Di setiap bebatuan, di balik lembah dan kaki gunung maupun di sela kerangka tengkorak hingga di balik kuncup Drosera burmanii yang dilewati, ada kisah yang menunggu untuk diceritakan. Perjalanan bersama para ilmuwan dalam ekspedisi geopark selama 14 hari bukan sekadar penelusuran alam. Melainkan pencarian jejak bumi yang akan membuka mata banyak orang, pada rahasia yang tersembunyi di setiap sudutnya. Laporannya berikut ini:
SIANG menjelang sore, di Restoran Dodoha, Jalan Yosi, Pamona Puselemba, Kabupaten Poso – belasan orang berkumpul. Mereka tenggelam pada kesibukan masing-masing. Ada yang mengutak-atik laptop, membersihkan kamera hingga yang duduk selonjoran mengabarkan kondisi terakhir kepada anggota keluarga. ‘’Ini baru saja sampe sayang, maaf tidak sempat pamit, jaga diri ya,’’ terdengar salah seorang mengabarkan dirinya dari balik smartphone. Tak berselang lama, Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu datang menyapa dari arah pintu kedatangan. ‘’Selamat siang semuanya,’’ sapanya akrab. Sesaat kemudian, Lian memulai sesi perkenalan. Tidak hanya nama tapi juga lembaga hingga tugas dalam tim ekspedisi harus dirinci lengkap. Usai perkenalan yang tak sampai lima menit, tim langsung melakukan peninjauan di Gua Pamona yang terletak seratusan meter dari Dodoha dilanjutkan ke Ceruk Tangkaboba, yang masih diseputar Kota Tentena. Rencana ke Gua Latea diurungkan, hari sudah mulai gelap. ‘’Besok saja, ini sudah magrib,’’ ujar arkeolog kenamaan Iksam Djorimi kepada rombongan.
Pada hari pertama, komposisi tim ahli Geopark Poso, belum benar-benar lengkap. Sebagian besar sedang dalam perjalanan. Geolog Dr Abang Mansyursyah S Nugroho, sedang dalam perjalanan dari Singapura menuju Makassar. Dr Muhamad Herjayanto sudah tiba dari Banten, tapi sedang perjalanan menuju Tentena. Ir Riska Puspita Geolog dari Untad baru akan bergabung dan akan menyusul usai merampungkan misi lainnya di Semarang. Pun demikian halnya, dengan Ida Bagus Oka Agastya dari Batur Unesco Geopark, Maskuri Utomo Dosen Ekonomi Untad, Lani Mokonio, aktivis Pariwisata Berkelanjutan – melalui WA Grup mereka terus mengabarkan kepastian dan posisi mereka. Seiring waktu, satu persatu para ahli ini mulai berdatangan, membuat komposisi tim makin bertenaga dan perjalanan ekspedisi semakin kaya dengan perspektif lintas pakar.
Dengan keilmuannya, para ahli benar-benar saling menggenapi. Misalnya, ketika Riska Puspita, Dr Abang dan asisten geologi, Anugerah Stefandi menjelaskan batuan dan mineral yang membentuk rupa bumi, lalu ditimpali dengan penjelasan runut tentang jejak habitat hewan air di sekitar situs oleh Muhamad Herjayanto, diikuti Iksam Djorimi tentang tinggalan kuno, membuat perjalanan ekspedisi bak perburuan puzzle yang menautkan sejarah manusia, rupa bumi dan habitat alam. Lalu ketika geolog Riska Puspita dkk membaca jejak waktu di bebatuan, giliran Dr Herjayanto menemukan kehidupan yang mengisi celahnya. Saat bersamaan Iksam Djorimi, menggali cerita peradaban manusia yang terukir di dalamnya. Tak sampai di situ, analisa ekonomi dari Maskuri Utomo dan Lani Mokonio tentang pariwisata berkelanjutan, dan Oka Agastya yang membuat peta perjalanan wisata yang membuat kisah-kisah purba itu tak hanya tersimpan sebagai pengetahuan. Namun sebaliknya. Kisah kisan puluhan juta tahun lalu itu terasa hidup bahkan dikelola untuk memberi nilai tambah ekonomi bagi manusia.
Di belakangnya, ada Neni Muhidin sebagai pencatat norma, nilai, bahasa, ritual dan praktik sosial masyarakat, dengan ketekunannya akan mengabadikan untuk generasi nanti. Kolaborasi kompak ini, seperti menenun kisah utuh tentang rupa bumi dan makna keberadaannya.
Kepayahan Menuju Kampung Tua Suku Pamona
Hari berikutnya, stamina tim ekspedisi diuji dengan perjalanan menuju Wawondoda, sebuah kampung tua suku Pamona – begitu tokoh adat Sawidago Hajai Ancura menyebutnya. Sepenggal dari perjalanan ini ditempuh dengan kendaraan roda dua. Selanjutnya, harus jalan kaki melewati kebun cengkeh, semak belukar, gua hingga hutan. Turun dari sadel motor, rombongan terlihat antusias. Hasrat untuk menjajal batuan malihan sebagai tetengger kampung tua ini, seperti tak terbendung.
Start diawali dengan kontur tanah menurun, rombongan masih terlihat kompak dan kuat. Suara saling menyemangati tampak terdengar. Tak sampai 15 menit peserta mulai mengelompok sesuai usia dan ketangguhan fisik masing-masing. seleksi alami mulai berjalan. Tommy, sapaan akrab Maskuri Utomo, terlihat mulai tertinggal. Air yang mengisi tumbler terpantau mulai berkurang drastis. Basrul dari Tim Media, mengambil inisiatif menjadi sweeper. Berada paling belakang untuk memastikan tidak ada anggota tim yang tertinggal. Neni Muhidin, menyarankan kepada dosen ekonomi itu tidak melanjutkan perjalanan. ‘’Pak Tom, kalau tidak bisa lanjut tidak apa-apa,’’ begitu saran Neni.
Tapi saran itu diabaikan. Ia tetap berjalan, walau tertinggal beberapa meter dari kawan-kawannya. Tommy akhirnya tiba bersama semua rombongan di situs yang dituju – Wawondoda, sebuah kawasan di ketinggian dengan batu malihan menjulang serta tengkorak berserak di sela-selanya. Walau kecapekan Tommy masih sempat memberikan analisa ekonominya. ‘’Di sini kan tidak mungkin dibuat warung,’’ sahutnya diselingi senyum ringan. ‘’Jadi perlu dibuatkan paket perjalanannya. Cakep sih ini,’’ tambahnya sambil menenggak sisa air dari tumbler mungil yang selalu dikepitnya. Beberapa hari kemudian, dosen muda ini tampak semringah memperlihatkan rekaman perjalanannya. ‘’Waktu di Wawondoda sampe 11 ribu langkah,’’ katanya puas.
Sementara, Iksam Djorimi, arkeolog yang terbiasa menjajal hutan di sekitar Danau Poso, mengaku sudah terbiasa. Tiba di Wawondoda, ia antusias menjelaskan asal muasal tengkorak, prosesi penguburan tua suku Pamona. Stefandi Nugraha, tak berhenti membenturkan palu geologi ke batuan dan memasukan serpihannya ke plastik transparan. Beberapa hari sebelum kedatangan ahli geologi, Stefandi menjadi kejaran tim media untuk diminta pendapatnya. ‘’Iya ini namanya batuan malihan terbentuk melalui proses yang panjang. Saya sebatas itu dulu, nanti untuk lengkapnya bisa tunggu Doktor Abang dan Ibu Riska,’’ elak Fandi yang tampak selalu merendah.
Fandi dan Rahmat, asisten arkeologi, keduanya selama ekspedisi memegang peran kunci. Di samping pengetahuannya yang mumpuni, mereka memegang koordinat geosite. Jika keduanya keliru membaca koordinat, rombongan dipastikan akan tersesat di hutan belantara. Seperti pengalaman menuju puncak Wawondoda. Eko Kurniawan dan beberapa orang yang pernah kesana mengaku jika jalan yang dilalui salah rute. Rahmat dan Fandi, yang memegang kompas pengarah juga mengamini pendapat Eko tersebut. ‘’Ini terasa agak jauh, tidak seperti yang kami lalui dulu,’’ cetus Eko peneliti muda memperkuat argumennya.
Belakangan, salah satu penunjuk jalan memberi bocoran. ‘’Masuk ke kawasan ini, antara rute kedatangan dan kepulangan dianjurkan berbeda,’’ ungkap warga setempat yang mengarahkan rombongan. Mendengar penjelasan berbau mistis ini, selanjutnya suasana kepulangan yang terasa lebih cepat – berlangsung senyap. Tidak ada lagi celetukan dan haha-hihi. Dari kejauhan air di botol milik Tommy sudah tandas.
Kedatangan Dr Abang yang disusul kedatangan Riska Puspita, beberapa hari kemudian membuat suasana ekspedisi semakin kental dengan nuansa intelektual. Apa lagi Iksam Djorimi yang sejak awal sudah memulainya dengan penjelasan arkeologi yang luas dan dalam, membuat sesi wawancara terasa lebih bertenaga. Penjelasan Dr Herjayanto dan update dari Eko Kurniawan peneliti yang sebentar lagi akan melanjutkan studinya di negeri mendiang Lady Diana, membuat misi kali ini mirip mimbar ilmiah. Acap kali penjelasan para pakar itu, membuat puyeng. Geologi dengan istilah yang kompleks, intrusi magmatik, stratigrafi atau metamorfisme membuat tim media kelimpungan mentransformasikan ke bahasa populer. Konsep yang abstrak misalnya skala waktu dari puluhan juta tahun ke hanya jutaan tahun. ‘’Bikin pusing,’’ celetuk salah satu tim media. ‘’Logika geologi memang rumit. Bisa diperoleh di semester enam,’’ canda Riska yang disambut tawa riang anggota rombongan. Lian Gogali Ketua Tim Ekspedisi Poso, saat diskusi terakhir di Dodoha, tampak kepayahan menyimak penjelasan saintific dari Riska Puspita.
Penjelasan ilmuwan biologi juga tak kalah rumitnya. Tak hanya terminologi latin, tapi bagaimana keterhubungan spesies tertentu dengan kondisi geologi di tempat lain juga sukses membuat pusing. ‘’Ini tidak bisa Kak Lian, karena penelitiannya belum ada,’’ tangkis Eko saat diskusi terakhir presentasi hasil lapangan. Kesulitan yang sama juga ditemui di arkeologi. Konteks sejarah dan budaya yang mendalam dan pembahasan artefak sering memerlukan pengetahuan latar belakang sejarah, sosial dan budaya yang mendalam. Misalnya, ketika Iksam Djorimi yang selalu ditempel asistennya Rahmat Gunawan, menjelaskan fragmen artefak, sisa struktur atau lapisan tanah. Di sini, tim media harus memerlukan imajinasi untuk membayangkan bentuk aslinya atau penggunaannya di masa lalu. ‘’Asli bikin pusing,’’ sahut Yogi yang buru-buru menurunkan kamera rekamannya.
Dikelilingi orang-orang super serius, bukan berarti bawaannya serius. Kelucuan tetap saja mengiringi perjalanan 14 hari itu. Misalnya, ada yang nyeletuk orang-orang arkeologi adalah orang yang susah move on, kerjaannya hanya menoleh kebelakang suka mengulik masa lalu. Disebut juga suka kepo. ‘’Masa peti tengkorak diperiksa untuk tau kebiasaan orang dulu,’’celoteh salah satu rombongan saat turun dari Gua Latea. Saat menguber koordinat Sinkin Pandiri yang akhirnya gagal itu, Fandi bersama dosennya memburu koordinat dengan motor pinjaman. Setengah jam dari sana, kembali dengan tangan hampa dalam keadaan basah kuyup. ‘’Dapat Bu?,’’ tanya anggota lain penasaran. ‘’Tidak dapat. Kita hanya putar-putar di bawah pohon cokelat,’’ sahut Riska tersenyum.
Saat berada di Air Terjun Kolori, suasananya mirip piknik. Air terjun yang jernih, suara gemericik air yang menenangkan di tengah hutan hijau dan pemandangan Lembah Bada yang asri membuat momen ini terasa sempurna. Padahal, tujuan ke air terjun di Lembah Bada bukan piknik, tapi mempunyai misi serius. Dr Abang dan Fandi dengan palu geologi yang selalu mengait kuat di ransel, masuk di sela-sela tebing berlumut untuk memastikan, di sana ada batuan granodorit sebagai bagian dari instrusi granitoit dengan rentang usia antara 2,35 tahun atau berumur pliosen di sepanjang pegunungan barat Sesar Palu – Koro. Demikian pula dengan arkeolog Iksam Djorimi. Sejuk air gunung dan suasana alami hutan perawan, tak mengendurkan fokusnya untuk membahas hal-hal serius, yakni Kalamba sisa warisan manusia beratus tahun lampau. Ia menjelaskan dengan runut tentang kalamba yang belum selesai dibuat, yang terdapat di sisi jalan menuju air terjun.
Empat belas hari menjelajah lembah, gunung dan memeriksa batok kepala berusia ratusan tahun, tim akhirnya menyudahi edisi keempat, Ekspedisi Geopark Poso. Tapi kerja tim ini belum benar-benar rampung. Fokus selanjutnya adalah menyusun rencana induk (renduk) Geopark Poso, yang akan ditindaklanjuti dengan pertemuan daring. Saat pertemuan luring terakhir yang tidak semua diikuti oleh tim ahli, peserta rapat menyetujui tema, yakni, Geopark Poso: Jejak Purba di Jantung Celebes. Tema ini diekstrak dari hasil perjalanan anggota tim selama dua pekan perjalanan. Ida Bagus Oka Agastya, adalah orang yang dipercaya untuk mencari hubungkait dan menemukenali sekaligus menyimpulkan saripati pembicaraan untuk mendapatkan kalimat kunci. ‘’Dari pemparan tadi, kata yang paling terdengar adalah, purba, Poso, budaya, sidat dan Sulawesi. Jadi tema kita seputar ini,’’ katanya meminta persetujuan.
Hingga akhirnya, kalimat yang dianggap mewakili misi perjalanan selama 14 hari, bahkan misi pada tiga ekspedisi sebelumnya, yakni: Geopark Poso, Jejak Purba di Jantung Celebes. ‘’Kenapa Celebes, kenapa bukan Sulawesi,’’ tantang Lian yang memimpin rapat. ‘’Jika dari sisi kepurbaan, maka Celebes lebih mengena daripada Sulawesi,’’ kilah Oka. Ekko Kurniawan peneliti muda yang beberapa tahun meneliti sumberdaya hayati di Danau Poso setuju menyematkan kata Celebes. ‘’Iya Kak Lian, banyak endemik Poso yang kita beri nama menggunakan akar kata Celebes,’’ ujar Eko meyakinkan. Riska Puspita tampak mengangguk setuju dengan usulan ini. Anggukan dosen muda ini, sekaligus mengunci pertemuan yang berlangsung hingga sore tersebut. ‘’Kalimat ini kita kuncil dulu untuk sementara. Nanti kita bahas bersama dengan tim lain,’’ ujar Lian diakhir rapat.
Sementara itu, tak seberapa jauh dari jejeran gelas mungil di meja barista, teronggok tas pakaian. Beberapa anggota tim bersiap pulang, kembali ke kota masing-masing.***
Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Basrul Idrus/Institut Mosintuwu