Perempuan

Saya Jatuh Cinta pada Nilai-Nilai yang Dibangun di Institut Mosintuwu

SEMRINGAH - Nina di di Perpustakaan Sophia, Mosintuwu Institut, Jalan Yosi, Tentena - Poso

NINA SUAKI TUNDUGI . Gadis kelahiran Desa Soe, Pamona Utara 19 tahun silam ini, adalah pustakawan di Perpustakaan Sophia, Institut Mosintuwu. Panggilan akrabnya Nina. Ia baru dua bulan di sana. Sebelumnya, menjadi relawan di Radio Mosintuwu. Baik Radio Mosintuwu maupun Perpustakaan Sophia, home base-nya di Dodoha, Jalan Yosi, Sangele – Tentena.

Pembawaannya agak cuek. Rambut cepaknya menguatkan kesan jika mahasiswa semester tiga, Universitas Kristen (Unkrit) Tentena ini,  adalah gadis lincah. Benar saja. Gerakannya terlihat gesit. Terik siang yang membakar kulit, tak dipedulikannya. Di bawah tenda, ia tampak telaten menata buku di rak mini dan mengatur botol-botol mungil berisi ragam biota Danau Poso di meja kecil berkelir cokelat. Saat yang sama ia terlihat melayani bocah-bocah pengunjung perpustakan mini Sophia yang dinaungi tenda kubus warna putih buram. Di depannya bergerombol sejumlah bocah, yang tampak antusias menyimak arahannya.

Pada hajatan Jelajah Budaya, putri keempat pasangan Abel Suaki dan Asni Tundugi ini diserahi tanggungjawab menyiapkan perpustakaan mini. Ini sesuai kapasitasnya sebagai pustakawan di Perpustakaan Sophia yang mengoleksi buku-buku pilihan itu. Menyiapkan buku bacaan, mencatat pengunjung, hingga mengarahkan anak-anak yang sibuk menggambar dan mewarnai, adalah aktivitas yang dilakukannya selama Festival Jelajah Budaya di Desa Tokorondo yang dihelat 25 – 26 Agustus 2023 itu . Malam harinya, kesibukannya terlihat bertambah. Ia pontang panting mengisi water station yang terletak di beberapa sudut lapangan.

SABAR – Nina mengarahkan para bocah saat kegiatan menggambar di Stand Perpustakaan Sophia, di Desa Tokorondo, Sabtu 26 Agustus 2023

Sore hari Sabtu 26 Agustus, saat terlihat luang, saya menyambanginya di booth perpustakaan. Permintaan interview pun diterimanya. Nina ternyata boros senyuman yang memudahkan gigi gingsulnya begitu mudah terlihat saat tawanya kecilnya berderai. Cerita pun mengalir diselingi frasa Inggris mirip anak Jaksel. Apa yang menarik hingga Anda bergabung di Mosintuwu Institut?. Ditanya demikian, Nina yang berulang tahun setiap tanggal 17 ini, langsung ngegas. ”Saya hobi membaca. Saya sering ke perpustakaan Sophia. Saya juga suka visi yang dikembangkan di sini,” ujarnya nyerocos.

Nilai seperti apa itu?, didesak seperti itu, Nina mengaku tertarik dengan nilai-nilai keberagaman. Kesamaan hak tanpa memandang latarbelakang etnis dan agama serta penghormatan terhadap minoritas termasuk perempuan. Nilai-nilai yang menurutnya belum banyak ia temui di tempat lain. ”Selain itu saya juga hobi baca,” ungkap penggemar buku biografi tokoh ini sambil melirik deretan buku yang berjejer rapi. Kali ini gesturnya mulai cair. Jawaban-jawabannya pun runut dan terdengar sangat ”berisi”, setidaknya untuk ukuran gadis yang baru dua tahun menanggalkan seragam putih abu-abu.

Simak saja, kalimatnya berikut ini. Mosintuwu dalam konteks ruang, adalah tempat yang sengaja diadakan untuk menanggapi dan mendiskusikan persoalan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan secara kritis. Lihatlah apa yang dikerjakan di sini (di Mosintuwu), gerakan-gerakan substantif yang berorientasi rakyat selalu menjadi yang pertama dan utama.

Perkenalannya dengan Mosintuwu Institut aku gadis yang menjadikan Mazmur pasal 118 ayat 5 sebagai kutipan favoritnya , diawali dari seringnya ia ke Perpustakaan Sophia. Kebetulan rak buku di perpustakaan menyediakan buku kegemarannya. Intensitas kunjungan yang makin sering membawanya ia makin masuk jauh kedalam. Hingga akhirnya menjadi volunter di Radio Mosintuwu. Tugas pertamanya adalah menjadi relawan di Festival Tradisi Kehidupan di Desa Peura, Juni 2023 lalu. Dari situ perhatiannya tak lagi semata pada buku. Secara perlahan mulai menyelami nilai-nilai yang dikembangkan di lembaga yang didirikan Lian Gogali ini.

Dari relasi yang terbilang singkat itu, Nina mengaku bisa menarik hikmah penting dari diskusi dan aktivitas lembaga yang menaunginya kini. Bahwa, untuk menjadi berharga dan bermanfaat pada kehidupan yang lebih luas, tak mesti menjadi pemegang kendali kebijakan dengan otoritas tertentu. Cukuplah katanya, menjadi diri sendiri dan mengerjakan sesuatu yang kontributif pada publik, itu adalah sumbangan terbesar pada kehidupan yang lebih besar. ”Di Institut Mosintuwu ada orang-orang seperti Ibu Lian, Kak Eko, Kak Ray, Om Pian, Kak Eka, Kak Merry, Tante Iin dan lainnya. Mereka bukan orang besar dengan kewenangan besar. Tapi yang mereka lakukan memberi dampak besar pada publik dalam skala luas,” ulasnya panjang lebar. ”Saya juga ingin seperti mereka,” katanya tersenyum. Senyum tipis yang sontak membentuk lesung pipi  di wajah mungilnya.

BERSAMA ANAK-ANAK – Nina sedang diberumuni anak-anak yang mengunjungi perpustakaan mini di Tokorondo, 26 Agustus 2023

Di sela wawancara, tiba-tiba perhatiannya beralih pada dua bocah yang terus menggelayut manja di pundaknya. Dua bocah asal Tokorondo memang terlihat terus menguntitnya kemanapun perginya. ”Tadi saya kasi uang woyo, malah ngikut terus,” kata sambil mengibaskan tangan bocah itu. Langit sore mulai memerah. Sebentar lagi fajar berganti malam. Di lapangan, kesibukan mulai memuncak.  Stand kuliner tampak tertata rapi. Aneka penganan tersedia, menyambut pengunjung yang menghabiskan malam minggu di panggung Jelajah Budaya.  Nina pun kembali sibuk menata kertas yang berserak.

Saya pun pamit menyudahi wawancara sore itu. Dari gesturnya selama interview,  tampak terlihat pilihannya bergabung di Institut Mosintuwu, adalah pilihan yang tepat. Setidaknya untuk saat ini. Di sana, di Mosintuwu Institut, ia bisa menyelami ideologi pembelaan kaum papa. Sesuatu yang tak seratus persen didapatkan di bangku pendidikan formal. ”Saya jatuh cinta pada nilai-nilai yang dibangun di Institut Mosintuwu,”  katanya semringah.  Di kalimat pamungkas itu, sekali lagi ia menyetor senyum manis yang meninggalkan tatakan lesung pipi di wajah manisnya.

Penulis: Amanda
Foto-Foto: Amanda, Basrul Idrus, Kurniawan Bandjolu

Segera terbit, artikel serupa Kesaksian Relawan Basrul Idrus, mendokumentasikan peristiwa kebudayaan

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: