Masjid Tua Mapane, Tonggak Toleransi dan Titik Nol Relasi Islam Kristen di Kabupaten Poso

DISKUSI – Ibrahim Manjala – tokoh agama di Kelurahan Mapane menjadi narasumber di hadapan peserta Jelajah Geopark Poso Chapter 1, Sabtu 26 April 2025

MASJID tua di Desa Mapane Kecamatan  Poso Pesisir Selatan, tak sekadar bangunan masjid. Bukan pula sekadar tempat sujud  18 rakaat sehari semalam.  Arsitektur sederhana berukuran 8 x 8 meter ini merekam cerita panjang tentang relasi lintas iman. Di negeri yang pernah dikoyak amarah ini, relasi islam kristen pernah terjalin solid. Kisahnya membentang panjang sejak seabad silam.

Masjid dengan dominasi kuning hijau ini, berdiri di batas dua dunia. Laut dengan ombak berdebur dari Pantai Takule dan  jalanan aspal yang bising oleh pekak kendaraan. Di masjid  dengan mimbar sederhana ini, tak hanya doa dan zikir yang mengalun, tapi juga pernah terjadi dialog hangat yang akrab, jujur dan tulus.

Dua tokoh sentral, Andi Baso Ali seorang ulama dan etnograf – yang lain menyebutnya misionaris, Albert Christian Kruyt bertemu dan membincang banyak hal.  Dari tempat inilah, injil menyebar ke segenap penjuru Bumi Sintuwu Maroso, tanpa terusik suara azan. Seolah masjid ini tahu, iman bisa bertumbuh tanpa harus saling meniadakan.  Inilah bukti bahwa di Tanah Poso, perbedaan telah lama menjadi jembatan.  Bukan jurang. Bukan tembok.

Pantai Takule dan Jejak AC Kruyt di Mapane

 Perjalanan jelajah Tim Geopark Poso yang dipimpin Ketua Tim Penyusun Renduk Geopark Poso, Lian Gogali menyinggahi Kelurahan Mapane – Poso Pesisir Selatan. Perjalanan kali ini  tak sekadar menyusuri situs bersejarah. Tetapi juga menyusuri jejak dua tokoh besar di zamannya. Kisah keduanya tersaji melalui catatan salah satu tokoh sepuh di Kelurahan Mapane, Ibrahim Manjala dan Syafrudin Obodjolo.

Diskusi berlangsung dua sesi. Sesi pertama, di Pantai Takule. Di sini, peserta disuguhi cerita abad ke-17 melalui ingatan dan catatan yang tertulis rapi milik Ibrahim Manjala. Pantai Takule yang pada Sabtu 26 April 2025, tampak tenang dengan jejeran perahu milik nelayan,  dulunya   ramai dengan geliat manusia antarbangsa.  Pantai yang kini spot wisata ini, pernah menjadi pusat perniagaan paling sibuk.

Ibrahim Manjala akrab disapa Aji Ibu, menceritakan kapal-kapal berbendera asing memuat barang tekstil, perabot rumah dari negeri jiran Singapura. Maupun dari negara lain. Sedangkan masyarakat lokal mengapalkan hasil bumi, diangkut ke negeri seberang. Dinamika pergerakan barang dan orang di pelabuhan supersibuk itu akhirnya mengantarkan etnograf asal Belanda, AC Kruyt di Pantai Takule – Mapane.

Aji Ibu menuturkan, kedatangan tamu jauh itu diterima dengan senang hati. Baso Ali menjamu hangat tamu di kediamannya yang tak jauh dari pantai. ‘’Andi Baso melihat kedatangan kruyt sebagai saudagar yang membawa misi dagang. Maka pembicaraan pun tak jauh-jauh dari urusan dagang,’’ tuturnya.

Pertemuan dua tokoh ini digambarkan sangat intim. Layaknya tuan rumah yang menjamu tamu dari negeri jauh, maka pembicaraan pun melebar ke banyak hal. Mulai urusan dagang, budaya termasuk misi penginjilan di wilayah itu.

 Masjid Tua Mapane dan Jejak Awal  Penginjilan di  Poso

 Matahari makin garang. Diskusi berpindah ke beranda masjid tua.  Letaknya tak jauh dari Pantai Takule Diskusi didahului dengan penjelasan dari Lian Gogali tentang misi Jelajah Geopark Poso, di depan pejabat Kabupaten Poso. 45 menit kemudian, diskusi yang menghadirkan pembicara Syafrudin Obodjolo dan Harmin, keduanya adalah keturuan kelima Andi Baso Ali – dimulai.

NARASUMBER – Syafrudin Obojolo keturunan kelima Andi Baso Ali dan Arkeolog Iksam Djorimi menyampaikan jejak perjalanan dua agama besar di Poso, Sabtu 26 April 2025

Dalam perjalanannya, masjid tua ini tak sekadar menjadi ruang munajat. Masjid yang dibangun 1923 telah merekam  ribuan peristiwa tentang bagaimana relasi dua agama besar Islam dan Kristen – berjalan beriringan. Mengabarkan keselamatan pada umat masing-masing, tanpa saling menegasikan satu sama lain.

Bangunan ini seperti masjid kebanyakan. Halamannya tertata asri. Dari luar tampak biasa. Kubah kecil menyembul di atas atap. Sebelum masuk, terdapat teras dilapisi ubin putih  selebar 1,5 meter. Tempat imam tampak menonjol di bagian depannya. Kipas angin menggantung kaku di ketinggian. Interiornya didominasi papan. Pada usianya ke 102 tahun, bangunan ini tinggal menyisakan dua perabot yang belum diganti sejak dibangun pada 1923 silam.

Yakni, satu dari empat tiang penyanggah utama, serta satu buah tangga menuju ke bagian kubah.  ‘’Ini kayunya masih asli belum diganti sejak dibangun,’’ Syafrudin menjelaskan. Fungsi tangga tersebut,  untuk akses menuju plafon saat adzan tiba. ‘’Dulu belum ada spiker. Jadi tiap adzan harus ke loteng supaya didengar orang,’’ ungkap Syafrudin yang mewarisi cerita tersebut dari buku catatan keluarga.

Masuk di dalamnya atmosfer masa lalu langsung terasa. Dinding papan dengan cat putih mulai mengelupas. Jelaga menggantung manja dibeberapa sudutnya. Sebilah papan bermotif ukiran sederhana  terpajang di sekeliling – menjadi pembatas antara dinding dan plafon.  Temaram lampu menempel di atas sana, mengisyaratkan tentang beribu cerita dan peristiwa yang berkelindan di dalamnya, menunggu untuk diceritakan.

Selanjutnya, diskusi dilakukan di teras masjid. Sedikitnya 30-an peserta Jelajah Geopark Poso, meriung mendengarkan penuturan dua narasumber. Pimpinan rombongan Lian Gogali  memoderasi diskusi.

‘’Sebenarnya masjid pertama yang dibangun oleh Andi Baso Ali, sudah tidak ada. Letaknya tidak jauh dari masjid yang berdiri sekarang. Tapi keduanya, tidak bisa dipisahkan. Dari sisi kesejarahan maupun peran-peran yang terjadi dikemudian hari – keduanya  berada dalam tarikan napas yang sama. Diniatkan dan diikhtiarkan untuk tujuan yang sama’’ –  Syafrudin memulai paparannya.

AC Kruyt datang di wilayah ini pada 1892.  Pertama menginjakan kaki di Pantai Takule, Baso Ali adalah orang pertama yang ditemuinya. ‘’Beliau kan tokoh agama dan tokoh masyarakat, wajarlah jika Baso Ali yang pertama ditemui,’’  Syafrudin mempertegas.

Sebagai sentra dagang, Baso Ali  menganggap Kruyt adalah saudagar kaya yang membawa banyak uang. Maka, pada diskusi selanjutnya terjadi dialog yang intens. Kruyt  menyampaikan impresinya soal budaya dan geliat perniagaan. Di antara keduanya terjadi diskusi yang intens jujur dan hangat.

MASJID TUA – Masjid tua Mapane masih terurus rapi, merekam perjalanan dakwah dan pertemuan dengan penginjil/etnograf dengan tokoh islam di Mapane

Kruyt sebagai misionaris begitu Syafrudin menyebutnya – istilah ini kemudian disela oleh Lian Gogali. ‘’Dalam literatur dan riset yang kami punyai,   Kruyt adalah etnograf. Dia bukan misionaris,’’ sela Lian.

Ini bisa dibuktikan dengan riwayat perjalanannya sempat singgah di beberapa daerah di Jawa dalam kapasitasnya sebagai etnograf.

‘’Yang misionaris adalah rekannya Nikolaus Adriani – karena dialah yang kemudian melakukan misi penginjilan berikutnya,’’ Lian menekankan.

Syafrudin melanjutkan, dalam pembicaraan antara keduanya, Kruyt menyampaikan lebih tepatnya meminta izin untuk mengabarkan injil.  Mendengar itu, Baso Ali merespons hangat keinginan tamu jauhnya itu.

Baso Ali mempersilakan kepada koleganya itu menyiarkan agama Kristen  ke wilayah Panta (kini Kasiguncu).  Ia sengaja mengarahkan misi penginjilan ke wilayah Kasiguncu karena warga Mapane sudah memeluk islam. Saat ini Mapane dan Kasiguncu adalah wilayah bertetangga dengan jarak yang hanya diantarai gerbang kayu.

Menurut Lian Gogali, pertemuan dua tokoh yang mencatatkan sejarah penting dalam perjalanan Kabupaten Poso selanjutnya, tidak bisa dimaknai sekadar tuan rumah dan tamu. Tapi lebih dari itu.

‘’Imajinasi kita  membayangkan keduanya bertukar pikiran, diskusi panjang lebar soal banyak hal. Tertawa kecil, minum kopi di teras rumah sambil menatap pelabuhan yang dipenuhi kapal-kapa besar. Suasananya hangat, cair dan bersahabat,’’ papar Lian yang disambut senyum peserta diskusi.

Sekalipun pada pembicaraan selanjutnya, menyinggung tentang rencana akan menyiarkan agama – namun itu tidak  membuat suasana tegang yang memicu debat panjang. Menurut Lian, relasi dua tokoh ini harus ditarik dalam konteks kekinian – ketika membicarakan agama orang-orang seperti berjarak dan terasa saling jauh.

‘’Toleransi itu justru sudah ada sejak seabad silam dari masjid tua di Mapane dan dari rumah kediaman Pak Andi Baso Ali,’’ tekannya. Pernyataan reflektif kontemplatif itu, membuat suasana  terdiam sesaat. ‘’Ya, kita belajar toleransi itu tak perlu jauh-jauh. Di Mapane cerita dan faktanya ada,’’ Syafrudin menimpali.

Gereja Tua Malitu dan Kisah  Pekabaran Injil 

Masih di Poso Pesisir Selatan, tak jauh dari Kelurahan  Mapane, berdiri sebuah  gereja tua. Gereja ini mulai dibangun 1914. Dan rampung pada 1933. Bangunan dengan konstruksi kayu itu disanggah sejumlah  tiang beton dengan tinggi sekira 40 cm.

GEREJA TUA MALITU – Kini tak lagi digunakan dan terancam roboh – butuh perhatian dari Pemerintah

Saat menyambangi gereja ini, tim Jelajah Geopark diterima tokoh adat, Majelis Gereja Imanuel Malitu serta aparat desa. Tempatnya di halaman gereja tua,  Jumat 25 April 2025. Tak semua rombongan ikut dalam diskusi ini. Hujan deras sedari siang, membuat rombongan lainnya tertahan di Desa Tangkura.

Kristianus Bakumawa  tokoh adat Desa Malitu, mengurai panjang lebar sejarah penginjilan di Poso.  Masuknya injil di Tanah Poso, dimulai dari Desa Malitu yang berjarak sekira 50 menit perjalanan (roda dua) dari Mapane.  ‘’Dua tokoh penginjil asal Belanda AC Kruyt dan Nikolaus Ardiani (guru bahasa) mendarat di Pantai Takule pada tahun 1892,’’ Kristianus memulai paparannya.

Saat datang, Kruyt mempelajari budaya Pamona terlebih dahulu. Selanjutnya, bersama rekannya Adriani mereka menyasar gunung gunung hingga bertemu dengan anak suku Pamona di gunung Buyumbayau dan Yayaki. Pada 1895, dua pemukiman ini disatukan di Poencu.  Pada tahun itu juga penginjil Zeth Rapar didatangkan dari Minahasa.

Bersamaan dengan itu, translasi injil dari bahasa Melayu ke bahasa Bare’e pun dimulai.  Pada 1900, warga di Poencu dipindahkan ke tempat rendah sekaligus dibangunkan gereja sementara.  Tak mudah mengajak warga ke gereja saat itu. Setiap warga yang ke gereja akan mendapat  permen yang dibawah dari Belanda.

Kalimat ajakan lainnya adalah ‘’Mari Lihat Tuhan’’ di gereja. Kalimat ini  kemudiaan menjadi nama desa. Namanya Malitu singkatan dari Mari Lihat Tuhan.  Pada 1909, dua warga diutus untuk mengikuti pembaptisan di wilayah Panta. Baptisan pertama itu menjadi cikal bakal jemaat tetap di Malitu. Lima tahun berikutnya pembangunan gereja Malitu dimulai. Peletakan batu pertama pada 1914. Dan rampung pada 1933. Misi pekabaran injil pun terus berjalan.

Gereja Malitu Kini

Kini, gereja tua itu tidak lagi digunakan.  Jemaat GKST Imanuel Malitu mempunyai gereja yang permanen. Letaknya bersisian dengan gereja lama. Kondisinya mulai goyah. Beberapa bagiannya rapuh.  Walau ingin mempertahankan bangunan. Namun pernah muncul rencana  untuk merobohkan bangunan bersejarah itu, karena kondisinya yang lapuk. ‘’warga pernah rapat untuk dirobohkan saja. Karena berbahaya,’’ ungkap Kristianus.

Pada 2024 Balai Pemajuan Budaya (BPK) pernah meninjau dan berencana akan memperbaikinya. Hingga kini, rencana itu belum terwujud. Arkeolog asal Sulteng Iksam Djorimi meminta, Pemerintah Desa Malitu  mengirim surat ke BPK Wilayah VIII di Palu. ‘’Setidaknya dengan surat susulan BPK kembali diingatkan,’’ Iksam menyarankan.

Syafrudin Obodjolo saat diskusi di Masjid Tua Mapane bilang, ia pernah mendengar rencana gereja akan dirobohkan. ‘’Tapi saya keberatan. Jangan dirobohkan itu tempat bersejarah – sama seperti masjid ini,’’ katanya.

MASIH ASLI – tangga untuk akses ke loteng dan tiang utama, dua property yang tersisa sejak dibangun pada 1923.

Iksam menyayangkan jika bangunan itu akhirnya lenyap. Pasalnya, sejarah  yang mengiringnya sangat penting. Tak sekadar diingat tapi juga pejalaran penting untuk sejarah dan ilmu pengetahuan.

Masjid Mapane dan Gereja Malitu, adalah cermin jiwa Poso. Sebuah tempat yang menyimpan memori perjalanan islam dan Kristen. Dua bangunan ini merekam bagaimana keberagaman bertaut dan tumbuh. Dua bangunan itu, menjadi saksi bisu jatuh-bangunnya harmoni sosial. Keberadaannya mengingatkan bahwa toleransi bukan hal yang statis. Tetapi proses panjang yang terus diuji dan diperjuangkan. ***

Penulis: Yardin
Foto: Yardin – Amar Sakti

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan