KONFLIK agraria antara PT Lestari Tani Teladan (PT LTT), anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk, dengan warga Desa Towiora, Kecamatan Rio Pakava, Sulawesi Tengah, belum sepenuhnya berakhir. Tetapi, percik-percik jalan keluarnya mulai terlihat.
Rabu siang, 1 Oktober 2025, ruang rapat Sekda Donggala tampak sesak. Kursi-kursi diisi pejabat, unsur Forkompimda, Polres, Kejari, hingga Kepala Kantor Pertanahan Donggala, Rusli M. Mau, tampak hadir.
Di tengah-tengah, ada wajah yang tak asing dalam advokasi agraria, Eva Susianti Bande, Ketua Satgas Penyelesaian Konflik Agraria. Dialah yang dimandatkan Gubernur Anwar Hafid untuk menyelesaikan konflik agraria di seluruh Sulawesi Tengah. Eva tak sendiri. Ia ditemani staf SatgasPKA yang lain.
Tepat pukul 13.00 WITA, rapat dimulai. Asisten I Pemkab Donggala, Mohamad Yusuf Lamakampali, mengambil posisi sebagai pimpinan rapat. Suaranya tenang, tapi penuh harap. “Kita butuh rekomendasi yang konkret. Yang bisa diterima dua pihak. Konflik agraria yang sudah berlangsung lama ini harus segera berakhir.”
Rapat berjalan panjang, hingga lebih dari empat jam. Peta-peta indikatif dibentangkan di atas meja. Satgas PKA dan Kantor Pertanahan saling mengadu data. Dari satu titik ke titik lain di peta, jari-jari mereka menunjuk, menelusuri garis dan mencocokan data dan aneka regulasi.
Satu jam pertama, perbedaannya semakin tajam. Pihak Pertanahan menyebut PT LTT menguasai banyak HGU, termasuk pernah melakukan peralihan lahan dari PT Letawa ke PT LTT. Dua perusahaan sawit ini sama-sama anak perusahana dari PT Astra Agro Lestari.
Mendengar itu, Eva spontan menegakkan badan. “Sebentar Pak,” potongnya dengan nada tinggi. Ia menatap lurus ke arah Kepala Pertanahan. “Urusan pengalihan lahan seperti ini, apakah dilakukan di depan BPN?”
Muis, pejabat dari Pertanahan, tampak terdiam sesaat. Tak ada kalimat yang keluar. Eva tak memberi jeda. “Kalau hal yang fundamental seperti ini tidak dilakukan di BPN, pantas saja urusan rakyat tak pernah selesai!” Suaranya meninggi, menggema di ruang rapat.
Lamakampali buru-buru menengahi. Eva lalu mengusulkan agar BPN menyusun konstruksi perizinan PT LTT. Ini untuk menelusuri dengan jelas apakah peralihan lahan dari PT Letawa ke PT LTT sah menurut aturan. “Kalau tidak, itu cacat prosedur,” tekan Eva, nadanya masih keras.
Usulan itu langsung diamini pimpinan rapat. “Iya Pak Kantah, konstruksi ijin bisa dibuat ya,” kata Lamakampali, mencoba mengembalikan suasana ke arah diskusi yang lebih terukur.
Namun, Eva belum berhenti. Dengan terbukanya data peta indikatif, ia menunjukkan betapa ruang hidup warga Towiora kian menyempit. Dari luas desa 4.589 hektare, ruang yang tersisa bagi masyarakat hanya 18 persen. “Ini okupasi yang tidak manusiawi,” suaranya merendah, tapi tegas. “Masyarakat kehilangan kendali ruang hidup. UU Agraria melarang monopoli seperti ini. Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan.”
Wakil Bupati Donggala Taufik M Burhan yang mengawasi jalannya rapat, tampak sesekali berbicara. Kendali forum dipegang Lamakampali, sementara yang dominan berbicara hanya tiga orang. Lamakampali, Eva Bande dan Rusli M. Mau.
Kronologis PT LTT Versus Warga
Konflik antara PT Lestari Tani Teladan dengan warga di Kecamatan Rio Pakava, bukanlah kisah baru. Akar persoalannya bisa ditarik jauh ke tahun 2001. Saat itu, DPRD Provinsi Sulawesi Tengah turun tangan sebagai mediator. Ruang sidang di DPRD Sulteng menghadirkan perwakilan perusahaan dan masyarakat desa. Harapannya sederhana. Mencari jalan tengah atas perebutan tanah yang mulai menajam.
Namun, pertemuan itu menurut Abdi SH, Anggota Tim Satga PKA Sulteng, tak pernah menemukan kata sepakat. Perusahaan menawarkan ganti rugi berupa tanah perumahan. Warga menolak mentah-mentah. “Kami bukan hanya butuh rumah. Kami butuh tanah kebun,” begitu kira-kira suara yang berulang kali disuarakan warga.
Menurut Abdi, bagi warga desa, tanah perkebunan adalah urat nadi kehidupan sumber pangan, sumber penghasilan dan warisan untuk generasi mereka. Sejak saat itu, konflik berjalan seperti lingkaran yang tak pernah putus. Setiap upaya mediasi hanya berakhir dengan kekecewaan. Sementara perusahaan tetap menguasai lahan, warga justru menghadapi tekanan demi tekanan.
Kriminalisasi mulai muncul, menghantam warga di garis depan perlawanan. Dari Desa Minti Makmur hingga Polantojaya desa tetangga Towiora kisah penangkapan dan jeratan hukum mewarnai perjalanan panjang konflik ini.
Beberapa warga menyebutkan menyerobot lahan perusahaan, padahal mereka menggarap tanah yang sejak lama menjadi ruang hidup keluarganya. Dua dekade lebih berlalu, perlawanan warga tetap menyala.
Di Desa Towiora, masyarakat masih kehilangan kendali atas tanah mereka sendiri. Lahan garapan tetap berada di bawah kekuasaan perusahaan. Tak ada penyelesaian yang tuntas.
Konflik agraria PT LTT versus warga Towiora pun seakan menjadi potret buram persoalan tanah di negeri ini. Panjang, melelahkan dan lebih sering merugikan rakyat kecil yang hanya ingin mempertahankan haknya.
Poin-Poin Rekomendasi
Setelah hampir lima jam rapat, akhirnya peserta satu suara. Lima poin rekomendasi hari lahir itu juga. Pertama, disepakati bahwa lahan pada HGU Nomor 5 seluas 194,42 hektare, yang sejak lama telah dikuasai masyarakat untuk pemukiman dan perkebunan, akan diserahkan kembali kepada warga Towiora. Mekanismenya melalui proses enclave sesuai Pasal 33 Permen ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2012.
Kedua, lahan-lahan HGU yang terbengkalai, yang tidak lagi dikelola perusahaan, juga harus dikembalikan kepada masyarakat. Rekomendasi ketiga menyangkut hak warga atas kebun plasma. PT LTT wajibkan membangun kebun plasma bagi masyarakat, sedikitnya 20 persen dari luas HGU Nomor 5.
Agar komitmen ini tidak tinggal janji, poin keempat pentingnya langkah cepat pemerintah daerah. Pemda Donggala diminta segera membentuk tim untuk mengidentifikasi siapa saja subjek penerima plasma dan di mana objek lahan plasma 20 persen itu berada.
Terakhir, setelah tim bekerja, pemerintah daerah bersama perusahaan wajib menetapkan objek plasma sesuai hasil identifikasi tersebut. Dengan demikian, hak masyarakat tidak lagi berhenti di atas kertas, melainkan hadir secara nyata di lapangan.
Menjelang sore, ketika rapat panjang itu akhirnya ditutup, Wakil Bupati Donggala Taufik Burhan berdiri dengan nada suara yang tenang namun tegas. Ia berharap, lima poin rekomendasi yang sudah disepakati tak berhenti di meja pertemuan.
“Semua ini harus dijalankan,” sambil berkata, “agar konflik panjang ini bisa terjawab dan yang terpenting, potensi terjadinya antara warga dan perusahaan bisa mereda.”
Ia menekankan, semua pihak mulai dari Satgas RKA hingga Forkompimda perlu mengambil langkah persuasif, menjaga agar warga menjadi tenang, haknya terpulihkan tak lagi terdorong melakukan aksi-aksi yang bisa berujung destruktif.
Di sisi lain, Eva Bande angkat bicara dengan nada berbeda. Ia tidak sekadar menyoroti perusahaan atau pemerintah, melainkan memberi apresiasi. Baginya, sikap kepolisian di Polres Donggala patut dicatat. “Jajaran Polres Donggala sangat persuasif menangani kasus ini,” katanya, dengan mata menatap lurus ke arah para pejabat yang hadir. “Bagi saya Pak Polisi luar biasa.”
Ucapan itu menutup pertemuan hari itu dengan sedikit kelegaan. Di balik ketegangan dan keprihatinan, ada satu titik pengakuan bahwa ikhtiar penyelesaian konflik tidak semata soal aturan dan data. Tapi tidak boleh ada warga negara yang diabaikan – bahkan atas nama pembangunan sekalipun.
Apakah rekomendasi ini akan sungguh-sungguh dijalankan, atau sekedar jadi catatan rapat yang perlahan dilupakan? Taruhannya akan sangat besar. ***
Penulis & foto: Yardin Hasan
Bagikan ini:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak