Refleksi 26 Tahun AJI, Jurnalis Bukan Penulis Pidato Penguasa

f-aji indonesia

HARI ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berusia 26 tahun. Peringatan HUT AJI kali ini, tak sekadar menandai usia yang secara biologis menjelang usia matang. Tapi juga menjadi momen untuk melihat kembali seberapa besar kehadiran organisasi ini, memberi dampak bagi tegaknya nilai demokrasi, nilai keberagaman dan HAM serta pembelaannya terhadap orang-orang kecil yang ”kalah”. Setidaknya, dalam konteks Kota Palu dan Sulawesi Tengah.

Sekalipun kehadiran AJI di Palu empat tahun lebih muda dari AJI Nasional, namun momentum ini tetap relevan untuk menagih komitmen dan sejauhmana kontribusinya terhadap nilai-nilai yang diperjuangkannya bagi warga Palu dan Sulawesi Tengah.

Namun, alih-alih membahas tema-tema besar di atas. Kita hari-hari ini, masih berkutat pada persoalan yang fundamental dalam tubuh jurnalis itu sendiri. Soal independensi, soal menjarak jarak dengan narasumber, disiplin verifikasi, dan hal-hal mendasar di dalam ruang redaksi. Kita masih berputar-putar sini. Kita bahkan masih kesulitan keluar dari persoalan yang membelit tubuh kita sendiri.

Tak heran, jika Sekretariat AJI Palu, masih kerap menerima aduan para pihak. Baik narasumber yang merasa dirugikan oleh tulisan jurnalis. Maupun wartawan sendiri yang mengalami persekusi karena karya tulisnya yang belum memenuhi standar jurnalistik. Ada pula yang berakhir di meja mediasi disertai dengan permohonan maaf dari media. Ada lagi yang sampai di meja Dewan Pers dengan kekalahan telak pihak media. Fakta-fakta ini mengonfirmasi bahwa masih banyak bengkalai yang harus diselesaikan lembaga asosiasi pers seperti AJI.

Di antara persoalan-persoalan soal jurnalistik ini, satu lagi yang menggelisahkan adalah fenomena sulitnya menjaga jarak dengan narasumber. Konsep ”Kedekatan yang berjarak” masih susah ditegakkan, ketika jurnalis gagap menerjemahkan makna independensi baik dalam tata laku maupun karya tulis. Hingga akhirnya menjadikan karya jurnalistik menjadi bias kepentingan.

Tokoh pers Sulawesi Tengah, almarhum Soerya Lasni pernah bilang, jurnalis yang dengan mudah mengunyah apa pun dari mulut pejabat, adalah contoh gamblang jurnalisme ludah. Atau jurnalisme tadah liur. ”Padaal jurnalis bukan penulis pidato pejabat,” tegasnya.

Tokoh pers Sulawesi Tengah lainnya, Almarhum Abah Nontji, pernah berujar, wartawan dan pejabat adalah musuh abadi sekaligus kawan abadi. Teman abadi karena keduanya terhubung oleh kepentingan saling membutuhkan. Wartawan membutuhkan pejabat sebagai narasumber yang selalu dikutip pernyataannya. Pejabat membutuhkan wartawan untuk menyampaikan kebijakannya kepada publik. Dan pada saat bersamaan sekaligus sebagai musuh, karena wartawan akan melancarkan kritik tajam, untuk setiap setiap kebijakan yang tidak benar.

Terjemahan sederhana dari pesan Om Soerya dan Aba Nongtji itu adalah soal bagaimana mejaga independensi. Nilai yang harus tetap terjaga sejak berhadapan dengan narasumber, di ruang redaksi hingga karyanya disajikan ke pembaca. Di forum uji kompetensi jurnalis (UKJ), soal independensi menjadi poin krusial yang terus diingatkan.

Mencomot jargon HUT AJI 2020, Jurnalisme di era Pandemi, persoalan ini menjadi krusial untuk didiskusikan lagi. Saat dunia pers, megap-megap dihajar musuh tak terlihat bernama Covid-19, persoalan independensi ini benar-benar sedang mendapat ujian berat. Menyeimbangkan nilai nilai keredaksian dengan celotehan yang datang divisi iklan dan keuangan akibat brankas yang seret, di tengah pandemi ini jelas bukan perkara gampang.

Ujian ini menemukan momentumnya justru di saat-saat sekarang ini.
Sulteng sedang memasuki tahun Pilkada. Delapan kabupaten/kota plus Provinsi Sulawesi Tengah akan menggelar suksesi kepemimpinan. Hampir dipastikan media akan terseret dalam beragam keriuhan yang ditawarkan politik pilkada ini. Mulai dari gurihnya iklan politik yang diikuti glorifikasi kandidat yang kadang membutakan publik. Jika tidak hati-hati, media akan cenderung tertutup mata batinnya terhadap jejak rekam sang calon. Dipicu oleh tawaran menggiurkan di momen yang hanya datang sekali dalam lima tahun ini.

Lalu pada akhirnya, masyarakat pemilih tak punya opini alternatif untuk menjatuhkan pilihannya. Karena kita tak mengingatkan publik soal rekam jejak para kandidat itu.

AJI telah 26 tahun berjalan meniti zaman. Pondasi ideologi sudah diletakkan oleh pendahulu AJI di daerah ini. Modal inilah yang bisa kita gunakan untuk mengurai satu persatu masalah jurnalisme di hari hari depan nanti.

#26TahunAJI
#TetapIndependen
#AJIPalu

Penulis: Amanda

 

Tinggalkan Balasan