Bencana 2018

Kinta, Kampung Tua Suku Kaili yang Selamat dari Liquefaksi

PENUH MEMORI - Kinta, terletak di batas, Kelurahan Petobo dan Biromaru wilayahnya tidak terkena pembuburan tanah pada, tragedi 28 September 2018

I love kinta, i miss u Kinta….!!!

Ainun Ulun bersama sepupunya menorehkan tulisan tersebut di beberapa tembok rumah dengan cat semprot. Tulisan itu adalah ungkapan perpisahan saat Ainun bersama remaja lain hendak mengungsi, akhir September 2018.

Kinta adalah nama kampung tempat Ainun lahir dan tinggal sejak 1999. Saat menuliskan itu, Ainun meyakini akan lama meninggalkan kampungnya. Namun, ternyata ia dan keluarganya hanya menghabiskan 15 hari di pengungsian. Mereka memutuskan kembali ke kampung, setelah ibu kandungnya menderita diare dan tak tahan karena harus mengantri jamban berjam-jam.

Rumah remaja berusia 19 tahun itu hanya sedikit retak di dinding dan lantai. Tapi seluruhnya masih layak huni. Ainun tinggal bersebelahan dengan lumpur Liquefaksi yang telah kering dan menebal setinggi 1,5 meter.

Rumah keluarga Ainun bukan satu-satunya. Ada sekitar 21 rumah lain di samping dan depannya yang selamat dari bencana itu. Rumah-rumah dan jalan kampung sepanjang satu kilometer masih utuh, memberi kontras dengan lingkungan sekitarnya yang habis dilumat lumpur.

Kinta adalah salah satu pemukiman tua di Kota Palu yang dulunya dihuni oleh masyarakat Suku Kaili. Keluarga Ainun, menjadi generasi ketiga yang menghuni Kinta. Apabila usia hidup manusia rata-rata 50 tahun, dengan demikian usia kampung itu sekitar 150 tahun.

Ibu Ainun, Sangia Masdjidan, mengatakan, dalam bahasa Kaili, Kinta berarti kampung kecil. Dari cerita yang ia dapatkan dari orangtuanya, bahwa Kinta adalah pemukiman pertama orang Kaili di Biromaru.

“Dulu nenek mendirikan rumah di sini. Tapi mereka bekerja di kebun, jauh dari Kinta,” tuturnya akhir pekan lalu. Sebagian besar keluarga yang selamat di Kinta, masih berkerabat dengan Sangia. Mereka juga menghuni Kinta secara turun-temurun.

Menurut Sangia, orangtua mereka memilih hidup di Kinta karena menjadi satu-satunya daratan yang dianggap aman di kawasan itu. Sementara, sekitar Kinta saat itu adalah rawa-rawa. Ada banyak pohon sagu dan kelapa yang tumbuh di sekitarnya.

Sangia lahir di Kinta pada 1969. Setelah lahir ia sempat tinggal 15 tahun di Palolo. Baru pada 1984 ia kembali lagi menetap di Kinta, tinggal di rumah warisan orangtuanya. Saat kembali itu, Sangia melihat rawa-rawa di sekitar kampungnya mulai ditimbun menjadi daratan baru.

CORETAN PENUH MEMORI – Kinta yang selalu dikenang para penghuninya

Lalu, para pengembang membangun banyak rumah di bekas rawa-rawa itu. Pembangunan infrastruktur seperti Jalan HM Soeharto, turut menyuburkan bangunan toko dan hunian. Dengan cepat, rawa-rawa telah berubah menjadi pemukiman padat.

Kinta yang dulunya hanya belasan rumah, juga kian penuh oleh pendatang. Hingga 2018, ada 429 orang yang menghuni Kinta. Secara administratif wilayah Kinta, kini meliputi RT 3 RW 1 dan RT 1 RW 3 Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.

Sangia menduga, kawasan Petobo banyak diminati pendatang karena akses air yang mudah. Untuk mendapatkan air bersih, seseorang hanya cukup menggali sumur. Di kedalaman 4 meter saja, air langsung melimpah. Sedangkan di Kinta, kedalaman sumur rata-rata 9 meter.

“Karena di situ memang bekas rawa-rawa, sehingga untuk dapat air memang tak susah,” kata ibu dua anak ini. Lalu datanglah bencana 28 September 2018. Saat itu, Sangia yang menjadi pegawai Kelurahan Petobo, harus terlibat di kegiatan Festival Teluk Tomini. Ia mengajak anak bungsunya. Sedangkan anak pertamanya, Ainun sedang bersama suaminya di Kinta.

“Saya sempat digulung tsunami, tapi alhamdulilah saya selamat,” kata Sangia. Sementara, Ainun menuturkan, setelah gempa mengguncang, angin kencang melanda Kinta. Angin seperti berhembus dari dalam tanah disertai dengan suara gemuruh yang menakutkan.

Ainun melihat lumpur telah melumat rumah-rumah di sekelilingnya. Bersama remaja lain yang panik, ia lari meninggalkan rumah dan ayahnya. Ia sempat heran karena ayahnya menolak lari dan memilih tetap berada di jalanan kampung bersama kerabat yang lain.

Lumpur bergerak tak menyentuh Kinta tua. Sebagian besar penduduk yang bertahan di Kinta akhirnya selamat. Ainun sendiri baru bertemu kedua orangtuanya pada hari kedua setelah bencana. Namun karena takut bencana susulan, warga di Kinta ikut mengungsi di bagian atas Petobo bersama penyintas lain. Kinta menjadi sunyi, menyisakan rumah-rumah yang kosong dan tulisan-tulisan bisu di dinding.

Hingga pekan kedua Desember, baru empat keluarga yang kembali menghuni Kinta. “Tapi sebentar lagi akan banyak yang kembali,” tutur Sangia. Arkeolog Kota Palu, Iksam, membenarkan bahwa Kinta memang salah satu kampung tua di Kota Palu. Secara adat Kinta disebut dengan “pantaledoke” upacara untuk menghormati seorang tokoh leluhur. Sebelum menjadi hunian tetap orang Kaili, Kinta sebelumnya adalah tempat untuk berkebun.

Kinta, kata dia, menjadi salah satu contoh bagaimana leluhur memberikan petunjuk mengenai hunian yang aman untuk manusia. Sebab dalam menjaga hubungan dengan alam, nenek moyang melahirkan peraturan adat yang melarang manusia tinggal di daerah berbahaya seperti lereng yang curam atau di sempadan sungai.

Orang dulunya memilih Kinta karena dianggap lebih aman. Sebab daerah di sekitarnya adalah rawa-rawa. “Jadi Kinta itu seperti pulau di tengah rawa-rawa,” kata Iksam saat menjadi narasumber bincang santai di AJI Palu, Jumat 28 Desember 2018.

Cerita turun-temurun itu, ternyata cocok dengan peta tua Sulawesi Tengah yang dibuat oleh etnolog Albert C Kruyt pada tahun 1916. Dalam peta itu, wilayah Petobo yang terbenam lumpur saat ini adalah bekas daerah aliran sungai (DAS) Kapopo atau yang dikenal dengan nama lain yakni Sungai Nggia.

Wilayah Petobo yang sebelumnya dihindari, malah menjadi hunian padat di tahun 1980an. Itu tak lama setelah secara administratif Petobo berada di bawah Kota Palu. Perkembangan Palu menjadi kota madya diikuti oleh pesatnya para pendatang mulai dari Jawa dan daerah-daerah lain di Sulawesi.

UTUH – Hunian dengan panjang tak sampai 200 meter itu adalah saksi bisa, tanah di sekitarnya yang luluhlantak dihantam gempa/liquefaksi pada September 2018 silam

Fenomena itu tidak hanya melanda Petobo. Menurut Iksam, wilayah yang dilanda likuefaksi lain seperti Balaroa dan Jono Oge adalah kawasan yang dulunya tidak dihuni oleh nenek moyang. Sebab Jono Oge dulunya adalah DAS Sungai Paneki dan kawasan Perumnas, merupakan DAS Sungai Uwe Numpu.

Belajar dari bencana 28 September, kata Iksam, pemerintah tidak bisa lagi mengabaikan pengetahuan lokal nenek moyang yang tercermin dari penamaan suatu wilayah (toponimi).

“Ke depannya, para developer yang ingin membangun perumahan harus melibatkan ahli sejarah untuk mengetahui apakah daerah itu aman atau tidak,” kata Iksam berharap.

Penulis & Foto: Ika Ningtyas

artikel ini ada republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi oleh AJI bekerjasama dengan Internews & Katadata

Roemah Kata
the authorRoemah Kata
Anggaplah ini adalah remahan. Tapi kami berusaha menyampaikan yang oleh media arus utama dianggap remah-remah informasi. Tapi bisa saja remah remah itu adalah substansi yang terabaikan akibat penjelmaan dari politik redaksi yang kaku dan ketat. Sesederhana itu sebenarnya.

Tinggalkan Balasan