat di antarpartai. Persaingan tajam di momen kritis itu, tak pelak memaksa para petarung lima tahunan itu berjuang mencari tambahan suara, sekecil dan sesulit apa pun peluang itu.

Tensi pembicaraan malam itu sangat dinamis. Pasalnya sejumlah calon legislatif (caleg) yang bersaing, adalah pemegang KTP di BTN Cipta Pesona Indah (CPI). Salah satu kompleks perumahan dengan pemilih cukup padat. Jarak perolehan suara caleg yang tipis membuat kerumunan jamaah itu, semakin tenggelam dalam keasyikan membincang nasib para politisi yang ditentukan keesokan harinya. ”Selisihnya ada yang 30-an. Bahkan ada yang kurang dari itu,” ungkap Wawan, nama samaran warga BTN CPI yang meminta namanya tidak ditulis detail.

Di tengah keasyikan membincang segala kemungkinan di PSU esok hari, dari kejauhan kilau lampu mobil menyala terang membelah langit. Tak berapa lama, cahaya lampu berubah menjadi mode lampu dekat. Sebuah mobil avanza corak silver muncul dari balik lorong sambil memelankan laju kendaraannya. Berhenti beberapa saat, lalu kemudian berjalan pelan – seperti sedang mengamati sesuatu. Begitu terus hingga berlangsung sekira 10 menit. Wawan dan dua kawannya, menghentikan topik PSU yang menjadi tema cerita sejak sejam lalu. Beberapa saat, pintu bagian kiri terdengar berdebam. Diikuti sosok pria baruh baya menyembul dari pantat mobil. Ia menghampiri Wawan dan dua kawannya. Usai mengucap salam, ia memperkenalkan diri berasal dari sebuah partai besar. Dengan tubuh yang terus membungkuk, ia menyampaikan maksudnya. ”Bapak bapak kira-kira saya bisa dicarikan suara 100 saja di sini. Satu suara 500 ribu rupiah,” ujar pria tersebut dengan intonasi yang direndahkan. ‘‘Komiu ini bawa caleg siapa,” sambar Wawan dengan nada menyelidik. Utusan ini kemudian menyebut salah satu caleg DPR RI.

Salah satu teman Wawan menyela. ”Seratus orang itu banyak Pak. Malam ini cari orang sebanyak itu susah,” balas kawan Wawan. Namun utusan caleg ini masih berkeras. Duapuluan menit berdiskusi. Negosiasi mentok. Tidak ada kesepakatan yang dicapai. Utusan itu kembali memasuki mobilnya. Bersamaan dengan pintu mobil yang tertutup, deru mesin mobil kembali mengaum. Menelusuri lorong. Mencari kerumunan. Mengetuk rumah warga.  Menyasar target berikutnya.  Wawan dan kawannya tak langsung pulang. Mereka terus berbincang soal PSU dan utusan yang gagal negosiasi tadi. Sejam kemudian, utusan lain muncul dari arah yang sama. Utusan ini mengaku berasal salah satu partai besar dengan suara dominan di DPRD Sulteng maupun di DPRD Kabupaten/kota.

Partai ini tak mau kehilangan dominasinya di DPRD Kota Palu dan berhasrat mencengkramkan kuku politiknya lebih dalam di dewan kota. Perolehan suara pada 14 Februari yang digelar bersamaan dengan Valentine Day itu, sepertinya bakal membuat perolehan partai ini tergerus oleh kompetitornya. Pria tegap dengan pembawaan yang tampak sopan itu, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya. Ia menawarkan Rp800 ribu untuk setiap orang yang dipastikan mendatangi TPS besok. ‘’Kami tawarkan Rp800 ribu untuk pilih caleg kami Pak. Kalo bisa jamin uangnya diserahkan sekarang,’’ katanya setengah memaksa.  Seperti utusan yang pertama tadi, Wawan bergeming. Ia tidak tergiur angka wah yang ditawarkan utusan yang terlihat masih terus memaksa itu. Pembicaraan berlangsung sejam lebih. Selama pembicaraan Wawan terus memancing, ingin mengorek banyak hal dari utusan caleg tersebut.

Malam itu juga ungkap Wawan, ia mengitari kompleks perumahan padat penduduk itu. Dia memperoleh informasi, ada utusan dari kandidat lain yang menawarkan Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per orang. Ini terjadi ketika  memasuki subuh hari. ‘’Makin subuh tawaran makin tinggi, ngeri lee,’’ katanya tersenyum. Saat suara tahrim shalat subuh memantul kuat dari pelantang masjid Jabal Nur, seliweran mobil di lorong perumahan masih terlihat. Bahkan tak jarang mobil-mobil yang di dalamnya membawa bergepok uang, berpapasan di persimpangan sempit. Walau saling mengetahui misi masing-masing di malam panjang itu, namun mobil-mobil itu tampak masih bertoleransi dan saling memberi jalan bahkan say hello dengan membuka setengah kaca mobilnya.

UANG DIKEMBALIKAN

Usai berjibaku pada malam harinya, paginya PSU digelar. Utusan caleg was-was, jangan ada dusta di antara kita – begitu judul lagu gubahan musisi Obbie Messakh, menggambarkan transaksi ‘’beli putus’’ antara caleg dan pemilihnya. Para kandidat maupun utusannya itu datang  pada saat perhitungan suara di TPS.  Usai perhitungan suara, ungkap Ramli nama samaran warga BTN CPI lainnya,  ada yang berhasil mendulang tambahan suara signifikan. Namun ada juga yang apes. Jor-joran malam harinya,  tapi hanya mendapatkan tambahan dua suara.  ‘’Halo saya hanya dapat dua suara. Padahal sudah dibayar,’’ begitu ungkapan kesal salah satu kandidat setelah mengetahui perolehana suaranya yang terjun bebas. Ia menelpon, memprotes uang yang sudah melayang tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh. Menurut Ramli, uang itu akhirnya dikembalikan. ‘’Uangnya tidak dipake. Mo dibagi dimana. Kita juga takut nanti ditangkap,’’ katanya. Ditanya kenapa menerima uang sogokan itu, Ramli berkilah ia menerima saja uang tersebut tapi ia meniatkan akan mengembalikan uangnya karena tidak akan membagikannya ke warga. ‘’Tidak enak juga ditolak. Tapi saya tidak bagi, risikonya besar buat saya,’’ katanya.

 

BAWASLU MENERIMA 21 LAPORAN KASUS PEMILU

Ditemui di sela Pleno Rekapitulasi Pemilu 2024, Senin 4 Maret 2024 di KPU Sulteng, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Data dan Informasi, Bawaslu Sulteng, Fadlan mengungkapkan, sejauh ini menerima 11 kasus yang ditemukan dan 21 kasus yang merupakan laporan masyarakat. Dari 11 kasus temuan, 10 telah didafar dan 1 kasus lainnya telah diteruskan pada instansi terkait untuk ditindaklanjuti.  Dalam ini Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Kemudian untuk 21 kasus laporan, 7 di antaranya telah terdaftar di Bawaslu Sulteng  dan 14 sisanya tidak diregistrasi karena tidak memenuhi syarat. Kasus  netralitas ASN sangat dominan. Peristiwanya tersebar di Kabupaten Sigi,  Parigi Moutong, Poso dan Kabupaten Tojo Unauna. Ditanya soal praktik beli suara pada malam PSU, Fadlan mengaku tidak mengetahui. ‘’Saya tidak tahu ada informasi itu. Kalau ada laporan masuk saat kejadian, pasti kita proses,’’ ujarnya meyakinkan.

Maraknya kasus ‘’serangan fajar’’ pada malam PSU maupun malam menjelang pencoblosan, menurut Wawan dan Ramli, adalah tidak tanggapnya Bawaslu dan jajarannya membaca situasi yang terjadi pada momen-momen kritis itu. Jika Bawaslu mempunyai insting pengawasan yang tajam – setidaknya praktek seperti ini bisa dicegah. Misalnya, menyiagakan petugasnya mengawasi pemukiman. Padahal jauh hari Sulteng sudah mendapat ‘’lampu merah’’  dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), sebagai daerah berkatagori sedang untuk politik uang. Praktik politik jalan pintas seperti yang terjadi di malam PSU maupun hari-hari sebelumnya,  menandakan bahwa problem ini menurut dia, memang tidak diurus dengan baik.

Ia melanjutkan, pemilu yang dipengaruhi oleh politik uang menyebabkan para wakil rakyat lebih berpihak pada kepentingan donor finansialnya daripada aspirasi konstituennya. Pascreformasi, Sulteng sudah lima kali menggelar pemilu langsung. Transaksi politik beli putus selalu ada. Dan tanpa disadari politik sogok itu menimbulkan daya rusaknya yang tak kenal ampun.  ***

  • Penulis: Amanda
  • Foto: Henny

 

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan