Seribu Satu Cara Lolos di Posko Pemeriksaan Covid-19 Tawaeli

MENUNGGU DI JALAN - Tukang ojek duduk menunggu warga yang menggunakan jasa mereka menembus jalan tikus. (foto tim)

BANYAK jalan menuju Roma.
Banyak jalan menuju Palu.

Keharusan mengantongi hasil rapid test (tes cepat) dan tes swab bagi pelaku perjalanan dari luar Kota Palu, melahirkan masalah baru. Bagi pelaku perjalanan yang tidak mengantongi dua dokumen kesehatan tersebut, bakal menemui kesulitan saat berhadapan dengan petugas di Posko Covid-19 di Tawaeli. Kemungkinannya hanya dua. Dimungkinkan masuk ke Kota Palu atau dipulangkan – jika dinyatakan reaktif saat dilakukan test cepat.

Namun demikian, bukan berarti kendala itu tidak bisa diakali. Bagi yang tahu caranya, perjalanan bakal lancar, tanpa harus beradu mulut dengan petugas Posko yang berjaga di depan Kantor Camat Tawaeli – Palu Utara.

Penuturan dua warga Desa Nuvabomba – Kecamatan Tanantove, Donggala, menguak bagaimana pos penjagaan yang dijaga ketat oleh aparat gabungan, Polisi, Dishub, Pol PP dan TNI, seperti tidak ada apa-apanya.

Jarum jam menunjuk pukul 22.00. Itu berarti sejam lagi, tepatnya jam 23.00, portal di Posko Covid-19 sudah harus dibentangkan di tengah jalan. Pelaku perjalanan yang masuk Kota Palu disetop – menunggu pukul 07.00 keesokan harinya untuk dibuka lagi.

Bersamaan dengan itu, beberapa kilometer dari Posko Covid, tampak keriuhan di pinggir-pinggir jalan. Sejumlah warga di Desa Nuvabomba seperti enggan kembali ke rumah. Beberapa pemuda dan orang dewasa tampak berjejer di sepanjang jalan. Mereka seolah tak peduli malam yang makin larut yang mengharuskannya istrahat di rumah. Kehidupan malam di desa yang berbatasan dengan Kelurahan Tawaeli – Kota Palu itu, tampak hidup.

Sementara aliran kendaraan roda dua dan empat, yang melintasi jalur sibuk tersebut tak pernah berhenti. Sebagian besar para pemuda itu fokus memerhatikan aliran kendaraan yang menuju Kota Palu. Dari pinggir jalan terdengar samar-samar suara warga berteriak – ojek-ojek.

Jika ada kendaraan yang berhenti atau memelankan kendaraannya, seketika muncul tiga empat orang mengajak berbicara. Mereka menawarkan jalan menuju Kota Palu melalui jalur alternatif. Jika mereka memastikan pengendara tidak mempunyai dua dokumen penting yang menjadi syarat penting perjalanan – mereka makin getol menawarkan jasa menempuh jalur alternatif.

Tak butuh waktu lama, karena pembicaraan berikutnya, adalah tawar menawar harga. Jika harga cocok, selanjutnya adalah menentukan siapa yang harus mengendarai motor. Apakah pemilik motor atau warga.

Namun untuk kepentingan menyamarkan identitas, warga setempatlah yang mengendarai motor. Sedangkan pemilik kendaraan cukup dibonceng. Sebelum, nangkring disadel motor, atribut yang menandakan sedang dalam perjalanan jauh harus disamarkan. Misalnya, tidak boleh membawa tas mencolok di punggung. Tas diletakan di bagian depan di bawah setang motor. Helm dicopot. Lebih bagus lagi jika sepatu tidak perlu dipakai. Cukup memakai sendal jepit. ”Supaya tidak dicurigai kita dari luar kota,” kata Udin 41) (nama disamarkan), beberapa waktu lalu.

Udin mengungkapkan, semakin sedikit tentengan, makin bagus untuk penyamaran. Petugas menganggap penduduk setempat yang lalulalang mengurus kebutuhannya. Pernah kata Udin, ia membawa warga dari Pantai Timur. Tentengannya banyak. Terpaksa, tas dan bungkusan dibawa teman lain – agar penyamaran tidak dicurigai petugas. ”Bayarannya ditambah setengah,” ungkapnya.

PERIKSA – Aparat dan perawat memeriksa dokumen kesehatan pelaku perjalanan di depan Posko Kesehatan Covid-19 di Kelurahan Tawaeli

Warga Nuvambomba lainnya, Eman 45 (nama samaran) menjelaskan, saat ini warga Nuvabomba yang menjadi pengojek dadakan tak hanya mereka. Siapa pun yang mempunyai motor di rumahnya, bisa melakukannya. Walau tidak ada kesepakatan di antara mereka, namun harga umumnya dipatok Rp30 ribu sekali jalan. Eman bilang, angka itu terbilang kecil jika dibandingkan harus membayar rapid test mandiri yang disiapkan di depan Posko. Apa lagi jarak antar, antara tempat transaksi ke titik pengantaran terakhir di depan Pegadaian Tawaeli sekira dua kilometer.

Namun tarif Rp30 ribu katanya bisa dinego. Apa lagi jika penumpangnya mahasiswa. Tarif bisa dikorting Rp20 ribu sekali antar. Selanjutnya ungkap Eman lagi, makin dekat Posko Covid tarifnya makin besar. Tempat terjauh dibandrol Rp30 ribu sekali jalan. Jika makin kebawah, makin dekat dengan perbatasan Desa Nuvabomba – Tawaeli, tarifnya bisa melonjak antara Rp50 ribu – Rp60 ribu.

Apa pasal?
Kalau makin dekat, kecurigaan petugas makin kuat, apa lagi jika kebetulan ada petugas yang melihat dari jarak jauh. ”Kalo keliatan, bisa panjang ceritanya,” ujarnya terkekeh. Tak hanya motor. Mereka bisa bahkan meloloskan mobil. Caranya dilakukan dengan hati-hati. Pasalnya, tak banyak orang di kampungnya mempunyai kendaraan roda dua. Jika ada penduduk kampung yang keseringan membawa mobil, itu bisa mengundang kecurigaan.

Mobil yang melewati jalan pintas, harus dilakukan dengan survei terdahulu untuk memastikan posisi petugas. Kecepatan kendaraan pun harus diatur. Sehingga tidak memancing perhatian petugas. Tarifnya flat Rp60 ribu sekali jalan. ”Pengalaman selama ini saya dan teman teman selalu lolos,” katanya menambahkan.

Erman mengaku, ia tidak tiap hari menjadi joki motor. Atau dalam sehari tidak melakukannya begitu sering. Ini untuk menghindari kecurigaan petugas jika setiap hari lalu lalang di jalan dengan kendaraan berbeda. Kekhawatiran Eman dan rekannya, cukup beralasan. Pasalnya, jalur alternatif yang disebutnya jalan tikus, sangat dengan posko.

Bahkan tikungan terakhir yang membelok kearah kanan hanya berjarak puluhan meter dari petugas. Tikungan ini memutar mengitari Kantor Camat Palu Utara, memutar ke belakang dan tembus ke jalan utama – di depan Kantor Pegadaian sebagai tujuan terakhir.

Eman dan Udin mengaku, di zaman Covid-19, ia banting setir menjadi tukang ojek dadakan. Perusahaannya tempatnya bekerja, pabrik pengolahan rotan di Kayumalue – kini belum beroperasi.

Sementara untung yang didapat diakuinya tak seberapa. Sehari ia pernah mengantar 10 orang – ini adalah antaran terbanyak yang ia dapat sejak pengetatan di perbatasan Tawaeli. Hasilnya dibagi dengan temannya masing-masing Rp150 ribu.

Penumpang pada akhir pekan, jumat, sabtu dan minggu cukup banyak. Namun saingan juga banyak. Selain itu ia tidak bisa sesering mengantar penumpang, khawatir penyamarannya terendus petugas.

Rekannya Udin menyadari yang dilakukannya memang keliru. Namun pekerjaannya sebagai buruh pabrik rotan kini sedang terhenti. Maka menjadi joki penumpang dianggapnya pilihan yang masuk akal. Setidaknya, kebutuhan susu formula untuk anaknya bisa teratasi. Itu saja. ***

Penulis      : Amanda
Foto-foto   : Tim

Tinggalkan Balasan