KEBIJAKAN efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintahan Prabowo bakal dirasakan dampaknya oleh warga masyarakat di berbagai kalangan. Meskipun pembahasannya masih berlangsung di DPR RI, pelaku usaha konstruksi di daerah mulai was-was.
Direktur PT Firman Anugerah Jaya, Ir Jauri O. Sakkung MT, mengungkapkan, kebijakan efisiensi yang berbuah pada pemangkasan dana di kementerian-kementerian, bakal memukul sektor jasa konstruksi. “Kebijakan efisiensi yang menyasar dana-dana di kementerian akan memukul kontraktor termasuk usaha jasa konstruksi,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Kamis 13 Februari 2025.
Apalagi pemangkasan di Kementerian Pekerjaan Umum, mencapai Rp80 triliun. Angka ini katanya tidak main-main. Banyak dampak yang ditimbulkannya.
Biasanya, proyek-proyek yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mulai dilelang pada Januari hingga Februari. Namun, hingga pertengahan Februari 2025, belum ada satu pun proyek yang dilelang. Menurut Jauri, permasalahan utamanya bukan sekadar keterlambatan, melainkan efektivitas dari pemangkasan anggaran ini yang dinilai kurang tepat dan bakal berdampak luas.
Investasi Terancam, Pengusaha Konstruksi Resah
Dede, sapaan akrab Jauri, menilai kebijakan ini berpotensi mengganggu iklim usaha. “Kemungkinan ada teman-teman pengusaha yang sudah membeli alat, baik secara tunai maupun kredit untuk ivestasi. Tetapi tiba-tiba proyek tidak berjalan karena adanya pemangkasan anggaran. Ini bakal jadi masalah besar,” sorotnya.
Di kalangan pengusaha jasa konstruksi, kebijakan efisiensi ini menjadi topik diskusi yang hangat. Mereka kini masih mengonsolidasi diri, tentang bagaimana menghadapi ‘’turbulensi’’ ini, sambil menunggu perkembangan selanjutnya. “Saat ini pembahasan masih berlangsung di DPR RI. Kita tunggu bagaimana kelanjutannya,” ujar Dede.
Di Kota Palu katanya, terdapat lebih dari seratus perusahaan jasa konstruksi. Sementara di Sulawesi Tengah jumlahnya bisa mencapai lebih dari seribu. Di belakang mereka, terdapat ratusan staf kantor, operator alat berat, serta ribuan buruh lapangan yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
‘’Jika proyek tidak jalan lalu saudara-saudara kita ini mau digaji bagaimana,’’ tanyanya. Ia menganggap, ini adalah efisiensi yang tidak efektif.
Efek Domino, Buruh dan UMKM Ikut Terpukul
Sektor konstruksi dikenal sebagai penyerap tenaga kerja yang besar. Jika sektor ini melemah, dampaknya akan meluas ke berbagai lini. Mulai dari buruh pasir, pembuat batu bata, hingga pengumpul, pembuat batu bata dan bahan bangunan lainnya.
Arhan (47), seorang penggali pasir di Sungai Palu, mengaku sudah mendengar kabar soal kebijakan efisiensi anggaran. “Setiap hari saya memuat truk pasir untuk proyek pemerintah. Kalau proyek sepi, saya bisa kehilangan mata pencaharian,” ujarnya.
Hal serupa dirasakan Abdul Khalis (51), perajin batu bata di Sigi. Ia khawatir penjualan batu bata akan anjlok jika proyek pemerintah terhenti. “Anak saya, Fandi, bilang ada anggaran yang dikurangi. Bisa-bisa tidak ada lagi yang pesan batu merah dari saya,” katanya.
Tak hanya sektor konstruksi, usaha kecil merasa terancam. Irnawati (37), pegiat usaha kuliner di Palu Selatan, khawatir warungnya sepi pelanggan. “Mayoritas pelanggan saya pegawai. Kalau anggaran dipangkas, mereka mungkin akan lebih berhemat dan mengurangi jajan di luar,” ungkapnya.
Dengan pemangkasan ini, target pemerintahan Prabowo yang mematok pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2025 menurut Dede sulit dicapai. Pasalnya, jika daya beli masyarakat melemah dan investasi terhambat, pertumbuhan ekonomi pun akan tertekan.
Efisiensi Anggaran, Industri Hotel Berpotensi Tertekan
Kebijakan efisiensi anggaran diperkirakan akan menekan tingkat hunian hotel hingga 50–60 persen dari keterisian 80 persen yang dikontribusi dari sektor pemerinah. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Tengah, Fery Taula, menegaskan, industri perhotelan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap belanja pemerintah.

“Ketergantungan industri hotel pada sektor pemerintahan sangat besar. Jika anggaran dipangkas, dampaknya akan signifikan,” ujarnya.
Di Kota Palu, terdapat sekitar 1.400 kamar hotel. Dari jumlah tersebut 80 persen tingkat keterisian berasal dari kegiatan pemerintah. Dengan adanya pemangkasan anggaran, tingkat hunian diperkirakan akan turun drastis, yang berpotensi mengganggu operasional industri perhotelan di daerah ini.
Optimalisasi Anggaran Jadi Solusi
Menurut Fery, pemerintah perlu melakukan optimalisasi terhadap anggaran yang tersedia dengan memprioritaskan belanja yang berdampak langsung pada pelayanan publik. Ia mengibaratkan kondisi ini seperti tubuh manusia yang mengalami obesitas.
“Agar sehat, penyebab obesitas harus dikurangi, lalu diganti dengan vitamin yang membuat tubuh lebih gesit dan sehat,” katanya.
Ia menilai bahwa jika terdapat pos belanja yang kurang efektif, sebaiknya dialihkan ke sektor yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi.
Pemotongan anggaran di tingkat pusat berdampak pada seretnya dana transfer ke daerah, maka industri hotel akan ikut merasakan dampaknya.
“Jika dana transfer daerah seret, kemungkinan besar industri perhotelan juga akan terpukul. Dalam kondisi seperti itu, penghentian sementara karyawan bisa saja terjadi,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, pelaku usaha perhotelan berharap pemerintah dapat lebih bijak mengelola anggaran agar dampak negatif terhadap dunia usaha dapat diminimalisir.
Dede dan Fery menilai, kebijakan efisiensi anggaran ini menjadi semacam “terapi kejut” dari Presiden Prabowo kepada birokrasi. Menurut mereka, selama ini birokrasi dikenal kurang efisien dalam membelanjakan uang negara. Dengan kebijakan ini, birokrasi di semua level akan lebih berhati-hati menggunakan anggaran.
Jika pemangkasan anggaran dilakukan secara ketat seperti sekarang, dampaknya bisa sangat luas dan berpotensi mengganggu berbagai sektor. “Kemungkinan pada APBN Perubahan nanti, situasinya akan kembali lebih longgar dan tidak seketat saat ini,” tutup Dede. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto: Dok Pribadi