Oleh: Tasrif Siara
BERJALAN menuju Hagia Sophia di Istanbul, Turki, kita seperti masuk dalam labirin sejarah yang lembarannya tak pernah selesai. Selasa sore jelang ashar, saya telah berada di alun-alun Masjid Hagia Sophia. Pengunjung meluber, gawai beraksi, mereka mengabadikan keindahan eksterior bangunan sejarah dari berbagai sudut.
Para YouTuber sibuk merekam. Setiap sudut, setiap detik. Kamera menyorot, mengabadikan. Di antara keramaian, aroma jagung bakar menyeruak. Pedagang berjejer, melayani wisatawan yang lalu-lalang.
Hagia Sophia. Ikon utama Istanbul. Megah, bersejarah. Di sekelilingnya, jejak peradaban dunia. Ke kanan, tak jauh dari sana—Topkapi Palace. Bekas istana Ottoman. Penuh artefak. Pernak-pernik istana. Manuskrip langka. Semua menyimpan cerita kejayaan.
Dari arah belakang, sekitar lima ratus meter, terdapat Blue Mosque yang megah. Masjid ini dibangun pada abad ke-17 oleh Sultan Ahmed I. Masjid Biru adalah karya arsitektur dari peradaban Islam yang memberi warna perjalanan Turki Usmani berabad silam.
Udara sore itu delapan derajat Celsius, tiupan angin dari Selat Bosphorus terus berhembus. Dingin terasa sampai ke sum-sum, meski baju dan jaket telah berlapis empat.
Cukup lama menunggu di pelataran Hagia Sophia. Untuk shalat harus menunggu tiga puluh menit sebelum azan dikumandangkan. Yang boleh masuk hanya warga lokal Turki.
Bagi turis, boleh masuk dengan membayar 25 Euro, tetapi hanya bisa melihat dari kejauhan, bukan langsung di ruang utama.
Tiga puluh menit jelang shalat ashar, pintu terbuka. Saya masuk bersama ratusan pengunjung dan pertama-tama menuju ruang wudhu di sisi kiri Hagia Sophia.
Ingin rasanya bertayamum. Terbayang guyuran air wudhu di tangan dan wajah, berkolaborasi dengan hembusan angin dingin delapan derajat dari Selat Bosporus—sangat sempurna.
Sebagai warga Kota Palu yang akrab dengan udara panas, saya kerepotan menghadapi situasi ini. Tapi niat untuk shalat di Hagia Sophia dan melihat arsitektur serta seni yang ikonik itu secara langsung mengalahkan segalanya.
Perlahan kaki melangkah menuju ruang utama. Di situ, kita seperti dikepung oleh kemegahan karya seni arsitektur yang sangat kaya dan bernilai tinggi.
Hagia Sophia adalah produk peradaban sejarah yang spektakuler, peninggalan Kaisar Justinian I dari Kekaisaran Bizantium enam abad lampau. Ia kemudian diperkaya dengan karya seni dan arsitektur Islam pada era Sultan Mehmed II.
Udara di ruang tengah itu sedikit hangat. Suhu ini membantu warga negara tropis yang akrab dengan udara panas.
Memang, Hagia Sophia hari ini tak bisa dilepaskan dari kisah heroik Sultan Mehmed II, atau Muhammad Al Fatih. Di situ ada sejarah penaklukan dan kemenangan pada 29 Mei 1453, jelang ashar.
Jelang ashar pula, saya duduk dengan takzim sembari melantunkan dzikir usai shalat sunnah tahiyatul masjid di ruang tengah Hagia Sophia.
Catatan sejarah merekam, Muhammad Al Fatih ketika pertama kali berada di ruang tengah Hagia Sophia langsung memerintahkan pembersihan setelah berhasil merebutnya dari tangan Kekaisaran Bizantium.
Ia juga memerintahkan agar mihrab segera dibangun dan digeser sembilan derajat dari posisi Baitul Magdis ke arah Baitullah. Seterusnya, ia meminta azan dikumandangkan. Pemimpin perang yang baru berusia dua puluh satu tahun itu pun memimpin shalat ashar.
Selasa sore itu (19/02/25), saya duduk di shaf pertama Masjid Hagia Sophia. Polisi yang bertugas di masjid itu meminta saya untuk maju ke shaf paling depan.
Di situ, roda sejarah seperti berputar. Saya membingkai kisah masa lalu karena posisi duduk saya sepertinya tak berjarak dengan Muhammad Al Fatih ketika ia memimpin shalat ashar enam abad lampau. Lamunanku buyar ketika muazin melantunkan azan ashar.
Saya menghitung, terdapat lima shaf pada deretan terdepan. Lantainya ditinggikan sekitar sepuluh sentimeter dan diberi pembatas. Jamaah di posisi itu umumnya berasal dari berbagai negara, termasuk beberapa dari Indonesia.
Usai azan dikumandangkan, Imam Masjid Hagia Sophia yang mengenakan jubah coklat muda dan topi khas Turki Usmani maju ke depan. Sang Imam berjalan perlahan di sebelah kanan saya. Tak lupa, saya ucapkan salam kepadanya. Ia membalas dengan senyum ikhlas, dan saya memperkenalkan diri dari Indonesia.

Usai shalat ashar, saya larut dalam zikir seperti yang dilakukan di masjid-masjid di Kota Palu. Namun, yang membedakan, zikir bukan dipimpin oleh imam, melainkan oleh muazin yang mengumandangkan azan.
Saya larut dalam zikir itu sembari membayangkan era keemasan Ottoman yang berpusat di Istanbul. Sesekali, saya menatap ornamen interior yang sangat megah—kaligrafi asma Allah dan Rasulullah yang sangat menonjol.
Usai zikir, doa dikomunikasikan oleh tiap jamaah. Saya tak lupa berdoa agar Allah menerima amal ibadah dan pengorbanan para syuhada era Turki Utsmaniyah, yang wilayahnya dahulu terhampar luas hampir di semua benua.
Selesai doa, imam Masjid Hagia Sophia mengambil posisi menghadap jamaah dan melantunkan Surah Al-Infitar ayat 1 hingga 19. Bacaan sang imam, yang berwajah perpaduan Eropa dan Timur Tengah, mengalun dengan suara bening dan merdu.
Saya menikmati lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari imam, sembari mata jelalatan menikmati ornamen bangunan dengan karya seni kelas tinggi
Imam Hagia Sophia mengakhiri bacaannya dan memimpin doa dalam bahasa Turki. Kali ini, saya tak bisa ikut serta. Saya berdiri dan mulai memotret setiap sudut karya arsitektur budaya yang bersejarah itu.
Salah satu rekaman foto yang saya ambil adalah mozaik samar di langit-langit Hagia Sophia. Mozaik itu menggambarkan Yesus Kristus dan Bunda Maria. Saat waktu shalat, gambarnya disamarkan melalui teknologi pencahayaan laser. Usai shalat, gambar diperlihatkan kembali.
Omer, tour guide yang menemani kami, menjelaskan sebelum masuk Hagia Sophia bahwa lukisan berbentuk mozaik itu adalah simbol toleransi dan penghormatan yang terus dipelihara masyarakat Turki sejak era Ottoman hingga kini.
Hagia Sophia memang bangunan paling unik dan bersejarah di dunia. Di sana, ada perpaduan karya arsitektur Islam dan Kristen.
Perjalanan sejarah membuat segalanya berubah. Ia mengalami proses transformasi yang panjang, berawal dari kebijakan politik maupun afiliasi keagamaan.
Transformasi itu bermula pada era Bizantium, ketika Hagia Sophia difungsikan sebagai gereja. Kemudian, berubah menjadi masjid pada era Muhammad Al Fatih. Pada era Kemal Atatürk, ia bertransformasi menjadi museum. Hingga akhirnya, pada Jumat, 24 Juli 2020, Presiden Erdoğan mengembalikan Hagia Sophia dari museum menjadi masjid.
Sejumlah elemen arsitektur era Bizantium masih terjaga hingga kini, kubah besar, mozaik emas, dan struktur khas gereja yang tetap berdiri megah.
Hagia Sophia adalah saksi bisu peradaban yang terus berubah, menyimpan jejak kejayaan dari Bizantium hingga Ottoman. Di setiap sudutnya, sejarah tak sekadar tertulis, tetapi terus hidup, menghubungkan masa lalu, kini, dan yang akan datang. ***
Penyunting: Yardin Hasan