Kemanusiaan

Perawat, Pasien Covid dan Drama Perburuan Enam Babak

MELAYANI DENGAN HATI - Perawat tanpa kenal lelah, pukul 02.00 menyambangi ibu membantunya meminum air dan makan camilan

MALAM semakin tua. Jam dinding menunjukkan pukul 23.45. Sebentar lagi jarum jam tergelincir menuju 3 Agustus 2021. Namun kesibukan perawat di unit Instalasi Gawat Darurat, di rumah sakit rujukan Covid-19 tak jua mengendur. Lalu lalang perawat dengan gerakan yang tak benar-benar lincah karena dibebat pelindung diri yang rapat, tampak makin sibuk.

Kesibukan seolah belum menunjukan puncaknya. Lalu lintas perawat, mulai yang membawa tiang infus, mendorong kursi pasien, menenteng keranjang mini berisi pengukur tensi darah dan oxymeter – alat kecil pengukur oksigen dalam darah, terus menyesaki lorong kecil menuju akses ke bangsal IGD. Di lorong sempit itu, masih ada pasien dengan kantong infus bergelantungan. Pasien-pasein itu tak kebagian tempat tidur di bangsal IGD. Di ruangan lain pengambilan foto thoraks di ruang radiologi, kesibukan tak terlihat mengendur. Pasien yang tampak kaku dengan wajah kusam menahan siksa berusaha sabar mengantre untuk diambil foto rontgen.

Di malam selarut itu, di antara seliweran perawat serta wajah pasien dan keluarganya yang panik, menyempil pula petugas kebersihan dengan lincahnya menyibak tirai di IGD. Bekerja dalam diamnya. Tubuhnya dibungkus penuh pakaian pelindung hingga menyerupai perawat dokter spesialis. Yang membedakan adalah properti di tangan. Ia memegang sapu dan kain pel. Pembeda kedua, ia mungkin tidak menerima insentif seperti tenaga kesehatan Rp10 – 15 juta untuk dokter spesialis dan dokter umum/gigi. Dan Rp5 juta dan Rp7,5 juta untuk bidan dan tenaga perawat biasa. Padahal peluang risiko terpapar virus antarkeduanya sama bahayanya. Ia terlihat membungkukkan tubuhnya.  Menjangkau kotoran pasien di bawah ranjang. Membersihkan kamar mandi/WC, memastikan bangsal IGD tetap bersih dan nyaman. Ia sadar bahaya mengancam jiwanya. Tapi demi panggilan tugas – risiko-risiko itu diabaikannya.

Tak banyak percakapan antarperawat di malam-malam sibuk itu. Jika harus berbicara, mereka memilih berdialog dengan pasien. Mencoba memahami keluhan. Namun suara pasien yang terus mengerang, menenggelamkan suara lirih perawat yang keluar dari sela-sela masker lapis tiga.

MULAI BERKURANG – Pasien makin berkurang, petugas di bagian isolasi mulai berkurang tugasnya seiring dengan makin kurangnya pasien Covid-19

Pada pandemi ini, semuanya tampak babak belur. Para perawat yang kepayahan karena tenaga yang terus berkurang – saban hari selalu ada yang menarik diri dari garis depan perang melawan virus SARS Cov-2. Mereka ikut terpapar.  Masyarakat umum dengan literasi soal virus yang  minim, terus membanjiri rumah-rumah sakit rujukan Covid-19. Di luar sana banyak yang berani melawan kebijakan PPKM berjilid-jilid – karena berdampak pada ekonomi keluarganya. Nyaris semua orang babak belur. Namun kita babak belur pada kadar yang berbeda.

Setidaknya, ini terlihat dari pengalaman selama dua hari di unit IGD, dua hari di ruang isolasi Covid, lima hari di Paviliun Merak serta sisanya di balik beton isolasi – di Asrama Haji, Jalan WR Supratman – Palu Barat.  Perawat di garis depan yang terus terkuras tenaganya dan belasan lainnya mundur karena terpapar virus – tak lagi sebanding dengan aliran pasien yang terus berdatangan dari segala arah. Sesiap-siapnya recources dan otoritas kesehatan akhirnya jebol juga. Bed Occupancy Rate (BOR)  tak lagi cukup lagi. Sebagiannya harus di tenda dan teras IGD. Walau di teras mereka masih diupayakan mendapat tempat tidur plus kasur bahkan seprei dan bantalnya.

Namun cadangan oksigen yang menipis di rumah sakit, membuat perjuangan hidup mati menjadi tak terelakkan. Ketiadaan oksigen, membuat kematian seperti sudah sangat dekat. Doa-doa terus dirapalkan. Doa yang tak hanya berharap soal memohon kesembuhan. Tiap di doa itu, terselip pula harapan agar tabung oksigen ada secepatnya. Ya secepatnya.  Oksigen menjadi begitu krusial. Udara yang bisa dihirup dengan bebas, bagi penderita Covid telah menjadi siksaan yang memperhadapkannya pada dua pilihan.  Hidup dan mati.

Perjuangan berjibaku mendapatkan mendapatkan tabung oksigen itu, setidaknya bisa diikuti dari drama enam babak sebuah keluarga sederhana di Jalan Banteng – Palu Selatan. Sebuah perjuangan mengharu biru dari empat anak-anak dan menantu, yang berjuang agar orang tua mereka yang berusia 64 tahun, meraih kembali kehidupannya.  Saat peluang hidup sang ayah tinggal di ujung harapan. Saat harapan hidup tinggal terdengar lirih dalam alunan doa-doa yang keluar dari jiwa-jiwa yang pasrah, terus meriung mengiringi hari-hari yang tak pasti itu.

Simak saja pernyataan seorang perawat di bilik IGD yang mempertegas situasi ayah mereka. ”Sebagai perawat saya ingin semua pasien saya sehat. Saya berusaha sekuatnya. Tapi melihat riwayat yang menderita gula darah tinggi mencapai 470, harapan itu tipis,” tukas sang perawat. Pernyataan itu bak palu godam yang menghantam batok kepala – sebuah statemen yang disampaikan seorang expert. Ayah mereka berstatus pasien Covid, punya penyakit penyerta dengan katagori lansia, fakta yang makin membuat keluarga kecil seperti mereka kehilangan harapan. Apa lagi di kiri kanan, pasien lansia bergantian wafat. ”Suasananya benar-benar horor. Ayah saya divonis oleh perawat seperti itu, lalu di kiri kanan pasien bergantian meninggal,” ungkapnya menceritakan kengerian yang dialaminya.

Cerita dari perawat kepada keluarga kecil di Jalan Banteng ini memang membuat mereka limbung seketika. Tapi kesadaran untuk terus berjuang demi ayah tercinta menancap kuat di benak empat anaknya. Perjuangan hidup mati benar-benar terasa, saat pasien membeludak. Itu artinya persaingan mendapatkan oksigen makin ketat. Bahkan seperti yang terlihat pada akhirnya banyak pasien yang tidak mendapat oksigen.

Di sinilah kemudian perburuan oksigen dimulai. Saat di IGD, tiba-tiba ayahnya drop diserang sesak napas. Sambil berteriak memanggil dokter dan perawat, ia menyambar tabung oksigen yang sepuluh menit lalu dicopot dari pasien yang wafat. Saat itu rumah sakit sedang tidak ada oksigen. Dalam situasi panik, keempat kakak beradik ini berembuk. Tidak ada pilihan lain. Aliran pasien dari luar terus memadati IGD, teras hingga tenda di halaman rumah sakit. Melihat situasi itu, kakak beradik ini menyadari peluang mendapatkan oksigen makin kecil – untuk tak menyebutnya peluang itu telah tertutup sama sekali.

Dari sinilah perburuan oksigen enam babak dimulai, yakni saat menyadari pasokan oksigen rumah sakit ternyata tidak bisa diandalkan. Diawali dari gerakan sigap menyambar sisa oksigen yang ditinggalkan pasien yang meninggal, langkah berikutnya, mereka berempat plus menantu membuka komunikasi seluas-luasnya. Menghubungi kerabat. Mencari kawan dekat. Komunikasi ke kawan-kawan lama – soal kemungkinan mendapat oksigen. Bagamimana pun caranya. Termasuk membeli entah di pasar gelap atau di pasar terang.

Hampir sejam menghubungi orang-orang di luar – akhirnya mendapatkan oksigen pinjaman 15 kg milik salah satu kawan. Bersamaan dengan itu, didapat pula tabung ukuran dengan isi 60 kilogram. Disewa sebesar Rp200 ribu per bulan.

Usai mendapatkan tabung oksigen, problem belum selesai.  Babak berikutnya adalah mengisi tabung ke stasiun pengisian oksigen di Palu Utara. Di sini, kendala lain kembali menghadang. Tidak ada kendaraan untuk mengangkut tabung kosong ke tempat pengisian. Pekerjaan mencari mobil terlihat enteng. Namun sebenarnya susah. Karena yang diangkut adalah tabung dari rumah sakit. Para sopir angkutan online berfikir panjang untuk memobilisasi alat dari rumah sakit rujukan covid. Ada kawan karib dari Jalan Lagarutu yang akhirnya bersedia. Dari sini, usaha mendapatkan oksigen tampaknya bakal terlihat mudah. Setidaknya, tabungnya sudah ada. Mobil antarjemput pun sudah siap. Ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Tabung ada. Uang sudah di tangan. Plus mobil yang berlari kencang ke rumah sakit.

Di perusahaan stasiun pengisian, petugas ternyata tidak bisa melayani tabung milik keluarga ini. Setelah mengetahui, oksigen digunakan oleh ayah mereka yang menderita Covid di rumah sakit. Alasannya, kuota untuk pasien di rumah sakit sudah dicadangkan sesuai kebutuhan rumah sakit. Pengisian dilayani untuk yang dirawat di rumah. Negosiasi bercampur kesal tak mempan.

”Saya menangis dan kesal, begitu susahnya mendapatkan oksigen. Padahal papa butuh skali oksigen. Yang sedang terpasang sudah mau habis, karena hanya dicopot dari sisa-sisa pasien yang meninggal,” ungkapnya. Perlahan air matanya merembes, mengenang perjuangan menyelamatkan nyawa orang yang sangat disayanginya. Ia lalu memutar otak. Menelpon adiknya di rumah sakit secepatnya ke Palu Utara. Sang adik diminta mengaku sebagai pasien Covid yang dirawat di rumah dan membutuhkan oksigen segera.

Penyamaran itu berhasil.

Namun mengisi tabung oksigen, tidak seenteng mengisi air galon. Untuk tabung dengan kapasitas 60 kg, butuh 1 – 1,5 jam hingga terisi. Di samping proses pengisiannya yang butuh waktu, antrean juga panjang. Yang butuh oksigen tak hanya perorangan dan rumah sakit di Kota Palu. Di dalam barisan antrean ada yang dari Desa Tambu, Palolo hingga kulawi bahkan Kabupaten Poso. ”Bayangkan kapan tabung saya terisi,” katanya mengenang kegelisahannya. Malam pun terus larut.

Sementara di sana, di rumah sakit ayahnya yang masih mengandalkan tabung sisa yang sedari tadi, mulai terlihat menipis. Menunggu datangnya oksigen dari Palu Utara, itu akan buruk dan konyol. Dalam penantian yang panjang dan berkelok ini, ayah mereka harus membutuhkan suplai oksigen baru. Segera. Sekarang. Secepatnya.

 

Menunda berarti fatal. Dalam waktu-waktu yang kritis, sang kakak, ditemani petugas kebersihan kenalannya, menemukan ide. Berdua, mereka mencari oksigen sisa di setiap bilik rumah sakit. Tak peduli malam yang makin larut. Ruangan yang pintunya terbuka langsung dimasuki. Petugasnya ditanyai bahkan didesak, apakah ada sisa oksigen. Ruangan yang tertutup, pintunya digedor. Petugas jaga dibangunkan. Ditanyai dengan maksud yang sama. ”Kadang saya memelas. Di ruangan lain yang respons petugasnya lamban saya kadang mendesak. Begitu seterusnya sampai nyaris semua ruangan dimasuki,” katanya merinci perjuangannya.

ZONA MERAH – Di setiap sudut rumah sakit, sebagian besar lingkungan rumah sakit selalu ditemui peringatan ini. Zona terlarang dilalui

Upaya itu berhasil. Saat ia masuk di ruang perawatan anak. Petugas kebersihan yang sudah kenal medan, menjelaskan kedatangan mereka yang mendadak itu. Sejurus kemudian, gantian dia yang berbicara. Sementara menjelaskan, dengan nada memelas, tangannya bahkan sudah melingkar di tabung oksigen. Ingin rasanya tabung 60 kg itu segera didorong menuju ruang ICCU Covid tempat ayahnya dirawat. Tak butuh waktu lama, petugas itu membolehkan. Sesaat kemudian, tabung sudah berpindah di atas troli pendorong tabung. Suara roda troli berisik menggilas ubin terdengar menggelegar membangunkan petugas jaga di setiap ruang yang dilalui dua perempuan dengan cemas tinggi ini.

 

Tabung ini sangat urgen. Setiba disana, ayahnya sudah mengeluh. Tak lagi merasakan udara segar masuk ke rongga dadanya. Menandakan oksigen sisa itu sudah habis. Ia terus mengerang. Hingga akhirnya oksigen sisa dari ruang anak memperpanjang harapan hidup ayah dengan empat anak dan dua cucu itu. Sejam kemudian, oksigen dari Palu Utara tiba – Malam pun makin tua. Sesaat lagi, shalawat tarhim mengumandang memecah langit sunyi di subuh yang penuh perjuangan itu.

Namun perjuangan, keluarga kecil dari Jalan Banteng ini, walaupun harus melalui jalan berkelok, enam babak yang penuh drama, setidaknya tetap beruntung. Mendapat tempat tidur dengan fasilitas memadai. Diawasi dokter spesialis yang tiada henti memompa semangat hidup pasien. Hasilnya, kini ayah dengan dua cucu itu, tak lagi menghuni ICCU Covid. Pemeriksaan terakhir dinyatakan negatif SARS COV-2. Kini dipindahkan di paviliun non Covid. Anak-anaknya masih terus mengawal perawatan untuk dua hal. Mengobati diabates dan melatih kembali organ pernapasan untuk menerima kembali fungsi utamanya – setelah selama 22 hari terakhir menggunakan napas dari tabung

BERJEMUR – Pasien di fase pemulihan berjemur, bercengkerama sekalian membunuh kebosanan berhari-hari di balik tembok isolasi

”Alhamdulilah. Dokter dan perawat yang merawat. Adik-adik dan suami juga tak lagi memikirkan dirinya. Semuanya dicurahkan di sini. Sejak papa dirawat saya selalu menitip sedekah di manapun saat kesempatan itu ada. Ini juga berkat doa-doa mereka,” ungkapnya penuh syukur. Dalam 22 hari perawatan ayahnya, kakak beradik ini menghabiskan sedikitnya Rp3 juta untuk belanja oksigen.

Sekali lagi Keluarga kecil ini pantas bersyukur. Di teras rumah sakit banyak yang tidak seberuntung keluarga dari Jalan Banteng ini. Teramat banyak pemandangan memilukan yang tersaji pada hari-hari penuh horor itu. Cerita keluarga dari Tagari Lonjo – Kelurahan Duyu adalah salah satunya. Dua dari lima anggota keluarga yang berdiam di rumah, terkonfirmasi virus. Yang satunya usia 29 tahun berstatus OTG. Sedangkan ayah mertuanya gejala sesak napas parah. Dua malam tertahan di teras rumah sakit. Beruntung, saat menjalani perawatan, Kota Palu sedang tidak hujan. Maka selamatlah ayah dan mertua itu selama dua malam dengan cairan infus bergelantungan di sana sini.

Hari kedua, menantu yang ditemani ayah dan anak putrinya terlihat menandatangani dokumen pernyataan pulang (atas permintaan sendiri). Surat ini diteken dua belah pihak. Antara pasien dan rumah sakit. Sang putri berusia 16-san tahun yang terlihat telaten mengurus ayahnya, mengaku, menandatangani surat pernyataan karena tidak ada jaminan bakal mendapatkan oksigen. ”Daripada di sini. Dirawat di teras dan belum tentu dapat o2, lebih baik papa dirawat di rumah,” katanya polos. Jujur ia mengaku, lebih merasa nyaman dirawat di rumah sakit, karena perawat siaga saban waktu. ”Tapi apa boleh buat, ternyata begini situasinya,” katanya sambil membantu membangunkan ayahnya yang terbaring lemas.

Sesaat kemudian tangannya terlihat cekatan mengemasi barang. Bersiap pulang. Di jarak lima meter, mobil pikap milik tetangganya siap membawanya ke rumah. Sebelum beranjak, menantunya, memanggil salah satu keluarga pasien. Ia masih harus belajar cara memasang dan memantau oksigen.

Memilih pengobatan mandiri, keluarga ini sadar semua kebutuhan pengobatan harus ditanggung sendiri. Namun nasib baik ternyata masih berpihak pada keluarga ini. Ia mendapat tabung pinjaman dari kerabatnya. Dua tabung, ukuran 60 kg. Pekerjaan berikutnya tinggal mengisi tabungnya ke Palu Utara. Sekali isi keluar duit Rp121 ribu. Keluarga ini mengontrak perawat, dengan sekali kunjungan diupah sebesar Rp200 ribu. Biaya tersebut di luar dari obat yang harus ditebus di luar.

Saat baru pulang dari rumah sakit, frekwensi kunjungan perawat dilakukan setiap pagi selama seminggu. Sekali kunjungan bisa paling lama 60 menit, dengan konsultasi berbagai masalah kesehatan yang dihadapi. Asupan yang harus dikonsumsi. Serta makanan apa yang boleh dan tidak – mengingat ayahnya adalah lansia yang membopong penyakit bawaan. Saat ini seiring dengan kondisi pasien yang makin membaik – frekwensi kunjungan tergantung kebutuhan. Jika tiba-tiba ada masalah serius – dalam hitungan menit perawat sudah berada di ambang pintu. Kini, memasuki pekan kedua perawatan mandiri, kondisi ayah mereka berangsur membaik. Konsultasi kesehatan sesekali dilakukan melalui telepon atau komunikasi pesan watshapp.

PULANG – Setelah menyelesaikan masa isolasi sesuai standar Kemenkes 14 hari, pasien disemprot sebelum kembali pulang bersama keluarga

Di teras rumah sakit pemandangan pasien yang menandatangani surat keterangan pulang, akrab ditemukan. Mayoritas yang memilih pulang  disebabkan  ketiadaan oksigen. Beberapa kali menyaksikan, keluarga pasien melangkah gontai menyeret langkahnya meninggalkan halaman rumah sakit, usai membubuhkan tandatangan di atas kertas  yang redaksionalnya sudah disiapkan rumah sakit. Intinya, kepulangan pasien dilakukan tanpa paksaan dan meminta pulang atas kesadaran dan permintaan sendiri.

Menyaksikan wajah-wajah pasien dan keluarganya yang menangis dan putus asa – sontak pikiran waras menyelidik, dimana para otoritas pemegang kuasa tertinggi – saat situasi genting membutuhkan intervensi dari orang-orang dengan setumpuk kuasa  dan kewenangan anggaran di tangannya.

Dimana mereka itu……!!!!

Mereka yang dengan sadar, berjanji atas nama agamanya. Dan bersumpah atas nama Tuhannya, akan mengurus  A B C D kebutuhan warganya. Tapi pada urusan yang sangat urgen menyangkut kehidupan orang-orang yang dipimpinnya, mereka tak kelihatan. Semasa kampanye mereka menyetel lagak dan senyum terbaik – namun saat genting suara mereka tak kunjung terdengar. Suara mereka tenggelam oleh erangan pasien di balik tembok perawatan. Suara mereka hilang dikalahkan oleh suara rintihan keluarga pasien di teras-teras rumah sakit yang menanti terobosan cerdas dari pemegang kuasa agar mereka segera keluar dari nestapa yang membelit. Tapi sekali lagi suara mereka  tak terdengar.

Hingga pasien-pasien itu mencari jalan kehidupan dengan caranya sendiri. Sebagiannya karena tak mampu membeli oksien, tetap memilih bilik rumah sakit dan keramahan perawat untuk memperpanjang hidup mereka. Namun tak semuanya berhasil. Ada yang menyerah. Mereka pasrah membiarkan semangat hidup yang masih tersisa dijemput takdir.

Inalilahi wa’inailahi rojiuun.
Selamat jalan para Hamba. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan nya.

 

Penulis       : Amanda
Foto-Foto   : Amanda

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: