Seni Budaya

Plisit Band dan Sebuah Pembuktian

PECAH - Enam belas lagu dituntaskan dalam konser Plisit bertajuk Kau Tak Sendiri yang berlangsung di Cafe Nokilalaki, Jumat 3 April 2021

EKSISTENSI sebuah band tak sekadar diukur seberapa hebat orang-orangnya. Juga tak sekadar jejak nama besar tempo dulu. Eksistensi itu juga tentang bagaimana sebuah grup memegang visi, nilai dan relasi yang solid. Setidaknya begitulah Plisit Band memaknai yang grup bandya. Jika sekadar mencabik gitar, menggebuk drum, mencipta dan mengaransemen lagu hingga skill bernyanyi, banyak yang bisa melakukannya. Visi dan nilai kekerabatan adalah variabel penting untuk membuat sesuatu menjadi lebih bermakna.

Dan plisit Band membuktikannya dalam konser berdurasi hampir dua jam itu di Kafe Nokilalaki 3 Maret lalu. Mereka membuktikan bahwa nilai-nilai yang tetap terjaga membuat band mampu meniti bentangan waktu dengan segala dinamikanya. Ya, konser yang terakhir itu membuktikan 30 tahun eksis di panggung musik di Kota Palu dengan segala problem yang membelitnya. Namun selalu menemukan momentum yang pas untuk eksis.

Dibuka dengan lagu, JBB (Jangan Bisik-Bisik), Plisit langsung menghentak panggung yang disesaki seratusan lebih penggemarnya. Tak kurang 16 lagu – lagu-lagu plisit menggebrak panggung di malam minggu itu. Sang vokalis Abdi, membukanya dengan JBB disusul Mana Suka, Panen Rindu lalu tampil solo.

Konser berdurasi hampir dua jam itu, tak sekadar unjuk kemahiran bermusik dan menabalkan jejak mereka di panggung musik Kota Palu. Tapi juga menjadi momentum mengingat kembali kerabat Plisit yang telah pergi. Yang terakhir adalah almarhum Rifai Lahamu alias Just Pay. Salah satu lagu gubahannya, Hanya Bisa Dirasa, bahkan dibawakan secara medley oleh sang vokalis Abdi.

Rehat sejenak, giliran Pallo – penganut reagge akut ini tampil medley. Diiringi intro yang sentimental, ia menyebut satu persatu kawan-kawannya yang telah berpulang. ”Ayo sama-sama menyanyi” ajak Pallo yang tiba tiba melow melihat setiap wajah para sekondannya muncul di big screen. ”Alfateha,” sahut pengunjung di depan panggung. Harmonisasi nada terdengar apik. Abdi sebagai vokalis utama mengambil peran sebagai tandem yang memainkan tiga lagu secara medley. Penonton pun hanyut pada nada dan lirik yang kuat menghunjam hati.

Menjelang pamungkas, Plisit menyiapkan spesial momen untuk almarhum Pay yang wafat 20 Januari 2021 lalu. Puisi berjudul Tentang JP dan Plisit yang ditulis anak sulung almarhum menghiasi konser. Saat lagu ke-15, Kau Tak Sendiri, dua anak almarhum Aylha Rajwaa Arivia (17) dan Ukhtiya Dhammy Riqintha (14) tampil di panggung bersama Abdi. Sebagai pamungkas, Konser bertajuk Kau Tak Sendiri itu, berakhir seiring usainya Mimpi Tanah Kaili mengalun di ruang tak seberapa luas itu.

Helatan hampir dua jam ini berjalan sukses. Sepanjang konser, pada lagu Tentang Pedihmu, Kau Tak Sendiri dan Kita Pernah, penonton kompak menyanyi bersama di bawah siluet lampu flash yang dipancarkan dari smartphone masing-masing.
Walau tampak kepanasan, Abdi (vokal), Adi (gitar), Pallo (bass), Andri (drum) dan Ryan sebagai aditional player, mampu menjaga ritme konser terasa berenergi. Bupati Sigi Irwan Lapatta juga tampak di jejeran meja VIP. Ia bahkan tak beranjak sejak opening hingga panggung bubar. Dipengujung konser, terdengar teriakan untuk menambah beberapa lagu. Respons penonton pada konser adalah ajang pembuktian band ini. Bahwa mereka masih ada. Dan akan terus ada.

KENANG KERABAT – Pallo mengenang satu persatu karibnya yang telah meninggal pada konser bertajuk Kau Tak Sendiri yang berlangsung di Cafe Nokilalaki, Jumat 3 April 2021

PLISIT JANGAN TERPELESET

Musik tak sekadar nada.
Lirik tak sekadar diksi.
Notasi tak sekadar not angka yang mengalun indah.

Di atas itu. Bermusik adalah soal nilai dan idealisme.
Di balik idealisme terselip kekerabatan. Dibalik kekerabatan ada senda gurau yang kadang-kadang terselip kodirara (kecil hati). Dalam relasi pertemanan, insiden-insiden itu selalu ada. Semuanya mampu dilewati hingga awet hari ini. Itulah Plisit Band. Sebuah grup musik dengan perjalanan panjang melintas tiga dekade 1992 -2021.

Lantas di tengah nilai dan idealisme yang diusung, dimana letak musik industri bagi mereka?

”Yang pasti Plisit jangan sampai terpeleset,” moderator Erik Tamalagi, memberi peringatan saat menutup sesi keterangan pers di Jalan Nokilalaki Jumat 2 April 2021. Keterangan pers, untuk menyambut konser Plisit Band – bertajuk, Kau Tak Sendiri. Konser yang menandai 30 tahun kehadiran mereka di panggung musik Kota Palu.

Adi Tangkilisan salah satu personel Plisit Band menyebut, jika ini dianalogikan sebuah pernikahan, maka konser ini adalah peringatan perkawinan perak. Konser Kau Tak sendiri diakuinya, mengirim pesan kepada publik di kota ini. Bahwa relasi persahabatan yang terbentang panjang selama 30 tahun membuat energi kreatifitas mereka tetap terjaga. Dalam relasi yang panjang itulah, sambung Ketua Panitia Konser, Imron Lapatta kerap diselingi tende (pujian) hingga kodirara. Namun begitulah mereka. Kodirara di antara geng perkoncoan ini tak membuat mereka kehilangan kehangatan. Konser 30 tahun Plisit Band katanya, adalah peneguh akan komitmen mereka terhadap nilai-nilai yang mereka bentuk dan anut bersama.

Bukti tingginya komitmen antarpersonel Plisit Band ini, setidaknya bisa dilihat dari apa yang dilakukan salahsatu personelnya Rival Himran alias Pallo. Pada saat yang bersamaan Pallo harus tampil di Sumatera untuk proyek komersial di sana. Namun penyanyi dengan aliran reagge itu memilih mengabaikannya. ”Ia memilih hadir di sini bersama Plisit,” ungkap Adi Tangkilisan. ”Rumah sedang memanggil,” sahut Pallo tersenyum.

Sebagai sebuah band dengan rentang waktu yang panjang, Plisit Band tentunya punya kemasan yang lebih berorientasi industri. Begitu respons pers yang mencuat pada konferensi pers di Cafe Nokilalaki. Namun peta jalan di musik indutri ini tidak terlihat jelas. Bingkai kenangan masa lalu, terasa kuat dalam sesi konferensi pers yang berlangsung sejam lebih itu. Direkat oleh rasa yang sama terhadap kecintaan akan sosok Iwan Fals, melatari lahirnya Pleaseat Community yang bermetamorfosa menjadi Plisit Band. Sikap susah move on dan keengganan menyesuaikan dengan musik pasar (pop galau) adalah fakta yang menantang bagi grup band ini.

Karena itu warning Erick, agar Plisit jangan sampai terpeleset amatlah relevan. Publik berkepentingan mengenang Plisit dengan jejak sejarahnya yang panjang. Namun saat bersamaan ingin pula melihatnya sebagai musik yang adaptif terhadap situasi kekinian.

Respons Pallo atas situasi ini mempertegas sikap susah move on itu. Plisit katanya tak mungkin diubah, mesti dirinya ada di sana. Plisit tak sekadar musik. Namun lebih dari itu. Dirinya bisa melanglang buana menembus industri musik ibukota setidaknya karena spirit Plisit. Yang dibutuhkan Plisit adalah berkarya. Platform musik digital adalah panasea yang bisa mengatasi kebuntuan berkarya seperti yang dirasakan musisi generasi 90-an seperti dirinya.

Dulu ada pemeo di kalangan musisi, sukses di panggung belum tentu sukses secara industri (rekaman). Suksesnya konser Plisit malam tadi adalah fakta yang disyukuri. Tapi sukses secara industri ini adalah pekerjaan menantang berikutnya yang harus ditaklukan Adi Tangkilisan dan kawan-kawan.

TIDAK MENGGANDENG MUSISI MUDA

Lady rocker Indonesia, Nicky Nastitie Karya Dewi alias Nicky Astria dalam konser Terus Berlari pada 2019 lalu, menggandeng musisi milenial. Rini Wulandari, Nagita Slavina dan Tia AFI. Kolaborasi ini dilakukan pasti ada maksudnya. Setidaknya memperkenalkan lagu-lagu milik Teh Nicky ke telinga milenial. Ini tidak dilakukan oleh Managemen Plisit. Padahal musisi berkualitas di Palu cukup banyak. Mereka ada di kafe-kafe mulai dari Tawaeli hingga Kalukubula. Mulai dari Kabonena hingga batas luar Kelurahan Lasoani. Padahal spirit Plisit, seperti visi grup, nilai kebersamaan adalah hal penting yang harus ditransformasikan ke musisi milenial. Musisi milenial kita butuh itu. Sayang sekali.

KETERANGAN PERS -Imron Lapatta (tengah) bersama Erick Tamalagi (moderator), Andri, Pallo dan Adi saat sesi keterangan pers menyambut Konser Kau Tak Sendiri di Cafe Nokilalaki, Kamis 2 April 2021

Plisit tidak menyimak dengan baik, pernyataan Nanda Bimantara (23), pada konfrensi pers tersebut. Anak muda yang menjadi frontman Band Latter Smil. Mereka mampu menembus 48 label di seluruh dunia. Opini yang disampaikan oleh Nanda menarik. Ia mengakui tidak ada komunikasi yang menjembatani gap informasi yang menganga antara mereka dengan senior-seniornya.

Iyaah komunikasi….woooi komunikasi. Pliiss deh…!!***

Penulis     : Amanda
Foto-Foto : Amanda

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: