FESTIVAL Mosintuwu yang berlangsung pada 31 Juli hingga 2 Agustus 2025 baru saja usai. Di tengah semarak kehadiran seniman, budayawan, pelukis, aktivis, hingga peneliti flora-fauna, ada satu partisipan yang mencuri perhatian. Terminal Kopi Behoa.
Panitia menghadirkan kopi dari dataran tinggi Behoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, bukan semata-mata untuk menyuguhkan cita rasa kopi bagi para pengunjung. Di balik gelas-gelas yang disajikan, ada cerita tentang kelompok perajin kopi yang mayoritas perempuan. Kesempatan tampil di festival ini menjadi ajang “go public” mereka sebagai brand baru dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
Selama tiga hari festival, stan Terminal Kopi Behoa tak pernah sepi. Pengunjung dari berbagai usia, dari anak-anak hingga orang dewasa, antre mencicipi beragam varian kopi yang diseduh dengan cita rasa khas. Frontman Buritan Kabudul, Riston Pamona alias Icong, bahkan menyampaikan apresiasi khusus saat peluncuran mini album Semesta Megalitika di panggung utama Festival Mosintuwu, 1 Agustus 2025.
“Terima kasih kepada Terminal Kopi yang sudah menemani kita semua di panggung ini,” ujar Icong.
Yang menarik, anak-anak berseragam putih biru dan abu-abu—yang akrab dengan minuman ber-topping kekinian—ikut tertib mengantre. “Saya juga satu yang es kopi, Kak,” kata seorang siswi seusai memenangkan babak penyisihan lomba cerdas cermat tingkat sekolah dasar.
Selama festival, Gita Suci Wulandari—seorang geolog muda dan peserta Jelajah Geopark Poso—tercatat memesan kopi Terminal Behoa hingga tiga kali. Ia tak segan memilih varian dengan harga tertinggi.
Menurut Sofyan dari Institut Mosintuwu, kehadiran usaha mikro seperti Terminal Kopi Behoa memang dirancang untuk menguji daya saing produk lokal dalam skala publik. “Mosintuwu memberi ruang pada kelompok-kelompok usaha rintisan, seperti yang dilakukan oleh Terminal Kopi Behoa,” ujarnya.
Magdalena Tomberi, koordinator perajin kopi di Terminal Behoa, mengisahkan bahwa usaha ini telah digeluti bersama belasan perempuan lainnya selama lebih dari setahun. Mereka bukan penyeduh kopi profesional, tapi fokus di sisi hilir sebagai prosesor—dari pemetikan hingga pengemasan biji dan bubuk.
Magdalena sendiri telah mengikuti berbagai pelatihan bersama praktisi kopi berpengalaman. Sepulang dari pelatihan, ia mengajak rekan-rekan di kampung halamannya di Desa Behoa untuk menekuni pengolahan kopi secara kolektif. Ketika tawaran dari Institut Mosintuwu datang, ia sempat ragu. Tapi semangat untuk memperluas pasar membuatnya mantap menerima tantangan itu—meski tak lepas dari berbagai drama kecil di balik layar.
“Syukur, selama tiga hari festival, penjualan kami menembus seribu cup. Kopi bubuk 35 gram yang kami jual seharga Rp35 ribu per bungkus juga ludes,” ujar Magdalena semringah.
Ia menyampaikan terima kasih kepada panitia dan Institut Mosintuwu yang telah memberi kepercayaan pada produk mereka untuk tampil di ajang sekelas Festival Mosintuwu. ***
Penulis: Yardin H
Foto: Dok
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak