Serba Serbi

Merekam Amarah Kaum Kecil di Dusun Sunyi Desa Tinauka

BERI KETERANGAN - Zainudin mengeluhkan tanah mereka yang ajukan di Kementerian K-LHK diserobot para pensiunan pejabat, di kediamannya di Desa Tinauka 6 Oktober 2023

PERJALANAN yang agak membosankan dengan sajian pemandangan yang tidak banyak menawarkan alternatif selain jejeran kelapa sawit, akhirnya mencapai ujungnya. Dusun kecil di Desa Tianuka, Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah menjadi tujuan liputan jurnalistik kali ini. Kami tiba saat nyanyi burung di langit senja menghilang pelan. Berganti dengan adzan magrib yang merambat perlahan dari ceruk lembah. Bias-bias hujan yang menghajar sedari siang, menyisakan kabut tipis membuat buram cahaya bohlam yang berebut keluar dari celah dinding rumah warga.

Kami berjalan menikung menuju rumah yang yang bertengger di bukit kecil. Sebuah bangunan papan yang sekilas mirip rumah dinas penyuluh pertanian di zaman Orde Baru. Rumah ini hanya menyisakan beberapa meter tanah bertebing sebagai halamannya. Selebihnya adalah hamparan sawit PT Lestari Tani Teladan (LTT), milik konglomerat dari Jakarta. Assalamu’alaikum ucap Irsan, aktivis dari Relawan Orang Alam (RoA) kawan dalam perjalanan kali ini. Kehadiran kami memecah konsentrasi tuan rumah dan tetamu yang membincang pengalaman sebagai buruh sawit siang tadi.

Di sini di Dusun 2 Desa Tinauka, listrik tidak setiap hari menyala. Warga setempat menyiasatinya dengan menyiapkan lampu emergency, dengan bohlam yang menyimpan cadangan setidaknya hingga 4 jam. Lampu rechargeable 10 watt tampak makin meredup. Dalam suasana remang denting gelas beradu di baki terdengar dari arah dapur. Kehadiran kami berdua, membuat plot pembicaraan berubah.

Zainudin (51) yang kami temui adalah salah satu tokoh adat masyarakat di Desa Tinauka. Pengetahuannya soal hak-hak agraria cukup mumpuni. Ia mengikuti pelatihan tentang pertanahan hingga ke Bandung – Jawa Barat. Berbekal pengetahuan itu, ia mengorganisir rekannya berjuang mendapatkan untuk lahan ke Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta. Ia sangat bersemangat menceritakan perjuangan mereka. Namun batuk yang menghajar tak kenal ampun membuatnya tidak bisa runut mengurai problem yang membelit kawasan hutan yang sedang diperjuangkan itu. Suaranya terdengar parau. Batuk kejam itu benar-benar menyiksanya. Untuk berbicara saja ia terlihat sangat kewalahan. ”Padahal saya sudah ke Puskesmas,” katanya dengan suara yang nyaris hilang. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali berguncang dihajar batuk.

Nitra putra semata wayangnya, mengambil alih pembicaraan. Menurut Nitra, masyarakat di desanya telah mengajukan usulan Perhutanan Sosial ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI di Jakarta. Usulan perhutanan sosial dimaksudkan untuk pengembangan ekonomi warga di desa itu. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Tinauka Bersatu, telah menyampaikan usulan itu. Usulan LPHD tersebut direspons dengan baik. Tim verifikasi teknis dan administrasi telah turun ke desanya. Tim verifikasi bertemu dengan pengurus LPHD, masyarakat, pemerintah desa untuk melihat kesiapan dan kelengkapan syarat administrasi dan teknis. Termasuk melakukan kunjungan langsung ke lokasi yang diusulkan menjadi hutan desa.

Tim verifikasi terdiri dari utusan dari KLHK RI, Sekwil BPSKL Sulawesi, Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng dan Pokja Perhutanan Sosial. Anggota tim katanya sangat antusias menyaksikan semangat warga mengikuti pertemuan yang berlangsung malam hari disertai hujan lebat. ”Papa saya ketua LPHD di sini,” katanya. Zainuddin yang didaulat sebagai Ketua LPHD Tinauka Bersatu, mengajukan usulan hutan desa seluas 2.942 hektar untuk kegiatan ekonomi dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Mereka berharap, kelak jika usulan itu disetujui, mereka bisa menggarap lahan untuk masa depan mereka. Tanah di sekitarnya tidak ada lagi yang bisa digarap. Semua berubah menjadi kebun sawit. Desa Tinauka dihuni sekitar 480 kepala keluarga dengan 1.754 jiwa. Sekitar 403 jiwa adalah petani, kemudian 127 orang buruh tani. Sisanya sebagai peternak, pekebun dan tukang kayu dan berdagang. Mereka tersebar di enam dusun yang dikelilingi perkebunan sawit.

KEBUN SAWIT – Warga Tinauka yang tergabung dalam Kelompok Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Tinauka Bersatu mengajukan perhutanan sosial. Kini mereka tak punya lahan digarap. Kebun sawit di Desa Tinauka, 6 Oktober 2023

TANAH DISEROBOT PENSIUNAN PEJABAT

Harapan warga mendapatkan lahan ternyata menemui ganjalan serius. Mereka dikejutkan oleh kehadiran alat berat di kawasan lahan yang mereka usulkan ke Kementerian KLH. Zainudin alias Pak Ojo, bersama warga setempat mengecek siapa yang menyerobot tanah tersebut. Belakangan diketahui, mereka yang memobilisasi alat berat adalah para pensiunan pejabat dan pebisnis lahan yang selama ini dikenal gemar membuka lahan untuk industri perkebunan dalam skala besar. Pihaknya aku Zainudin langsung mendatangi pihak-pihak itu, untuk menjelaskan status lahan. Termasuk memberitahukan bahwa tanah negara tersebut, sudah diajukan ke KLH untuk mereka garap melalui pola Perhutanan Sosial. Namun tetap saja mereka tidak mau mengindahkan permintaan warga. Bahkan mereka merasa punya hak menggarap lahan tersebut.

Buntutnya, tokoh masyarakat Desa Tinauka malah dilaporkan ke Polisi dituduh menduduki lahan. Merespons hal itu, Kepala Desa Tinauka, Suherman bersama unsur pemerintah desa, Rangka Pawallo (BPD), Sihi Dolo (Ketua Adat), Supriadi (Tokoh Agama) dan Zainudin (Ketua LHD) telah mengirimkan surat protes penangkapan Tokoh Adat Desa Tinauka bernama Abdul Hamid. Surat tertanggal 9 September 2023, berisi keberatan mereka atas penangkapan tersebut. Pasalnya Abdul Hamid telah menggarap tanah sejak tahun 2000 jauh sebelum orang-orang ini datang dan mengklaim tanah negara itu. Kepala Dusun 2 Desa Tinauka Sahrin bilang, ia curiga informasi kedatangan tim KLHK sudah bocor terlebih dahulu. ”Dorang dahului kita dengan duluan bagarap lahan. Informasi ini bocor karena ada yang kasi bocor. Ada mata-mata,” ungkapnya curiga. Sahrin berharap mereka mendapat pendampingan dari kelompok masyarakat sepeti Walhi Sulteng untuk memperjuangkan hak mereka. Terlebih saat ini tokoh masyarakat di desanya sudah dilaporkan tersebut ke Polres Donggala dituduh menyerobot tanah. ”Ini yang sedang kami lawan,” tukas Sahrin.

TERDAMPAR DI HUTAN SAWIT

Zainudin adalah transmigran lokal sisipan. Ia menempati rumah transimgran yang disiapkan pemerintah bersamaan dengan datangnya transmigran asal Jawa Tengah pada 2013 silam. Rumahnya berdinding papan. Beberapa bagiannya sudah tanggal dikerat rayap. Rumah dua kamar itu dihuni Zainudin dan istrinya serta anak dan menantunya. Rumah ini hanya menyisakan beberapa meter untuk halamannya. Selebihnya adalah hamparan sawit milik PT LTT. ”Tinggal yang di sana itu, yang kami harap bisa digarap untuk pertanian,” ujar Zainudin pada pagi 6 Oktober 2023, sambil menunjuk kawasan hutan. Itupun katanya belum tentu mereka dapatkan. Seperti yang jamak terjadi di negeri ini, mendapatkan lahan perkebunan bagi warga seperti Zainudin tidak gampang. Konflik berbasis lahan selalu menempatkan orang-orang seperti Zainudin, Sahrin, Abdul Hamid maupun yang lainnya pada posisi yang selalu kalah. ”Kira-kira tanah itu bisa kami dapat lagi,” seloroh Nitra saat menjabat tangan kami.

Saat keluar dari rumah, pamit menuju pulang, Zainudin terus menempel kami. Ia terus memepet mobil yang kami tumpangi menuju Palu. Ia berharap mendapat pendampingan untuk mendapat tanah bagi kehidupan mereka. Tubuhnya ringkih karena dihajar batuk tak dihiraukannya. Dalam ketidakberdayaannya, ia marah, kesal sambil terus mencoba melakukan perlawanan terhadap para perampas tanah yang bengis dan kejam. ***

Penulis: Amanda
Foto: Amanda

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan