Serba Serbi

Pasca Ganti Rugi, Ternak Kerbau di Desa Tokilo Terus Berjatuhan

BERI KETERANGAN – Benhur Bondoke, warga Tokilo memberikan keterangan kepada wartawan soal kondisi terakhir peternak di Desa Tokilo, Minggu 11 September 2022

LADANG penggembalaan seluas 300 hektar yang terendam di Desa Tokilo, Kecamatan Pamona Tenggara,  luasnya terus menciut. Akibatnya, puluhan ternak mati.  Sejak 2021 hingga 2022, tercatat 50 ternak kerbau mati. Warga setempat tidak tahu siapa yang harus dminta pertanggungjawaban.

Penggembala kerbau di Desa Tokilo Moris Tosadu (40) ditemui di kediamannya Minggu 11 September 2022, mengatakan sejak ujicoba pintu air PLTA Poso I,  rumput ladang mati membuat kawasan makan ternak  makin mengecil.  Rumput tak lagi tumbuh secara merata di seluruh ladang penggembalaan, karena terendam air pada ujicoba pintu air tahun 2019 lalu.

Sementara, katanya populasi ternak milik warga Desa Tokilo dan Tindoli maupun warga sekitar yang menitip ternaknya di kawasan itu, saat ini jumlahnya sekitar 400 ekor. Jumlah ini tak sepadan dengan luas lahan yang ditumbuhi rumput untuk pakan ternak yang tinggal sekitar 100 hektar.  ‘’Perlu diatur soal jumlah kepemilikan ternak disesuaikan dengan luas lahan yang ada,’’ ujarnya di depan belasan wartawan di kediamannya.

Di tempat yang sama, Benhur Bondoke (51) warga Desa Tokilo lainnya mengaku pengaturan kepemilikan kerbau sudah saatnya dipikirkan. Mengingat, lahan yang makin kecil sementara populasi ternak terus bertambah. ‘’Sudah saatnya diatur. Lahannya makin terbatas,’’ katanya.

PEREMPUAN IKUT TERDAMPAK – Asmin Mailangkai mengaku perempuan di Desa Tokilo ikut terdampak akibat kematian kerbau pada 2019 lalu

Benhur Bondoke mengaku saat ini mempunyai sedikitnya 14 ekor kerbau di kawasan penggembalaan. Dengan ladang penggembalaan yang terus menyusut, warga di desanya mengusulkan tiga hal kepada PT Poso Energy. Tiga poin usulan tersebut menurut dia, sejauh ini belum mendapat jawaban dari perusahaan.

Dikatakannya, pemerintah dan para pihak yang terlibat dalam penciutan lahan penggembalaan perlu memberikan perhatian. Pasalnya, pasca ujicoba pintu air PLTA Poso I, rumput di kawasan penggembalaan banyak yang mati.  ‘’Pemerintah perlu memberikan perhatian supaya warga tidak kehilangan mata pencaharian,’’ katanya di depan wartawan, Minggu 11 September lalu.

Warga bersama pemerintah desa sudah mengajukan tiga permintaan ke PT Poso Energy. Sayangnya aku bapak dua anak ini, permintaan warga ini belum mendapat respons pihak perusahaan. Tiga permintaan warga itu, katanya sangat sederhana. Jika ini disahuti, setidaknya bisa menjawab permasalahan peternak di Desa Tokilo dan Tindoli – dua desa bertetangga dengan jumlah kerbau terbanyak.

Permintaan itu antara lain, pembuatan tanggul tanah dengan tiang beton. Tanggul itu unuk menahan agar ternak tidak menyasar sawah tetannga di Desa Korobono dan Pendolo. Pada 2019 saat kawasan peternakan terendam,  banyak kerbau yang menyasar sawah warga karena kehilangan rumput makanan. ‘’Untung tidak memicu kesalahan antarwarga, karena sudah di denda adat,’’ ulasnya panjang lebar.

Lagipula sambung Benhur, pembangunan tanggul adalah bagian dari negosiasi peternak yang bersedia dibayar separuh dengan harapan PT Poso Energy membangun tanggul.

Permintaan kedua, sambungnya lagi perusahaan diminta menghijaukan kawasan peternakan agar warga bisa kembali menggembala di atas kawasan itu. Permintaan ketiga, perusahaan diminta melakukan pemberdayaan kepada peternak dengan memberikan pengetahuan ternak berbasis kandang dan vaksin. ‘’Kita menyadari kebutuhan lahan makin sempit, tuntutan untuk bikin kandang sudah harus dipikirkan,’’ katanya lagi.

Semenara itu, Kepala Desa Tokilo, Hertian Tangkua mengatakan,  peristiwa ujicoba pintu air PLTA Poso I, pada 2019 memukul perekonomian warganya. Ini karena mayoritas warganya menggantungkan hidupnya di sektor peternakan.  Di Desa Tokilo, 94 ternak mati milik 71 warga. Semuanya sudah dilakukan ganti rugi oleh perusahaan setelah proses negosiasi yang alot.  Menurut Hertian Tangkua, perusahaan hanya menyanggupi membayar rata-rata Rp7 juta untuk setiap ternak dari harga seharusnya yang mencapai Rp10 juta – Rp15 juta per ekor.  Kesediaan warga menerima harga separuh, menurut dia setelah ada kesanggupan Poso Energy membangun tanggul sepanjang 7 kilometer.  Baik Benhur maupun Hertian telah menyampaikan masalah ini ke perusahaan tapi belum ada jawaban. ‘’Tapi kita juga tidak mau nanti dianggap semua yang mati harus diganti oleh perusahaan. Namun Benhur dan Moris Mosadu, keukeuh bilang, bahwa kematian ternak rentang waktu 2021 – 2022, dipicu oleh Poso Energy yang mengujicoba pintu air PLTA Poso pada 2019 lalu. Sejak saat itu rumput mati di lahan peternakan yang membuat ternak mereka tidak lagi mendapat makanan yang cukup.

Merespons itu, Manager Lingkungan dan CSR PT Poso Energy, Irma Suryani pada meeting zoom dengan wartawan, Rabu 14 September 2022, mengatakan, sejauh ini telah mengompensasi ternak kerbau dan sapi yang mati di Desa Tokilo sebanyak 96 ekor. ‘’Dan itu sudah close,’’ katanya.

Jika saat ini ada warga mengklaim ternak mati, maka harus dilihat dulu posisi air saat ini. Sekarang ini posisi air di titik 511.5, artinya air dalam posisi normal. Mestinya tidak ada ternak yang mati dalam posisi air seperti itu. Namun sejauh ini pihaknya terus berkoordinasi dengan warga dan Pemerintah Desa Tokilo, terkait kewajiban yang akan dilakukan oleh PT Poso Energy di sana. Ia menggarisbawahi, pihaknya bukannya tidak bertanggungjawab. ‘’Yang pasti, kami melakukan tindakan jika ada pengaduan. Sejauh ini kami belum ada pengaduan soal itu,’’ tutupnya.

EKONOMI KELUARGA TERPUKUL

Perempuan di Desa Tokilo, Asmin Mailangkai (51) mengaku saat peristiwa terendamnya kawasan peternakan pada akhir 2019, banyak ternak yang mati. Warga khususnya ibu-ibu di desanya kelimpungan karena sumber penghasilan mereka terancam  hilang. ‘’Saat liat kerbau mati, saya dan ibu-ibu di sini, langsung berfikir ini bagaimana kedepannya,’’ katanya. Kompensasi sebesar Rp5 juta – Rp7 juta menurut dia tidak sesuai dengan harga jual kerbau.

PERJUANGKAN HAK WARGA – Kepala Desa Tokilo Hertian Tangkua mengaku memperjuangkan hak warganya saat terjadi kematian ternak secara massal pada 2019 lalu

Saat terjadi kematian kerbau secara massal, perempuan-perempuan di desanya mulai berinisiatif mencari pekerjaan harian untuk menambah kebutuhan dapur. Di desanya tambah perempuan ramah ini, anak-anak desa banyak yang menempuh pendidikan tinggi baik di Poso maupun di Kota Palu. Penghasilan dari menggembala kerbau menjadi tulang punggung utama ekonomi mereka. ‘’Makanya waktu banyak ternak mati, kami perempuan di sini mulai cari kerja tambahan,’’ jelasnya.

Sejak dua tahun terakhir (2021 – 2022) pasca ganti rugi, bayang-bayang kecemasan seperti peristiwa akhir 2019 silam kembali mencuat. Pasalnya ternak banyak yang mati karena tidak mendapat rumput. ‘’kepada siapa kami minta jalan keluar masalah ini,’’ tutupnya. ***

Penulis: Amanda
Foto-foto: Amanda

artikel terkait:

Desa Taipa di Kecamatan Poso Barat mengalami penurunan permukaan tanah

 

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: