SEORANG pria renta, usianya mendekati 80 tahun. Tubuhnya tergeletak di lantai ruang rapat, hanya dilapisi vinyl tipis yang memisahkan kulitnya dari ubin. Air conditioner 16 derajat menghembus tepat ke tubuhnya, membuat jam biologisnya tak bisa diajak kompromi dengan agenda maraton hari itu, Jumat 31 Oktober 2025. Hawa sejuk bercampur kelelahan fisik yang melemah memaksanya tidur.
Setengah jam sebelumnya, ia terlihat kelelahan. Tak sanggup mengikuti pembicaraan ‘’berat’’. Membaca peta lahan, pasal-pasal dalam UU Agraria, aturan rumit tentang transmigrasi hingga regulasi yang kompleks tentang tanah adat.
Ia adalah Muhamad Salim, Tokoh Adat asal Desa Pandauke, Kecamatan Mamosalato, Morowali Utara. Ia datang bersama sekitar 40-an warga dari sembilan desa di dua Kecamatan Mamosalato dan Bungku Timur untuk mengklaim kembali tanah yang diduduki PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS), milik konglomerat asal Luwuk, mendiang Murad Husain.
Diajak bicara usai terbangun, Salim mengaku datang menghadap Satgas PKA dan Gubernur Sulteng, untuk melaporkan tanah adat yang berubah menjadi lahan sawit. Wawancara terhenti. Ia sepertinya belum konsentrasi menjawab pertanyaan. ‘’Pokoknya saya datang untuk minta perusahaan angkat kaki,’’ kali ini intonasinya agak tinggi.

Pembahasan maraton sejak pagi, dilanjutkan usai salat Jumat, memang memeras tenaga dan pikiran. Beberapa orang dengan fisik lebih bugar pun kewalahan. Mereka telentang di lantai ruangan Sekretariat PKA Sulteng. Sekilas bekas ruang kerja Sekdaprov Novalina itu mirip geladak kapal. Di sana sini, orang-orang tidur tak beraturan.
Di meja rapat, tinggal menyisakan segelintir orang. Beradu argumen, membandingkan data, menyandingkan dokumen dengan para pejabat dari Disnakertrans, Dinas Kehutanan dan Satgas PKA yang memimpin rapat. Warga bubar ketika jarum jam menunjukan pukul 17.00 lewat.
Sembilan desa yang mengadu ke Satgas Penyelesaian Konflik Agraria memiliki keluhan seragam. Tentang kerakusan PT KLS atas lahan. Menurut Satrimon Mola, warga Desa Taronggo, total lahan masyarakat di Kecamatan Bungku Timur yang dikuasai perusahaan mencapai 365 hektar.
Di Desa Girimulya, Lahan Usaha (LU) 2 sebanyak 75 kapling. Itu setara dengan 56,25 hektar lahannya lenyap. Masih di desa yang sama, di LU 1 dengan 15 kapling (15 hektar) dan lahan tak bersertifikat seluas 25 hektar juga raib, dirampas perusahaan.
Di Desa Tokala Atas dan Baturube, 127 kepala keluarga kehilangan 254 hektar tanah. Sementara Desa Posangke, yang sebelum menjadi desa definitif merupakan bagian dari Tokala Atas, dihuni 295 KK. Sebagian masuk dalam SK penempatan transmigrasi lokal untuk 20 KK dengan lahan seluas 40 hektar. Semuanya ludes, diubah menjadi kebun sawit oleh perusahaan yang berpusat di Kota Luwuk, Banggai itu.
Selanjutnya, pada 1985 peta Desa Taronggo tiba-tiba berubah. Ratusan hektar masuk dalam program penanaman sawit PT KLS yang diklaim seketika. Di Desa Pandauke, perusahaan melancarkan modus tipu-tipu dengan dalih pembelian lahan. Warga sempat mencium aksi sepihak itu, namun terlambat.
Tasman dari Desa Tanasumpu mengatakan, PT KLS “meniupkan angin surga” ke telinga masyarakat. Janji kesejahteraan dengn kehidupan lebih baik. “Kita ingin perusahaan ini diusir saja. Janji puluhan tahun tak pernah ditepati,” geram Tasman.
Mohamad Yunus, tokoh masyarakat Desa Baturube, menegaskan, mereka hanya ingin tanah dikembalikan, dikelola untuk kesejahteraan warga desa. “Puluhan tahun beroperasi, tak pernah memberi kesejahteraan seperti dijanjikan. Padahal tanah kami sudah diambil semua,” katanya, intonasinya naik seperti dendam lama yang lama dipendam.

Atas segala pelanggaran aturan dan daya rusak yang dihadirkan, Yamin AS perwakilan Desa Baturube mendesak Gubernur agar perusahaan harus angkat kaki. Ia juga menyinggung CSR yang tak pernah tersalurkan ke masyarakat setempat. ‘’Itu adalah janji kosong lain dari PT KLS,’’ tandasnya kesal.
Pagi harinya, Sabtu 1 November 2025, warga dari 9 desa ini diterima Gubernur Anwar Hafid di kediamannya. Pada pertemuan yang berlangsung hampir dua jam itu, warga kembali menyampaikan kekesalannya.
Setelah menunggu lebih dari sejam di bawah tenda dengan kombinasi warna Partai Demokrat, Anwar menampakan tubuhnya yang dibalut batik lengan pendek dari pintu samping. Langsung menyalami satu per satu warga yang berjejal. Ia tersenyum, seperti menyimpan kesungguhan.
“Saya paham kegelisahan saudara-saudaraku di sini,” ucapnya sambil menyalami setiap orang, yang tampak tak sabar menunggu. “Saya pernah jadi bupati dua periode. Saya paham kasusnya, saya juga paham perusahaannya.”
Beberapa warga tersenyum mendengar pernyataan pembuka itu. Antara lega atau menahan kekhawatiran apakah ucapan itu benar atau hanya janji. Tapi seorang pria paruh baya yang mengenakan batik merah darah babi, memgaku yakin ucapan yang didengarnya. Menurutnya saat menjabat Bupati Morowali, Anwar memang seperti itu.
Ketua Satgas PKA Eva Susanti Bande, yang memoderasi diskusi menutup rapat dengan berpesan kepada warga. “Peta batas transmigrasi kita sedang tunggu. Ini adalah perintah Pak Gub. Peta itu adalah hukum. Jika nanti batasnya terbukti dilanggar, bapak-bapak akan kembali menggarap lahannya. ***
Penulis: yardin h
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak




