Jalan Panjang Ibu Rosmawati, Mencari Keadilan Atas Kematian Anaknya

TERUS BERJUANG - Proses hukum mengambang, Rosmawati ibu kandung Erfaldi korban penembakan di Desa Katulistiwa, bersama anak sulungnya, Ervina mendatangi SKP HAM, Selasa 26 Juli 2022, untuk mencari keadilan.

ENAM bulan berlalu. Kematian Erfaldi korban penembakan aparat saat demonstrasi di Desa Katulistiwa, Parigi Moutong 13 Ferbuari 2022 lalu, tak kunjung menemui titik terang. Pelaku bebas berkeliaran. Sementara keluarga korban memendam duka sambil berjuang mencari keadilan. Kabar terakhir, berkas kasus ini dikembalikan Polisi, karena masih ada perbaikan berkas (P-19).

Proses hukum yang mengambang ini, memaksa Rosmawati melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keadilan bagi anaknya. Bermacam ikhtiar dicoba ibu sederhana ini. Namun segala usaha yang dilakukan tak pernah benar-benar berpihak kepadanya. Ia menyadari, keluarga mereka sedang berhadapan dengan kekuatan negara. Bagi orang kecil semacam dirinya, enam bulan adalah waktu yang singkat untuk bisa menyeret para aktor ke meja pengadilan. Tetapi itu juga adalah penantian yang panjang untuk mendapatkan kepastian hukum atas kematian anak kesayangannya.

Menyadari perjuangan jalur formal yang tak kunjung bisa diandalkan, Rosmawati mencari alternatif lain. Dibonceng anaknya, ia berangkat dari Desa Tada Induk – Parimo menuju Kota Palu. Kedatangannya untuk mengadukan nasib anaknya ke SKP HAM Sulteng. Sore hari Selasa 26 Juli 2022, keduanya diterima Sekjend SKP HAM, Nurlela Lamasitudju di kantornya, Jalan Basuki Rahmat. Kepada Nurlela, ia meminta organisasi nirlaba yang fokus pada isu-isu HAM ini memberikan pendampingan tentang apa yang harus dilakukan. Dan bagaimana model perlawanan yang harus ditempuh. Ia benar-benar tidak tahu kemana lagi harus mengharapkan keadilan.

Dalam pertemuan sejam lebih itu, Rosmawati membeberkan aksi simpatik aparat dan keluarga dekatnya yang dinilainya lebih terkesan melemahkan perjuangan mencari keadilan tinimbang sikap tulus berbagi. Dari kerabat dekat, ada yang menasehati untuk tidak terlalu ngotot. Dan lebih menyarankan menerima tawaran damai. Dari aparat aliran bantuan sembako terus berdatangan setiap saat.

Namun gelontoran beras, gula dan supermi dari aparat kepolisian di Parimo plus guyuran dana Pemprov Sulteng sebesar Rp15 juta (dipotong Rp2 juta), menurut Ibu Rosmawati tak bisa mengendurkan semangatnya memperjuangkan keadilan untuk anaknya. Ia tidak mau mendiamkan kasus ini mengendap begitu saja, hanya karena guyuran supermi dan gula, yang menyesaki rumahnya. ”Nyawa anak saya tidak bisa ditukar telur dan supermi,” katanya di hadapan Nurlela dan psikolog I Putu Ardika. Bersama anaknya Ervina, keduanya bersikeras kasus ini berakhir di meja pengadilan dengan putusan hukum yang pantas bagi HN – sang pelaku.

Diceritakannya, sejak tertembaknya Erfaldi, ia dan anak perempuannya tegar menghadapi peristiwa ini. Berbeda dengan suaminya, mentalnya terganggu dengan peristiwa itu. ”Kalau ada yang cerita anaknya, tiba-tiba ia sedih sekali. Begitu terus kalau diingatkan soal anaknya,” curhat Rosmawati kepada psikolog I Putu Ardika.

SKP HAM Sulteng yang sejak awal mengawal kasus ini, berjanji akan memberikan pendampingan pada keluarga ini. SKP HAM seperti yang dikemukakan Nurlela, berjuang memastikan keluarga korban mendapatkan kepastian tentang proses hukum atas almarhum Erfaldi. Aparat hukum, Kejaksaan dan Kepolisian mestinya tidak berlarut-larut memproses kasus ini. Keterlambatan ini menyebabkan hak keluarga korban mendapatkan kebenaran dan keadilan menjadi terabaikan.

Nurlela melanjutkan, pemerintah secara berjenjang mulai dari desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi harus mengambil peran mendukung keluarga untuk mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan tidak terulang. ”Pada poin ini, negara harus mengambil peran, karena ini ranah negara,” tekan Ella sapaan akrabnya. Lalu, bersama dengan kekuatan sipil lainnya, akan membentuk pendampingan korban, seperti psikolog, media dan penasehat hukum untuk melakuka advokasi secara bersama-sama.

Di tempat yang sama, pengacara Adi Prianto mempertanyakan alasan P-19 dari Kejaksaan Parimo. Menurut dia Kejaksaan dan Kepolisian harus memproses kasus ini secara terang benderang. Bukan mendiamkannya. ”Kita minta kasus ini tidak diambangkan, kejaksaan dan Polisi secepatnya menuntaskan kasus ini,” katanya.

Bagi Nurlela, perjuangan keadilan pada kasus Erfaldi harus menjadi perhatian tidak saja oleh keluarga melainkan masyarakat luas, konflik yang dipicu sengketa tambang diprediksi akan terus terjadi pada masa mendatang. ”Dan itu bisa menyasar siapa pun juga,” demikian Ella. ***

Penulis    : Amanda
Foto         : Amanda

Tinggalkan Balasan