HUJAN gerimis membasahi jalanan kota. Awan tebal menggelayut di atas Langit Kota Palu. Saat sebagian warga kota melepas penat usai aktivitas yang melelahkan di siang hari di rumahnya, beberapa di antaranya memilih menerobos hujan dengan kecepatan tinggi. Meliuk di atas jalanan yang padat, menuju kafe di Jalan Hi Hayun – Palu Timur. Dalam balutan uniform merah terang, orang-orang ini mengirim pesan tentang hasrat yang membara, tentang cerita tempo dulu yang harus dirangkai lagi. Tentang kenangan putih abu-abu yang harus direkat.
Sesegera mungkin.
Secepat mungkin.
Di lantai dua kafe di Jalan Hi Hayun berkumpul puluhan orang. Rata-rata usia mereka berkisar 39 – 40 tahunan. Hujan mengguyur sedari tadi, tak mereka gubris. Mereka adalah alumni SMA Negeri 1 Palu, angkatan 2001. Mereka berkumpul bertukar cerita. Bertukar pengalaman. Saling menanyakan kabar. Dan tentu saja, saling tanya keadaan keluarga. Jumlah anak, suami/istri dan beragam pertanyaan ikutannya.
Begitulah, sekilas yang terlihat di lantai dua kafe di Jalan Hi Hayun. Hajatan bertitel, Reuni Akbar IKA SMANSA 2022, bagi alumni 2001, memaknainya sebagai kenduri yang tak hanya sekadar membertemukan fisik setelah sekian lama cukup hanya berkirim emoticon melalui pertemuan virtual. Maka tema, ‘’Apa pun warnamu kini, dulu warna kita hanyalah putih abu-abu’’ terasa amat relevan – ketika pada 21 tahun kemudian para alumni ini kembali bersua dengan pencapaian hidup masing-masing.
Tema ini juga mengingatkan, sekeren apa pun atribusi dan prestasi kehidupan yang telah dicapai – setidaknya kita pernah berada pada masa indah dan masa pahit yang sama – masa putih abu-abu.
Masa yang tak pernah mengenal galau dalam kamus hidupnya. Masa dengan dunia yang ceria, tanpa harus disibukan dengan rutinitas di rumah. Masa dimana ketiadaan uang jajan bukan problem serius. Masa dimana komitmen perkoncoan terasa begitu kuat padahal tanpa media sosial sebagai elemen perekatnya. Satu-satunya yang mampu membuat generasi penggemar Sheila on 7, terpuruk adalah saat diputuskan pacar. Atau jika nasib cintanya ditolak gebetan.
Dian Adisty Nursyamsu bilang, saat hadir di ajang reuni ia menyadari, ternyata keseharian semasa SMA dulu, adalah aktivitas merangkai alinea menjadi cerita. Cerita yang pada hari-hari ini terus dikenang. Sebagai remaja dengan masa pencairan identitas diri, lakon antagonis dan protagonis selalu tersaji saban hari. Dan hari ini, kepingan cerita itu menjadi indah untuk dikenang. ‘’Beruntung pernah hadir di masa-masa indah itu,’’ ungkap jebolan Sastra Prancis Unhas ini.
Lizali Marni alumni angkatan 2001 lainnya mengaku, ia kerap tertawa mendengar lelucon lama. Meskipun diulang namun tetap berkesan. Situasi saat ini menjadikan peristiwa 21 tahun lalu di masa-masa SMA begitu istimewa. Kenangan-kenangan itu kata dia selalu bergema di palung hati. Dimanapun. Kapanpun.
Miranti Malewa, pengusaha biro perjalanan bilang, sensasi kehadiran secara fisik tidak bisa digantikan oleh teknologi apa pun. Karena itu, jangan pernah menggantikan kehadiran dirimu dalam sebuah kenduri dengan cukup mengirim foto selfie. ‘’Itu tak cukup’’ pesannya.
Erawanto Gazali alias Ey, ia tidak mau mengingat bangku SMA nya dengan jejak prestasi yang pernah ditorehnya. Ia lebih mengingat perilaku tengilnya. ‘’Saya meninggalkan bangku SMA bukan dengan juara kelas. Hari-hari saya di SMA sering bolos. Atau duduk di kantin jika ada pelajaran yang tidak disukai,’’ katanya sambil melirik kawan bolosnya Mohamad Sabhri alias Abhi. Kuatnya perkawanan dua orang ini, sampai hari ini pun keduanya masih kerap bersama.
Dua dekade meninggalkan bangku SMA adalah jarak waktu yang jauh. Kini mereka hanya bisa mengenang, cerita pahit manis, lakon antagonis dan protagonis di masa-masa indah itu. Maka untuk merawat kekerabatan yang bisa dilakukan, adalah memperkuat silaturahmi. Berkah jaman memberi mereka kemudahan untuk menautkan hati melalui WA grup.
Ika Padmawati Ketua Panitia Reuni Angkatan 2001, sesaat sebelum menuju Sriti Convention Hall, Sabtu 27 Agustus 2022, menjelaskan alumni angkatannya berkisar 500-an orang. Terdiri dari 8 kelas reguler dan 2 kelas unggulan. Namun yang ikut dalam reuni akbar kali ini tak sampai separuh.
Penyebabnya, ungkap Dosen di STIMIK Bina Mulia ini, kesibukan masing-masing membuat rekan-rekannya itu tidak bisa hadir dalam reuni akbar berdurasi lima tahunan itu. Walau demikian di grup alumni, ia senantiasa berkabar tentang semua kegiatan alumni. Dalam rangkaian reuni akbar ini, ia mengoordinasi kawan-kawannya menggelar bakti sosial berupa kunjungan ke rumah yatim piatu dan kegiatan sosial lainnya. Solidaritas pada sesama alumni diakuinya tetap solid. ‘’Alumni yang mendapat musibah akan dibuatkan donasi kepada anggota agar secepatnya mendapat bantuan,’’ ungkap petinggi salah satu parpol di Sulawesi Tengah ini.
Kemasan reuni ini di lantai dua kafe itu, sebenarnya sederhana. Namun terlihat mampu menghadirkan kehangatan dan romansa sesama alumni. Tanpa disekat dinding tebal atribut sosial, kebersaman mereka menyatu – membaur dalam durasi dua jam lebih itu.
***
Sesuatu yang alamiah dan wajar, jika dalam pertemuan semacam reuni akbar, selalu muncul diskusi saling menanyakan kondisi keluara. Dengan rentang usia antara 39 –40 tahun, pertanyaan seperti itu sungguh wajar. Tapi pertanyaan ‘’wajib’’ macam ini, sebenarnya menggambarkan fase usia perjalanan seseorang menjalani hidup. Kelak silaturahmi berikutnya, topik diskusi semacam ini akan bergeser. Pertanyaannya berubah menjadi, berapa anak dan berapa cucu. Lalu reuni berikutnya, berubah lagi. Pertanyaannya lebih ke soal kondisi fisik.
Di fase itu, masing-masing kita mulai digerogoti ketuaan.Di saat itu, kita tak lagi mampu melakukan perjalanan jauh. Apa lagi hanya perjalanan menggelar reuni. Padahal hasrat bersua terus membuncah.
Komunikasi handphone pun tak bisa lagi diandalkan. Indera tak bisa lagi diajak kompromi memandang layar smartphone. Lalu yang bisa dilakukan adalah mencari informasi kepada sesiapa pun tentang kondisi teman di kota seberang. Hingga akhirnya suatu saat kita akan mendapat kabar. Satu persatu di antara teman teman kita itu pergi menjemput takdirnya. Pada posisi seperti itu pun, kita tak bisa berbuat banyak selain mengirim seutas doa untuk keselamatannya di akhirat kelak.
Di saat itulah ingatan kita melayang puluhan tahun lalu, tepatnya pada Sabtu 27 Agustus 2022 silam. Di Lantai Dua Kafe di Jalan Hayam Wuruk yang berlanjut di Sriti Convention Hall pada malam harinya. Saat tawa, canda dan obrolan superkonyol menari-nari di hadapan kita. Karena itu jangan menunda silaturahmi. Pepatah China bilang, mari menapaki jalan gelap bersama sahabat. Karena itu akan terasa lebih baik dibanding sendirian di jalan terang.***
Penulis : Amanda
Foto-Foto : Iwan Tumpugi