Memaknai Moderasi Beragama dari Tradisional Menuju Digital

JUARA 1 - Pemeran dan sutradara film Dakwah In Silende dari UIN Palu berhasil menjadi juara 1 dan membawa pulang hadiah utama sebesar Rp6 juta dan tropi

MEMBUMIKAN islam moderat adalah narasi besar bangsa ini. Moderasi beragama pun makin menemukan momentumnya, tatkala segregasi berbasis agama dan rasial menjadi persoalan yang dalam 77 tahun usia RI, masih menjadi masalah yang belum selesai.

Kementerian Agama menyadari moderasi agama adalah keniscayaan bagi sebuah bangsa seperti Indonesia yang majemuk. Maka, langkah yang dilakukan adalah membangun perspektif moderat di kalangan umat, khususnya generasi muda.

Harapan membumikan islam yang moderat disampaikan Kepala Kantor Kementeria Agama Sulteng, Ulyas Taha, saat membuka Kompetisi Film Pendek Indonesia (KFPI) 2022, pekan lalu di Palu. Islam yang moderat ungkap Ulyas Taha adalah islam yang menghargai perbedaan. Tidak memperuncing perbedaan ras dan agama. Ini syarat mutlak membangun bangsa yang majemuk.

Festival Film Pendek bertema, Ku Syiar Islam dengan Caraku, adalah salah satu cara menguatkan perspektif itu. Lomba ini memberi kesempatan kepada generasi muda menentukan sudut pandang dakwah dengan narasi yang menyejukan, tanpa agitasi. Tanpa meremehkan dan menyalahkan kepercayaan warga bangsa yang lain.

Kemenag juga menyadari audiens dan medan dakwah makin bercorak. Maka pendekatan pun harus berubah. Tidak semata mengandalkan kharisma para tokoh di atas mimbar, untuk menyeru amar ma’ruf nahi munkar. Karakter milenial yang ogah digurui, membuat para pihak termasuk Kemenag memodifikasi model pendekatan yang dilakukan pada kelompok ini. Salah satunya, kampanye dakwah berbasis digital. Maka pilihnnya adalah dakwah berbentuk lomba film pendek. Hasilnya 13 film berhasil masuk dalam penilaian tim juri. Pengumuman pemenangnya dilakukan di Sekolah MAN Model Jumat 10 Juni 2022.

Panitia pelaksana, Sofyan Arsyad mempertegas itu. Lomba film pendek Islami merupakan bagian dari kreatifitas dalam bidang dakwah dan seni budaya Islam. Karena bagi kalangan milenial khususnya, dakwah bukan lagi sebatas ceramah di atas mimbar. “Film pendek pun dapat dijadikan media dakwah, sepanjang dikemas dengan baik dan menarik menggunakan teknologi informasi,” ujarnya.

Agustan T. Syam, yang didapuk sebagai Ketua Tim Juri bilang, dari 13 film yang dinilai sudah mendekati variabel penilaian, khususnya dari sisi originalitas karya maupun keterkaitan dengan tema. Bagi Agustan ini adalah modal penting. Indikator penilaian lain, seperti sinematografi, kekuatan cerita dan kedalaman karakter yang dibawakan pelakon – adalah unsur penilaian yang menguatkan juri menentukan film terbaik. Mayoritas film mampu menghadirkan tema dan plot cerita yang moderat.

”Tapi terpenting dari 13 karya yang datang dari Banggai, Palu, Parigi Moutong dan Kota Palu telah mencerminkan pemahaman peserta soal narasi moderasi beragama. Itu artinya kampanye Kemenang soal moderasi beragama bisa diterima publik dengan baik,” ungkap salah satu anggota juri.

Pandangan serupa dikemukakan juri pusat, Abdullah Imam. Budayawan yang akrab disapa Abdullah Wong ini mengapresiasi antusiaisme dan keberanian berekspresi anak muda Sulteng dalam kontestasi KFPI. ”Karya-karya film mereka luar biasa. Ide cerita dan gagasan yang disampaikan sebagai upaya menyampaikan pesan Islam moderat dengan gaya milenial, patut diapresiasi karena cukup menginspirasi,” puji Wong.

Ikhtiar yang dilakukan Kemenag RI ini, sebenarnya sedang menyiapkan deposit kebangsaan ketika pada 2030, Indonesia menikmati bonus demografi. Saat itu, ribuan peserta lomba film dakwah seluruh tanah air, termasuk di Sulteng telah menjadi pemain penting di posisinya masing-masing. Pada saat itu perspektif keberagaman yang sudah menguratnadi dalam diri mereka akan memberi warna yang signifikan terhadap sikap publik mereka. Jadi sebenarnya Kemenag sedang menjaga dan merawat masa depan Indonesia di tengah segregasi sosial yang terus menggelinding tak tentu arah.

Karena itu penilaian kualitatif 13 film ini menjadi tak terlalu signifikan – jika melihat ”gambar besar” dari hajatan yang tahun ini sudah memasuki edisi kelima. Lomba film pendek ini adalah medium untuk menggaungkan narasi baik tentang keberagaman dan kesetaraan. Bangsa Indonesia pada hari-hari ini sedang membutuhkan ini.

Walau demikian tetap ada pertanyaan kritis yang pantas diajukan. Jika kulminasi radikalisme adalah persoalan teologis, Lantas, apakah masalah struktural seperti kemiskinan, penindasan, dan otorianisme politik yang berimbas pada kekerasan dan teror bukan penyebab timbulnya radikalisme? wallahualam bisawab.

Maka, akan sangat menarik jika ada peserta yang mampu mengeksplorasi tema macam ini. ***

Penulis   : Amanda
Foto        : Amanda

Tinggalkan Balasan