LUKA masa lalu yang diciptakan oleh perbedaan politik, tidak hanya meninggalkan bekas dalam sejarah. Tetapi juga merajut kisah-kisah pilu tentang mereka yang terabaikan di tengah pergolakan politik. Dalam lautan perbedaan, ada yang terombang-ambing di tepian. Dalam relasinya mereka berusaha menjaga kehangatan kemanusiaan. Dalam keheningan mereka tetap berpacu melanjutkan agenda hidup.
—
Bola matanya tampak nanar. Pandangannya kosong kedepan. Ia merogoh tisu kucel dari kantongnya, lalu mengusap sudut matanya. Tangan kirinya dibiarkannya merogoh dan memain mainkan sesuatu di dalam goodie bag warna biru langit. Sebelumnya, ia memperlihatkan amplop lalu memasukannya kembali. ‘’Saya merasa papa hadir dan kasi uang kesaya,’’ katanya. Matanya kembali berair. Suaranya bergetar. Emosinya tak kuasa dibendungnya. ‘’Ini uang papa. Papa yang kasi saya,’’ cetusnya di teras Gedung Pogombo, Kamis 14 Desember 2023. Saya membiarkan emosinya meluap. Membiarkan memorinya melayang pada medio 1982, saat Hamid ayahnya wafat 41 tahun silam. Saya memberi jeda. Tidak mencecarnya lagi dengan pertanyaan yang mengungkit masa lalu hidupnya yang dicibir, dibully, dikucilkan dari pergaulan di kampungnya, Baiya – Palu Utara. Ayahnya tertuduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) periode 1965/1966. Dia adalah Tince, salah seorang anak korban 1965/1966.
Menurutnya, stigma selama puluhan tahun itu membuat jaraknya terasa jauh dengan tetangganya. Bahkan dengan saudaranya. Walau demikian, dalam ketidakberdayaan menghadapi sanksi sosial itu, toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan senantasa tetap dijaganya. ‘’Kita sudah berbaik-baik hati. Tapi saya tahu di belakang itu mereka tidak menganggap kita. Kami tetap masyarakat terbuang,’’ katanya.
Tince wanita kelahiran Baiya Palu Utara pada 1966 silam, adalah salah satu dari 145 ‘’keluarga kiri’’ yang pada Kamis 14 Desember 2023 lalu, menerima program pemenuhan hak korban pelanggaran HAM Berat masa lalu dari Pemerintah RI di Gedung Pogombo, Kantor Gubernur Sulteng. Tak hanya merasa terasing dan terbuang dari komunitasnya. Usaha untuk merintis karir di jalur formal pun selalu kandas. Terhalang oleh tembok tebal bernama litsus alias penelitian khusus. Litsus adalah organ paling berpengaruh di jaman Orde Baru. Seperti yang diceritakan oleh Papias Laisuta (70). Anaknya akhirnya lolos menjadi polisi karena saat pemeriksaan di litsus, nama orang tidak terendus oleh petugas yang didominasi para tentaara. ‘’Listus itu memeriksa dua tingkat di atas atau kerabat keluarga lainnya,’’ katanya, ditemui di sela-sela menerima santunan korban.
Papias yang datang bersama putrinya dari Petasia Timur, Morowali Utara, mengaku ia sebenarnya tidak terdaftar sebagai anggota PKI. Tidak ada bukti dokumen tertulis yang mengindikasikan dirinya adalah anggota partai berlambang palu arit itu. Pun tidak ada aktivitas partai entah sebatas rapat atau memfasilitasi kegiatan partai yang diikutinya. Hanya saja, koleganya di Desa Kawua di SD Negeri 4 Poso, tempatnya mengajar, menuduhnya sebagai anggota partai pimpinan DN Aidit tersebut. Tuduhan itu, hanya dari ungkapan basa basi, dimana ia pernah mengatakann, bahwa masyakarat Rononuncu – Poso, akan menggelar latihan baris berbaris memeringati HUT ke 20, Kemerdekaan 17 Agustus 1965. Pernyataan tidak penting itulah yang menjadi dasar koleganya menuduh terlibat. Konsekwensinya, ia harus melepaskan status guru, lalu pontang panting menyambung hidup. Pada posisi tertuduh, Papias mengaku terus menanggung beban hidup keluarganya. Dalam gelombang ketidakpastian, jiwanya tetap tegar. Ia terus menyalakan cahaya harapan di tengah-tengah gelapnya ketidakpastian yang dijalaninya.
Menyandang status tertuduh pada sebuah gerakan yang dia sendiri tidak terlibat di dalamnya menurutnya, sangat menyakitkan. Tak hanya kesempatan menikmati hidup layak yang hilang, anak-anaknya juga menanggung akibat yang tak kalah pedihnya. Hak hidup menurut dia adalah hak asasi yang paling mendasar. Namun itu semua hilang ditelan oleh bayang-bayang stigma politik. ‘’Tuduhan sporadis itu bahkan mengorbankan kesempatan keluarga saya untuk membangun masa depan yang lebih baik,’’ curhatnya penuh semangat.
Kisah lainnya disampaikan oleh Nice (76) asal Kayu Malue. Nenek dengan 36 cucu ini mengaku tidak terlalu peduli soal gerakan PKI saat itu. Suaminya Amran yang mangkat pada 2011 silam menurut dia, adalah petani bawang. Aktivitas politik suaminya tidak ia pedulikan. Tapi akhirnya, ia juga terseret di dalamnya. Selama hidup hingga wafatnya tak pernah benar-benar merasa sebagai manusia bebas yang bisa mengekpresikan kehendak hatinya. Lebih-lebih ketika otot kekuasaan Orde Baru sedang dalam puncaknya.
Ketentuan wajib lapor dua kali seminggu di Kantor Koramil di Tawaeli, semakin menyempurnakan ketakutannya. Dulu sambungnya, ketika mendiang suami masih hidup, saat rumah sedang sepi, keduanya sering diskusi tentang kondisi yang dihadapi keluarga. ‘’Bagaimana nanti anak-anak kita. Sudahlah kalau kita-kita ini. Tapi anak-anak ini bagaimana nanti,’’ ucap Nice mengenang memori indah bersama suaminya.
Saat ini pun. Ketika anak-anaknya sudah berkeluarga. Ketika ia sendiri tak bisa lagi banyak bergerak karena dikerat usia, pikirannya kerap melayang ke masa lalu. Mengenang perlakuan yang diterimanya. Anak-anaknya tidak bisa mencari pekerjaan formal, karena stigma yang begitu kejam. Ia menganggap, hidupnya kini tak lebih sebagai perempuan lansia dengan kumpulan kisah pahit yang diselubungi oleh ketidakadilan politik negara. Nice menghadapinya dengan duka yang tersembunyi di balik senyuman. Pada usia tuanya, ia terus berusaha tegar melakoni kehidupannya yang timpang tentang sebuah kisah hidup yang tidak adil. Sesaat kemudian, ia meminta wawancara disudahi. Nice menggamit tas mungil beranjak menuju panggung saat namanya disebut petugas. ‘’Ini untuk suami saya,’’ katanya bergegas.
Testimoni lainnya datang dari Husen (75). Ia dituduh terlibat PKI, usai menamatkan Sekolah Rakyat (SR) pada 1964. ‘’Umur segitu mana bisa kita dituduh terlibat dalam politik gerakan,’’ katanya terkekeh sambil mengangkat goodie bag warna biru berisi tali asih dari pemerintah. ‘’Pas melanjutkan sekolah di situ saya dituduh PKI. Artinya saya sudah ikut PKI saat masih SR. Tidak masuk akal,’’ katanya terkekeh.
Namun tuduhan itulah, yang menyulitkan hidupnya – bahkan hingga dewasanya kelak. Kakek asal Pantoloan Boya ini mengaku, sejak menyandang status sebagai anggota PKI, mulai menjalani aktivitas yang disebutnya kerja paksa. Menggali pasir untuk membuat jalan poros Palu Tawaeli, mengangkat batu untuk pembangunan jembatan Palu I, hingga menggali pasir di Sungai Gumbasa. Pernah saat di Gumasa, persediaan makanan habis . Tentara tidak lagi menyetok makanan. Ia dan 15 temannya akhirnya meninggalkan Gumbasa pada malam hari berjalan kaki menuju Tawaeli. ‘’Kami sampai di Tawaeli siang hari dalam keadaan lapar. Yang tembus tidak lagi 15 orang, yang lainnya singgah di kampung yang ada keluarganya,’’ ujar Husen mengenang.
Kewajiban lainnya adalah wajib lapor yang dilakukan empat kali seminggu. Itu adalah ‘’ritual’’ yang tidak boleh terlewat. Husen tampaknya, tidak lagi meratapi kisah kelam yang dialaminya sepanjang hidupnya. Tawanya ringan. Bicaranya pun penuh candaan. Menikmati rokok kretek yang tak lepas dari mulutnya, kakek kekar ini, tampak bak pohon yang kembali bersemi . Ia seperti telah menghapus dendam politik masa lalu. Husen adalah contoh kekuatan sejati. Ia mampu melepaskan beban berat itu dan menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. ‘’Ya harus begini, tidak boleh murung terus. Hidup saya sudah rugi banyak, jadi saya berusaha menikmati hari hari yang tersisa,’’ lagi-lagi dengan nada tanpa beban.
Saat mendapatkan undangan untuk menghadiri seremoni pemenuhan hak korban pelanggaran HAM Berat masa lalu di Gedung Pogombo, pikirannya terbayang pada kesaksian kawan-kawannya korban perempuan. Dulu, saat pemeriksaan, perempuan ditelanjangi – manusia seperti tak ada harga diri. ‘’Yang perempuan itu kalo disuruh cerita pasti menangis. Biar sudah tua kalo ba cerita pasti menangis. Mereka ditelanjangi. Itu satu-satunya kesedihan saya saat ini,’’ katanya.
KEHORMATAN BAGI YANG BERHAK
Judul kecil ini dinukil dari buku biografi Manai Sophian – ayah kandung aktor mendiang Sophan Sophian, judulnya, Kehormatan yang Berhak. Biografi yang berisi tentang kesaksian seorang nasionalis tulen sekaligus pembelaannya terhadap Putra Sang Fajar, Soekarno. Sama dengan buku ini, sedikitnya 145 korban peristiwa 1965/1966 yang memadati aula Pogombo, pun berhak memperoleh kehormatannya. Begitu ucapan lugas Nurlalela Lamasitudju, Direktur SKP HAM Sulteng, yang mendampingi korban selama ini. Mereka para korban, sebagian kecil adalah korban langsung. Sisanya adalah anak dan cucu. Para anak dan cucu korban, walau tak mengalami penderitaan sedahsyat orang tuanya, namun penderitaannya pun tak kalah memilukan. Memikul ‘’dosa warisan’’ dari orang tua yang terafiliasi PKI, adalah beban mental yang tidak mudah. Begitu rata-rata pengakuan sejumlah cucu korban yang ditemui.
Mereka berusaha survive dalam kompetisi hidup yang tidak adil. Testimoni ibu Tince menggambarkan betapa susahnya menjadi anak biologis anggota korban PKI. Menurutnya, pengakuan negara sebenarnya sangat terlambat karena selama hidupnya mereka mengalami tekanan sosial yang berat. Sedangkan para cucu-cucu korban, tetap berharap pengakuan negara adalah awal yang baik untuk menata masa depan, tanpa embel-embel dosa politik masa lalu. Meski kenangan pahit telah menyelimuti masa lalu, para cucu korban bertekad berbuat yang terbaik bagi negerinya. Membangun cerita baru yang dipenuhi dengan cinta kesetiaan dan dedikasi untuk menjadikan Indonesia tempat yang lebih baik bagi semua.
Menurut Nurlaela, ini adalah buah perjuangan 19 tahun mendampingi para korban, hingga akhirnya mereka berhasil meraih kembali kerhormatannya sebagai warga bangsa. Sekaligus bisa merayakan hari HAM dengan suka cita. Untuk pertama kalinya sejak UU HAM (No 39/1999), dan UU Pengadilan HAM (No 26/2000) diterbitkan oleh pemerintah, baru kali ini mereka merasakan kehadiran negara secara lebih dekat , lewat upaya penyelesaian non yudisial.
Gubernur Sulteng Rusdi Mastura, mengatakan, di balik lembaran sejarah yang penuh dengan konflik politik, ada cerita yang sering kali terlupakan. Tentang orang-orang yang terpinggirkan dan suara-suara yang tenggelam karena pertentangan ideologi. Di balik dinding pembelahan politik itu, ada hati yang tetap berdetak untuk kebaikan bersama.
Mereka yang terabaikan, tapi tetap tegar memelihara api kesatuan di tengah badai perpecahan ideologi. Ketulusan pemerintah memberikanpemenuhan hak kata dia, adalah wujud dari komitmen untuk menghapus luka masa lalu. Memulihkan martabat dan menebarkan keadilan di sepanjang lorong sejarah yang kelam. Nurlaela menambahkan, pemenuhan hak bukan sekadar bantuan finansial, tetapi sebuah gestur kepedulian yang menyiratkan penghormatan atas eksistensi kemanusiaan. ‘’Kita semua adalah bagian dari peta warna-warni yang membentuk keberagaman. Meskipun perbedaan politik memisahkan, kebaikan hati dan pengertian bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kita kembali,’’ harapnya.
Ia melanjutkan, dengan menghapus bayang-bayang dendam politik masa lalu, bangsa ini telah membuka pintu bagi cahaya perdamaian, kesatuan dan kemajuan yang akan membimbing langkah-langkah semua anak negeri menuju masa depan Indonesia yang ramah bagi semua. ***
Penulis : Amanda
Foto : Amanda