USAI merasakan sesaknya hidup di tenda, harapan berikutnya adalah bagaimana hidup di hunian sementara (huntara) atau barak pengungsi. Tinggal di ruang berbilik dengan kipas angin dan satu bohlam, tentunya jauh lebih layak daripada di tenda. Harapan ini yang ada dibenak Rosmini (45), saat masih tinggal di tenda yang gerah dan tidur di atas tanah beralaskan tikar seadanya.
Empat bulan disiksa panas di dalam tenda, Rosmini akhirnya menempati huntara setelah sebelumnya sempat putus asa karena penantian yang begitu lama. Sebulan lalu, Rosmini akhirnya menempati 1 unit huntara yang diidamkannya.
Di huntara berukuran sedang itu, Rosmini bersama anak perempuan semata wayangnya. Suaminya ikut hilang tertelan lumpur di Kelurahan Petobo. Hingga kini, sosoknya tak lagi diketahui. Rosmini tak mau jauh-jauh dari anak semata wayangnya. Jika anaknya yang masih berusia kelas 1 SD itu, menghilang sesaat, ia langsung celingukan mencari sang anak.
Rosmini mengaku trauma jika sekejap tak melihat anaknya. ”Cukuplah kehilangan sekali saja. Tinggal dia pengganti sosok bapaknya,” ungkap Rosmini sambil memeluk erat anaknya.
Suaminya adalah pegawai sekretariat di Universitas Tadulako, yang ikut hilang saat peristiwa liquefaksi September setahun lalu. Sepeninggal suami, Rosmini mengaku menutupi biaya hidupnya dengan berjualan nasi kuning di teras huntara. Sehari jika beruntung bisa mendapat 200 ribu. Kadang kurang. Namun, penghasilan itu sungguh membantu untuk menutupi kebutuhan keseharian. Membeli gas, membayar rekening listrik dan kebutuhan dapur serta membayar TV kabel sebesar Rp40 ribu per bulan.
Menurutnya, ia memaksakan diri membeli televisi, karenanya di huntara kadang dihinggapi kebosanan karena tidak ada aktivitas. ”Jadi saya usahakan beli televisi, ini bisa juga untuk hiburan anak dan tetangga di sini,” jelasnya.
Menurutnya dengan masih menerima beras santunan, itu artinya kehidupannya masih terjamin. Beras yang diterima masih bisa dibuat nasi kuning. Tapi Rosmini mengaku tidak tahu jika persediaan beras habis dan bantuan akhirnya betul-betul ditiadakan. ”Pokoknya dijalani dulu. Nanti kedepannya, entahlah belum kepikiran,” katanya.
Sebenarnya, ia sudah berusaha mengurus pensiunan suaminya di Untad. Namun sudah tiga bulan, berkasnya diurus namun tak kunjung beres. ”Sudah tiga bulan tapi entah dimana masalahnya, Koq belum beres-beres juga,” ujarnya agak kesal.
Menurut dia, jika uang pensiunan suaminya bisa keluar maka itu akan sangat membantu untuk keseharian mereka berdua selama di huntara. Ia berhasrat untuk memulai usaha dengan modal sekecil apa pun kelak. Hasrat yang terus diimpikannya bahkan hingga menetap di hunian tetap nanti.
Penulis & foto: Yardin Hasan
artikel ini adalah republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018